Momennya waktu itu adalah Indonesia Open 1984. Lius Pongoh berhadapan dengan Liem Swie King di perempat final. Terjadi rubber set, dan kemudian Lius tertinggal di angka 1-14.
Saat itu pertandingan bulutangkis masih memakai sistem lama. Setiap game berakhir di angka 15 jika tidak ada deuce. Beda dengan sistem rally point seperti sekarang, saat itu pemain baru mendapat poin ketika memperoleh kesempatan melakukan serve dan berhasil mematikan lawan. Jika gagal, kok akan berpindah ke lawan dan giliran lawan yang berpeluang menambah poin.
Nah, perjuangan Lius mengejar ketertinggalan angka dari Liem Swie King ini menjadi partai yang layak untuk dikenang. Lius “si bola karet” Pongoh membuktikan julukannya itu dengan kegigihan mengejar kok ke seluruh area lapangan.
Sedikit demi sedikit poin dikumpulkan. Liem Swie King yang tadinya hanya butuh satu poin untuk menang, menjadi frustrasi dan terkejar. Pada akhirnya Lius memenangkan pertandingan itu 15-14.
Di semifinal Lius bertemu dan menang atas pemain Denmark idolanya, Morten Frost Hansen. Di final, Lius kemudian menang dari Hastomo Arbi dengan skor 15-5, 10-15, 15-13. Dia menjadi juara Indonesia Open 1984.
Selama pertandingan sebenarnya ibu Lius sedang dirawat di RS karena sakit kanker pankreas. Jadi saat itu ia tidak terlalu fokus pada pertandingan. Setiap habis main terus langsung ke rumah sakit.
Jadi sudah tidak terpikirkan menang atau kalah. Apalagi saat itu ia masih yunior dan Liem Swie King adalah seniornya. Jadi dianggapnya tidak bakalan dia menang melawan Liem Swie King.
“Justru karena main tanpa takut kalah, tanpa terlalu memikirkan pertandingan itu, dan bermain sungguh-sungguh tanpa beban, kita jadi bisa. Main jadi lepas. Itu saja sih kuncinya”, kata Lius kepada Tim Padmanews, di sela sela acara Graha Padma Walikota Cup 2024 di The Club Perumahan Graha Padma.
Lius kini memang menjadi pemandu bakat dari audisi bulutangkis yang sudah beberapa tahun belakangan ini digelar oleh PB Djarum untuk menjaring bibit pemain muda.
Harus Menang
Dikisahkan, dalam perjalanan di dunia bulu tangkis, Lius menerima banyak masukan dari rekan, senior maupun pelatih. Waktu itu ia dekat dengan Christian Hadinata, yang selalu bilang, “Nyong, kalau pertandingan beregu, yang penting kita jangan sampai gak dapat poin. Sebenarnya kan maknanya dalam tuh, kalau gak boleh gak dapat poin kan sama saja harus menang. Ini sama kalau dikatai enggak papa enggak juara asal jangan kalah, kan sama saja hahaha… “.
Akhirnya hal itu memacu dirinya. Ketika dia tanyakan kenapa dia harus menang, Christian mengatakan, ” Gini Nyong, tim beregu itu (dulu masih 9, 5 tunggal dan 4 ganda) kalau sampai timnya kalah, dan kamu menang, kamu bisa tetap bangga. Kalau ditanya kamu bisa jawab lho yang kalah kan timnya, saya kan menang hehehe… “
Hal hal seperti itu juga memotivasi dirinya untuk terus berkembang. Itu pula yang sekarang Lius ajarkan kepada anak didiknya di dunia bulu tangkis.
Inspirasi Hidup
Bagi pria kelahiran 3 Desember 1960 ini yang menjadi inspirasi hidup dia adalah, yang pertama, orang tuanya. Waktu kecil sebenarnya dia ingin jadi tentara. Mengapa? Karena sepupu papanya ada yang jadi Marinir (dulu KKO) dan satu lagi ada yang jadi pilot. “Kenapa saya bangga dan senang sama KKO, karena baretnya merah. Senang dengan angkatan udara, karena pakaiannya gagah”.
Dulu kalau si paman itu datang Lius kecil dapat tugas menyemir sepatu dinas dan menggosok wing. Namun ternyata, Darius Pongoh, papanya itu melarang dia masuk tentara. “Ngapain jadi tentara, entar saja, sekarang main bulu tangkis saja”.
Jadi sejak umur tiga tahun dia sudah diminta ayahnya main bulu tangkis. Raketnya dipotong sama papanya, supaya tidak terseret. Terus dia berlatih di dekat rumah mereka. Papanya yang memang suka bulu tangkis mengajarinya.
Sampai suatu ketika papanya berkata, “Nyong, kita ini orang susah. Terus Papa cerita, yang saya sendiri enggak tahu benar atau tidak. Dulu di Jerman itu ada petani yang hidupnya susah sekali. Dia cuma punya sapi dua, jantan dan betina. Terus si induk melahirkan”.
“Nah si petani ingin anaknya ini menjadi atlet angkat besi. Jadi si anak itu akhirnya memandikan dan membopong anak sapi itu terus hingga besar. Akhirnya si anak bisa menjadi juara angkat besi. Karena kita orang susah, kamu juga harus bisa begitu, Nyong”.
Lius menangkap nasehat papanya itu dan sampai sekarang pun nasehat itu masih terngiang-ngiang. Dia pun diharapkan segera sukses, sehingga bisa membantu adik-adiknya. Sejak kecil Lius bergabung dengan Klub Tangkas di Jakarta.
Lius masuk Djarum pada tahun 2011, sementara papanya sudah bergabung di Djarum sejak 17 tahun sebelumnya dan melatih anak-anak kecil umur 11 – 13 tahun. Lius merasa bisa masuk ke Djarum karena anugerah Tuhan.
“Sebelum saya gabung Djarum, saat itu saya masih melatih di PB Tangkas. Jadi kalau pertandingan Djarum melawan Tangkas, saya di sebelah sini, Papa saya di sebelah sana. Dan tidak pernah Papa itu kasih bocoran sedikit pun, yang ada elu lawan saya”.
Lius juga pernah menjadi pengurus PBSI, namun karena beberapa perbedaan pada hal prinsip ia kemudian memutuskan keluar. “Kalau jadi pengurus atau apa pun, saya akan lakukan dengan sepenuh hati. Kedua, kalau merasa benar, saya tidak takut apa pun. Ketiga, leher saya hilang gak papa sepanjang untuk orang lain. Makanya saya sering benturan dengan orang lain, tapi saya gak peduli, bodo amat…. “.
Tahun 2011 itu dia keluar dari PBSI. ” Saya bingung mau kerja apa, akhirnya drs, di rumah saja hahaha.. “. Ia mengisahkan suatu Senin ia menemui temannya untuk ikut jualan asuransi. Besoknya, Selasa, ia ikut Persekutuan Doa. Seharusnya selesai itu, ia harus ikut training asuransi, tapi terasa malas sekali berangkat.
Dari intisari doa itu, ia menyimpulkan kalau dekat dengan Tuhan, jujur, hidup benar, gak nyimpang kiri gak nyimpang kanan, pasti Tuhan bakal menolong. Mendadak seusai Persekutuan Doa, temannya Hadibowo Susanto telepon. “Dia bilang, ‘Nyong, gua denger elu keluar, kok gak ngomong ngomong ama gua?”.
” Saya jawab, kan elu lagi sakit, jadi ngapain ngomong ngomong ama elu. Terus dia bilang, Nyong mau gak masuk Djarum. Saya bilang gak mungkin lah, kan dulu elu pernah nawarin gua, dan gua tolak. Emang Djarum mau nerima gua? Dia jawab, ya udah aku sampaikan dulu ya”.
Ternyata sesampai di rumah malam itu, Hadibowo sudah memberitahu lagi bahwa Lius diminta menghadap Yan Haryadi besok paginya. Setelah bertemu Yan ia sempat dimarahi karena tidak bilang kalau keluar PBSI. Ia kemudian ditawari untuk bergabung dengan Djarum.
Malamnya, Hadibowo telepon lagi dan meminta Lius memenuhi panggilan untuk ketemu Victor Hartono besok paginya. Lius kemudian bertemu Victor dan Yan. “Lius mau kerja di Djarum? “, tanya Victor.
” Mau Pak, kalau keterima”, jawab Lius. “Mau kerja di kantor atau di klub? “, tanya Victor lagi. “Saya ikut Hadibowo saja Pak, di klub”.
Setelah itu Victor mengatakan kepada Lius, ” Ini pelabuhan terakhir ya”. “Maksudnya Pak? “. ” Ya kamu jangan kemana mana lagi ya. Soalnya saya tahu adat Lius begitu”. “Ya Pak, saya di sini saja”.
Selain papanya, Hadibowo, dan Victor Hartono, Lius juga mengingat bahwa Yoppy Rosimin termasuk orang Djarum yang sangat berjasa bagi dirinya. “Jujur saja, saya itu kurang bisa mengelola keuangan”. Itulah sebabnya, Lius sangat berterima kasih kepada Yoppy yang mengajarkan pengelolaan keuangan atlet.
Jadi Lumbung
Sementara itu, Kejuaraan Badminton Graha Padma Walikota Cup 2024, yang terdiri dari tiga kategori, yakni 11,13 dan 15, secara umum diikuti secara antusias. “Banyak yang datang kali ini. Asumsi kita tadinya 700-an peserta, tetapi yang ikut ternyata 936”, tutur Lius.
Yang tadinya peserta yang ikut biasanya dari klub-klub besar saja, sekarang sudah bertambah juga. “Peserta masih banyak yang ikut, berarti bulu tangkis masih digemari”. Selain itu semakin banyak yang ikut, kesempatan untuk mencari bibit-bibit pemain semakin besar.
Sehingga meskipun Indonesia secara global tidak seperti dulu, namun kita masih banyak bibit pemain yang bisa dipersiapkan untuk mendatang.
Melihat animo peserta yang melimpah, Lius mengatakan bahwa sejak zaman dia main tahun 1980-an hingga sekarang, Jawa umumnya dan Jawa Tengah khususnya, masih menjadi lumbung bibit-bibit pemain badminton.
“Saya malah pengin juga kalau Djarum, Pak Victor Hartono, Pak Yoppy bikin kompetisi di luar Jawa. Zaman saya dulu kan ada Rosiana Tendean dari Sulawesi utara. Intinya pengin area kompetisi diperluas. Karena semakin luas kan bibitnya semakin banyak. Pokoknya tujuannya kan merah putih “.
Makanya Lius sangat senang diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan bibit-bibit baru di dunia bulu tangkis.
Pembinaan atlet di zaman Lius memang beda dengan zaman sekarang. “Perubahan kultur, budaya dan lain sebagainya membuat kehidupan semakin mudah. “Ini berkaitan dengan para pemain juga. Kalau kemampuan, anak-anak sekarang mungkin sama bagus dengan dulu. Namun untuk ketahanan, semangat juang (fighting spirit), dan motivasi terlihat beda”.
Dulu juga untuk menjadi atlet tidak gampang. “Tapi kita itu sudah seneng kalau pakai jaket merah putih. Apakah sekarang juga harus begitu? Enggak juga sih. Semua orang butuh uang, tapi jangan uang dijadikan tujuan segalanya “.
Kedua, soal tanggung jawab. “Dulu kami tanpa diomongin pelatih, rajin bangun pagi terus latihan. Kalau sekarang masih harus diomongin melulu. Seminggu diomelin, minggu depannya gitu lagi. Tinggal tahan tahanan saja kita hahaha… “.
Padahal kalau kita memiliki motivasi dari diri kita sendiri, apa pun yang kita kerjakan tanpa disuruh pun akan dilakukan.
Dulu sistem badminton belum menggunakan sistem rally point seperti sekarang. Kalau mati, maka pindah bola. Jadi peluang bisa besar. Kalau sekarang kalau main salah, langsung kalah poin. Latihan dulu juga lebih intensif.
“Kami banyak latihan fisik. Sekarang ini 15 sampai 25 pukulan langsung mati. Tapi memang tidak bisa diperbandingkan, karena situasi sekarang berbeda, beda juga dalam tipe permainan.”
Lius juga melihat kebanyakan atlet tidak dari hatinya sendiri untuk terjun ke bulu tangkis. Lebih banyak karena dorongan orang tua dan lingkungannya. “Dan biasanya maunya orang tua, si anak dilatih sebentar terus jadi juara. Kan sekolah saja bertingkat, dari TK ke SD, SMP dan seterusnya. Harus ada naik kelas. Hal itu juga bisa menjadi kendala buat pelatih”.
Ayah Lius bukan pemain, namun suka dengan badminton. Sang ayah adalah bekas tentara KNIL di zaman penjajahan Belanda. Sehingga pendidikannya kepada Lius agak semi militer. “Disiplinnya sangat kuat, malah saya anggap keterlaluan hahaha… Orang zaman dulu itu kena rotan, gesper sabuk sudah biasa…”.
Namun, menurutnya, zaman sekarang sudah berubah. Atlet sekarang kalau dikerasi begitu pasti kabur sudah. ” Atau melaporkan ke Komnas HAM hehehe…Metodenya sudah beda. Kalau sekarang seperti main layang, kadang dilepas, kadang ditarik. Kalau ditarik terus bisa putus, kalau dilepas ilang dia”, ucapnya.
Tidak hanya dari sisi olahraga, kehidupan sekarang pun semakin kompleks. “Jadi guru juga susah sekarang. Kalau dulu kelas ribut, kapur tulis bisa melayang. Kalau gak mempan ya penghapus dari kayu itu yang melayang, bletakk… “. (BP)