Lukisan karyanya yang berjudul “Siti Maryam” dipersembahkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri sebagai hadiah khusus kepada Paus Fransiskus di Vatikan baru-baru ini. Dialah perupa Sigit Santoso, yang dengan lukisan-lukisannya menegaskan jalur realisme yang ditempuhnya.
Sigit memiliki kekuatan visual lukisan sekaligus juga kemampuan penceritaan yang bagus. Itu terlihat dari lukisan Siti Maryam yang dihadiahkan kepada Paus Fransiskus. Lukisan berukuran 90×145 cm itu menampakkan Bunda Maria dalam balutan kebaya warna merah, kain jarik bernuansa coklat, dan kerudung putih.
“Saya sangat bersyukur masih sempat membuat kado lukisan untuk Paus Fransiskus, sebelum beliau meninggal, tepatnya sehari setelah Paskah 2025 lalu”, katanya kepada Tim Padmanews di rumahnya yang asri di Sleman, Yogyakarta, baru baru ini.

Kemampuan melukis yang penceritaan dan visualisasinya kuat, ternyata didukung oleh kesukaan dalam membaca dan belajar soal filsafat dan sejarah.
Pada awalnya dorongan membaca itu karena kesukaan pada komik ketika masih SD. Ia menyukai komik karena di dalamnya ada narasi. “Saya suka karena banyak ceritanya. Jadi banyak pengalaman setelah saya membaca”.
Ketika semakin besar kesenangan membaca juga berkembang ke arah buku-buku yang tidak bergambar, bahkan ke buku-buku sastra juga. Ia melihat bahwa orang tuanya suka membaca meskipun bukan yang maniak baca, hanya majalah-majalah biasa. Sigit pun terdorong membaca media yang ada pada saat itu, seperti majalah Gadis, Selecta, Varia Nada maupun Aktuil.

Kesenangan pada buku sastra dimulai Sigit ketika duduk di akhir SMP dan awal SMA. Meskipun menyukai karya-karya puisi, ia juga membaca Taras Bulba, Laki-laki Tua dan Laut, Winettou dan sebagainya. Bahkan oleh rasa penasarannya saat membaca dari majalah tentang kisah penderitaan pemuda Wherter karangan Goethe, buku yang konon banyak memakan korban jiwa, ia rela mencarinya sampai diperpustakaan negara Radya Pustaka Solo, dan menemukan buku itu kemudian dibacanya.
“Barangkali buku sastra pertama yang saya miliki adalah kisah cinta Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare, yang diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo sebagai naskah drama. Saya tertarik mengoleksinya karena pernah melihat filmnya di bioskop yang disutradarai oleh Franco Zeffirelli dan diperankan secara menawan oleh Leonard Whitting dan Olivia Hussey”, tutur pria kelahiran Ngawi tahun 1964 itu.

tulah alasan kenapa lukisan-lukisan Sigit sepertinya banyak bertutur atau bercerita karena dimulai dengan kesukaan membaca, meskipun awalnya tidak begitu yakin bahwa karya lukisan tidak akan bisa berbicara jika tidak dinarasikan oleh pelukisnya sendiri. “Yang membuat karya itu berbicara adalah ‘tanda ‘, yang disampaikan pelukisnya melalui garis serta warna”, jelasnya.
Saat awal awal melukis dulu, Sigit menjelaskan bahwa karya-karyanya banyak sekali dengan unsur tanda yang bersifat personal, dalam arti jika dia tidak bercerita maka orang lain tidak akan mengerti. Namun pada akhirnya Sigit memahami bahwa sebuah karya bisa berbicara sendiri meskipun itu melalui sebentuk tanda yang bersifat umum dan universal.

“Tetapi hal itu harus melalui sebuah “pintu masuk”, atau pemahaman awal yang akan membuka pintu-pintu lain yang berlapis-lapis. Setidaknya saya harus memberikan kesempatan pada pemirsa untuk dapat memasuki pintu awal menuju pintu selanjutnya sebatas yang dia mampu. Bahkan terkadang saya sendiri tidak tahu dengan apa yang ada di balik pintu terdalam. Saya hanya tahu secara samar pemikiran saya pribadi”, tuturnya lebih lanjut.
“Oleh karena sebuah karya seni bersifat multi tafsir maka orang bisa saja mengatakan, lho karyamu seperti ini tho? Dan saya bilang iya. Saya berkarya tidak untuk menjelaskan. Saya justru ingin bertanya lewat sebuah tanda yang saya sodorkan”.
Mengutip teori tanda dari Roland Barthes, Sigit menjelaskan bahwa sebuah karya itu harus ada yang namanya penanda, petanda, dan tanda. “Misal, jika bunga dikatakan sebagai tanda cinta, maka harus melewati wujudnya dulu sebagai penanda sebagai pintu masuk dari yang namanya interpretasi. Dan wujud itu pastilah material, sebentuk bunga, yang secara umum tidak menakutkan bagi siapapun manusia atau makhluk hidup”.
“Kemudian untuk menjadi petanda, pewujudan bunga itu melahirkan kesepakatan ataupun persepsi yang dinamakan dengan keindahan. Secara umum siapapun manusia tidak akan takut pada bunga, malah cenderung menyukainya.”
“Dan setelah melewati fase keduanya maka lahirlah dengan apa yang dinamakan sebagai tanda ataupun lambang. Oleh karena bunga itu indah dan cinta identik dengan keindahan, maka bisa dikatakan bahwa bunga sebagai tanda cinta.”
Jadi ketika mengonstruksi gagasan ide sebuah karya, Sigit juga sudah memikirkan pintu masuk untuk menafsirkan karyanya itu lewat sebentuk tanda yang dimengertinya, dengan cara merekonstruksi maupun mendekonstruksi seperti yang selama ini kita lihat dalam karya-karyanya.

Maka karya Siti Maryam yang dibuat Sigit dimaksudkan untuk melokalkan sosok Bunda Maria yang aslinya seorang ibu dari Nasareth menjadi sosok perempuan Jawa pada umumnya. Dengan simbol simbol Jawa lain yang lebih diketahuinya, yaitu lewat pakaian kebaya serta jarik batik.
Soal Perempuan
Sigit mengungkapkan saat ini memiliki ketertarikan dalam kesenian yang berkaitan dengan sosok “perempuan” dan sifat keempuannya. Ia menganggap bahwa awal mula kesenian dimulai dari figur perempuan ketika ditemukannya patung Venus dari Willendorf, Austria. Venus Willendorf adalah ukiran dari zaman Paleolitikum yang diukir dari batu gamping yang diperkirakan berasal dari 25.000-21.000 SM.

” Nah, definisi seni itu adalah mencipta. Bahwa patung Venus dari Willendorf pada saat awal ditemukan tidak ada kaitannya dengan soal keindahan, namun lebih pada ciptaan atau kreasi untuk tujuan tertentu. Maka penampakan pada patung tersebut lebih memperlihatkan pada sesuatu yang berhubungan dengan nilai kesuburan dan reproduksi, seperti halnya buah dada, perut, vagina dan pantat yang keberadaannya lebih ditekankan secara jelas dari pada organ lainnya. Jadi, apakah itu indah? Jelas tidak indah dengan pewujudan semacam itu! Seperti kata Goethe yang saya comot sekenanya, bahwa seni itu lahir lebih dahulu sebelum keindahan itu ada”
Sigit mengungkapkan Bunda Maria menjadi bagian dari kajiannya, yang berhubungan dengan perempuan. “Mengacu pada pendapat Simone de Beauvoir, bahwa perempuan itu memiliki kompleksitas serta keistimewaan tersendiri dibanding laki-laki dan bahwa laki-laki itu adalah perempuan yang tidak lengkap. Oleh karena sebenarnya dalam diri perempuan itu pada dasarnya ada kepekaan rasa yang tinggi, kekuatan yang lebih, dan juga sistem organisme yang sangat sempurna dibanding laki-laki. Hal tersebut membalik analisis serta anggapan keliru mengenai perempuan seperti dikatakan oleh Aristoteles bahwa perempuan itu adalah laki-laki yang tidak lengkap”, kata Sigit.
Simone merupakan tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Prancis yang terkenal pada awal abad ke-20 dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan ilmu sosial. Bukunya yang terkenal adalah Le Deuxieme Sexe.
“Sebenarnya tanda-tanda itu bisa kita lihat kok, sebagai fakta yang samar dan rahasia tersembunyi. Coba kita lihat pada pintu kuil atau gereja, bentuknya kan kurva melengkung yang mengingatkan kita pada gua garba perempuan? Bukankah itu berarti kita telah memasuki kekuasaan perempuan pada setiap hari Jum’at dan Minggu dengan kekhusukan?”, jelas Sigit lebih jauh lagi.
Itulah sebabnya kini Sigit sangat tertarik dengan kajian perempuan. ” Dulu lukisan-lukisan saya bertema religi kontemporer, kemudian ke sosial politik, dan sekarang lagi tertarik dengan spirit yang berhubungan dengan perempuan”.

Bunda Maria Jawa
Pemikiran tentang perempuan bersamaan dengan datangnya pesanan untuk menggambar Bunda Maria yang hendak dipersembahkan Megawati kepada Paus Fransiskus
“Pada saat pengin mengeksplorasi tema perempuan, tiba-tiba saja saya dapat pesanan gambar Bunda Maria. Ya tetap saya terima dengan senang hati meskipun waktunya sangat mepet,” kata Sigit sambil menjelaskan bahwa yang pesan adalah seorang anggota DPR yang dekat dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Sebelum jadi lukisannya,

Sigit menyodorkan sebuah desain lebih dulu. “Awalnya desain yang saya buat memang bernuansa politis, berbeda dengan karya jadi yang kita lihat sekarang ini. Semula Maria menginjak mahkota serupa yang dipakai oleh Amangkurat dengan ular yang berada di dalamnya yang mengisyaratkan tentang kebatilan yang harus diinjak dan dimusnahkan. Begitu juga dengan kain jarik yang dipakai oleh Bunda Maria bermotif parang, simbol perang melawan kejahatan”.
“Saya gambar kupluk (kupluk raja Jawa) yang darinya keluar ular-ular itu”. Simbol lain adalah baju merah putih. “Saya kepikiran warna merah, karena itu adalah bagian dari perlawanan selain jarik bermotif parang dengan tafsir serupa”.
“Tapi sewaktu desain itu disodorkan pada Ibu Megawati, beliau katanya agak kaget meski menyukai. Dan sambil tertawa beliau bilang: ‘Tapi aja ana kuwi tho, aja ana kupluk karo ulane. Aku ora penak karo Paus. Nek iso motif jarike yo diganti’. Hahaha… Ternyata Bu Mega ya tahu tentang tanda itu”, jelas Sigit sambil tertawa.
Akhirnya jarik dengan corak p

arang diganti dengan motif truntum yang melambangkan cinta kasih dan topi raja dengan ularnya diganti dengan bunga melati, lambang kemurnian dan kesucian, sebagai tempat bertumpu Bunda Maria.
Sigit memang tidak memperoleh kompensasi besar dari karya Siti Maryam yang dia buat, karena karya itu lebih pada sisi nasionalisme. “Namun dampaknya itu yang kemudian datang kepada saya. Setelah momentum Vatikan, ada orang meminta lukisan buat lelang untuk gereja berupa lukisan religi. Oleh karena saya hanya punya satu lukisan dengan tema religi, itupun dengan objek yang agak menyeramkan karena berupa figur Yesus yang membujur kaku dalam peti mati, hasil approriasi atau tafsir ulang dari karya lukisan terkenal Hans Holbein, namun ternyata bisa laku juga pada saat lelang” ucap Sigit.
Barangkali dengan penafsiran ulang atas tanda serta pembacaan yang berbeda atas nilai persepsi membuat karya Sigit sering dikatakan tidak mengikuti pakem semestinya. “Saya justru bertanya pakem yang bagaimana. Kalau misal posisi tangan Bunda Maria harus begini atau begitu, jangan-jangan yang disebut pakem itu dulunya adalah kerja seniman juga, yang kemudian dimitoskan? Bunda Maria Jawa berkebaya adalah Bunda Maria saya sendiri berhubungan dengan nilai tradisi yang saya mengerti”.
Jalur Realisme
Pilihannya pada jalur rea

lisme, menurut Sigit, memang berawal dari kesukaan pada komik. Ceritanya waktu kecil tinggal di Solo, dekat dengan persewaan komik. Ia menyukai karya Ganes TH, Hasmi, Wid NS, Teguh Santoso, Jan Mintaraga, Usyah dan lainnya.
Sigit sejak SMP suka segala sesuatu yang berhubungan dengan gambar dan bacaan. Kebetulan juga punya teman akrab sekampung sejak SD, di SD Kanisius Sorogenen, bernama Wiji Widodo, yg kita kenal kemudian sebagai Wiji Thukul, penyair yang hilang entah kemana sampai kini.
Wiji sudah berkeinginan menjadi sastrawan, sementara Sigit lebih suka menggambar. Namun mereka berdua sering ikut lomba menggambar, meskipun tidak pernah menang. Sampai akhirnya Wiji mengatakan jika kelak kalau bisa Sigit diharapkan menjadi pelukis, sedangkan Wiji sendiri akan menjadi penyair. Ungkap Sigit mengenang sahabatnya yang tak pernah ditemuinya sejak awal masa kuliah.
“Awal mula coretan saya dimuat di masmedia adalah berkat jasa Wiji juga. Dia mendaftarkan saya menjadi ilustrator independen pada koran setempat, kalau tidak keliru bernama Darmo Kondho. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP kelas tiga. Selain ilustrasi buat cerpen, saya juga diminta untuk mengubah gambar pada kolom rubrik yang bernama ‘koplokan’. Tiap dua minggu sekali ilustrasi saya dimuat dan mendapat honor sebesar 500 rupiah, jumlah yang lumayan di tahun 1979, bisa untuk beli bakso dan es campur istimewa buat dua orang hahaha…”
Ketika lulus dari SMP 8 di Solo sebenarnya Sigit ingin masuk sekolah menengah seni rupa (SMSR) Yogyakarta, namun kedua orang tuanya tidak mengizinkan. Menurut mereka, jika mau masuk sekolah seni rupa, tunggu saat sudah lulus dari SMA.
Selepas SMA, Sigit mendaftar di tiga perguruan tinggi negeri. Di UNS Solo jurusan seni rupa, di UGM Yogyakarta jurusan sastra Indonesia, dan terakhir di FSRD ASRI Yogyakarta jurusan seni lukis. “Yang dua di Jogja itu sebenarnya saya pesimis. Yang di UGM jelas saya tidak berharap karena berat, sementara yang di ASRI ternyata saingan saya waktu tes karyanya bagus-bagus. Jelas hal itu membuat saya minder hingga tidak menyelesaikan gambar Pasar Serangan sebagai tes untuk ujian masuk”, tuturnya.
Saat itu Sigit memang tidak terlalu yakin bisa diterima di sekolah seni di Jogja, maka Sigit alihkan pikirannya pada sesuatu yang pasti saja karena dia sudah diterima masuk di UNS meskipun itu bukan perguruan tinggi seni yang diidealkannya. Namun kenyataan berkata lain, ketika penerimaan mahasiswa ASRI diumumkan ternyata Sigit diterima, meskipun pada awalnya kurang yakin hingga menyuruh saudaranya untuk melihat hasil pengumumannya di kampus.
“Awal masuk ASRI tahun 1983 rasan

ya saya benar-benar sudah jadi seniman lukis top. Tapi di tahun ke tiga dan ke empat, pupus sudah. Lha piye, lihat karya-karya mahasiswa lain ternyata begitu luar biasa. Nilai mereka bagus bagus dan semangat nglukisnya begitu militan. Sempat saya berpikir, kayaknya keinginan menjadi seniman atau pelukis berhenti sudah sampai disitu saja”, kenangnya.
“Terus terang saya sempat malas dalam kuliah dan malas dalam berkarya. Kalaupun harus melukis itu hanya karena tugas akademis serta untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Sebab kuliah tidak lulus lulus, sementara bantuan dari orang tua yang saya terima tidak cukup banyak”
“Sempat saya berpikir, jika tidak bisa menjadi seniman lukis, setidaknya saya bisa hidup dari hasil coret mencoret, apapun itu. Jika jadi tukang sablonpun akan saya jalani sebab masih ada hubungannya dengan menggambar”
Ketika akhirnya lulus dari ASRI di tahun 1993, Sigit tidak ikut acara wisuda. Ijasahnya juga tidak dia ambil, karena waktu itu persyaratan foto kurang. “Dikira kawan lain saya belum bayar, tapi sebenarnya tidak terambil karena fotonya kurang”.
Dulu memang foto yang dibutuhkan buat ijasah berjumlah enam lembar, tetapi Sigit cuma punya lima lembar. Mau cetak lagi klisenya sudah hilang. Akhirnya dia menunda-nunda dalam mengurusnya.
“Saya baru mengambil ijasah itu 30 tahun setelah lulus. Beberapa kali ke kampus tetapi selalu batal mengambil dengan berbagai alasan. Sampai akhirnya ketemu Rektor ASRI saat itu, Timbul Raharjo, dua minggu sebelum pelantikannya”.
“Mbul ijasahku durung tak jupuk ki”.
” Weh, ijasah apa? Lulus pa? “
“Bajigur… Lulus tho ya… “
“Durung mbayar? “
“Uwis, cuma fotone kurang”
“Yo wis ndang dijupuk, timbang tak obong mergo ngebak-ngebaki”, kata Timbul berkelakar.
Akhirnya ijasah itu dicari dan disiapkan Timbul. Sigit diminta mengambil sendiri ke kampus. Petugas kemudian menscan kekurangan foto dan memberikan ijasahnya. “Dia nanya, buat apa Pak? Nggo duwen duwen, jawabku sekenanya”, cerita Sigit.
Sigit kemudian memamerkan ijasah itu kepada teman-temannya. Tapi mereka kemudian berkomentar, ” Lha ngapa mbok jupuk saiki, kalau ngambilnya dulu kan bisa digadaikan. Wah dadi gela aku hahaha… “, kata Sigit sambil tertawa.
Jadi Ilustrator
Sigit kemudian mengenang di saat saat akhir kuliah tahun 1991, ia sedang kost di samping rumah perupa Ong Hari Wahyu. Mengisi waktu yang banyak menganggur karena hanya tinggal mengambil skripsi dan tugas akhir, dengan menerima pesanan bikin ilustrasi.
Suatu ketika pelukis Ivan Sagita, yang beraliran surealisme main dan melihat Sigit sedang membuat gambar ilustrasi dengan cat air.
“Kowe nggambar ilustrasi ngono kuwi dadi pirang ndino? Dibayar piro?” Tanya Ivan
“Ya suwi, isa seminggu mergo nggo cat air. Bayarane yo mung selawe ewu” jawab Sigit dengan lugu.
“Kowe kuwi cah lukis lho. Yen weruh ngono kuwi aku dadi sedih. Lha mbok kowe nglukis nggo cat minyak, mengko tak dolke. Nggambar sesasi isa rampung to? “
“Jelas iso, bung”
Ivan kemudian menawarkan untuk mencarikan kolektor lukisan. Ia ingin Sigit merampungkan lukisan sekitar dua minggu dan menjanjikan harga yang berlipat lebih dari pada bayaran yang diterima saat bikin ilustrasi.
Tentu saja Sigit gembira dengan tawaran ini, membayangkan biaya untuk buat skripsi dan tugas akhirnya bisa berjalan dengan lancar. Hingga suatu ketika Ivan benar-benar menawarkan pekerjaan itu.
“Kowe gelem nggambarke aku opo ora? Ngko tak wenehi lumayan”
“Iso, mbok nggo dewe to? “
“Iyo, tak nggo dewe”
Sigit kemudian juga diperkenalkan dengan beberapa kolektor, satu diantaranya adalah Koes Karnadi. Dia adalah fotografer dan juga pembuat buku Seni Rupa Modern Indonesia. Koes ternyata tertarik dengan karya Sigit dan beberapa dari karyanya kemudian dibikin post card .
Maka sejak saat itu Sigit mulai bisa menikmati harga tinggi dari karyanya. Koes memesan dan membeli karya Sigit secara bertahap, dengan nilai uang yang terbilang cukup lumayan pada saat itu, apa lagi bagi mahasiswa dengan kehidupan sederhana seperti Sigit
Kemudian ketika ada pameran di kampusnya, ada karyanya yang lain dibeli oleh Oei Hong Djien. “Itu pertama kali lukisan saya dibeli oleh OHD, dengan tema erotik karena menampilkan dua figur wanita setengah telanjang sedang berhadap-hadapan”.
Sebenarnya karyanya juga pernah laku ketika masih aktif kuliah pada tahun 1988, sewaktu ikut pameran di DKS Surabaya. “Kalau tidak salah waktu itu laku sekitar 300 ribu rupiah. Padahal bayar kost sebulan hanya 10 ribu rupiah, kuliah 15 ribu per semester”, ucapnya.
Pilihannya ke aliran realisme, selain karena kesukaan pada komik, juga keinginan untuk membuat karya yang baik dengan mengikuti lomba-lomba. “Waktu SMP dan SMA saya beberapa kali mengikuti lomba, meskipun tidak pernah menang sama sekali selama ikut lomba”.
Ia sadar bahwa yang memperoleh penghargaan adalah peserta dengan teknik menggambar yang bagus. “Maka saya berusaha bagaimana caranya supaya bisa memiliki teknik menggambar bagus seperti mereka”. Jadi masalah kebentukan itu sudah menjadi perhatian dia sejak remaja.
Didorong juga ia pernah melihat buku berisi karya-karya pelukis El Greco milik pamannya. “Meskipun hitam putih, tetapi lukisannya bagus bagus. Jadi kalau dari komik saya belajar soal garis dan narasi penceritaan, maka lewat karya El Greco ini saya belajar tentang potret serta bentuk tubuh yang realis”.
Ditambah ia pernah main ke sebuah toko cat minyak bersama Wiji Thukul dulu. Tokonya bernama Karono, dan di situ Sigit melihat karya-karya Dullah dan murid-muridnya terpajang. Lukisan mereka bagus-bagus dengan teknik yang luar biasa.
Pada akhirnya Sigit mengungkapkan dirinya tertarik pada objek realistik. “Karena dengan memiliki kemampuan tehnik realis, saya bisa secara mudah untuk merealisasikan sebuah bentuk yang ada dalam pikiran saya melalui gambar”.
Sigit sudah menggelar dua pameran tunggal di galeri bergengsi Edwin’s Gallery, Jakarta, pada tahun 2005 dan 2023. Selain itu, ia juga aktif dalam pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri.
Berbagai penghargaan berhasil dia raih, di antaranya Karya Terbaik Biennale IV Yogyakarta (1994), 10 lukisan terbaik “The Phillip Morris Group Indonesian Art Awards” (1994), Finalis “The 2006 Sovereign Asian Art Prize”, Hong Kong, Finalis “The 2007 Sovereign Asian Art Prize”, Hong Kong, dan beberapa penghargaan lain. (BP)
Padmanews.Id Online Lifestyle News





