Akhmad Khafidz Basri Yusuf, pria kelahiran 25 Mei 1954 ini memiliki sepak terjang yang panjang di dunia bulutangkis. Baik sebagai pemain maupun pelatih.
Kala itu, pelatih Indonesia sendiri sangat diburu oleh negara-negara lain karena berhasil memoles dan melahirkan para jawara dan legenda bulutangkis di negara lain.
Salah satunya ialah Akhmad Khafidz Basri Yusuf yang biasa disapa Basri Yusuf, meskipun merupakan nama yang cukup asing di era saat ini tetapi memiliki andil besar dalam dunia badminton baik untuk Indonesia maupun negara lain.
Basri mengawali kariernya sebagai pemain Pelatnas PBSI pada era 1975-1980, dan sukses menorehkan sederet prestasi baik di nomor tunggal maupun ganda.
Salah satunya ialah semifinalis nomor ganda New Delhi Memorial Championship (1976), runner-up nomor tunggal Kejuaraan Nasional di Semarang (1977), quarter finalis nomor tunggal Indonesia National Open (1978).
Lalu juara beregu dan runner-up nomor ganda Pesta Sukan Brunei Darussalam (1985), serta peraih medali emas tunggal dan medali perunggu ganda dalam World Master Game 2009 (55+) di Sydney, Australia.
Melansir informasi dari ByPro Badminton, usai merasa puas sebagai pemain, Basri Yusuf pun memutuskan untuk banting stir menjadi seorang pelatih bulutangkis pada tahun 1980 hingga 2012.
Saat ini Basri Yusuf masih aktif di dunia bulutangkis. Baru baru ini ia dipilih kembali sebagai ketua umum Pengprov PBSI Jateng periode 2023-2027. Berikut wawancaranya dengan Tim Padmanews baru baru ini.
Lahir di Solo tahun 1954, ia tinggal di Coyudan. Pada tahun 1960-an di situ ada Lapangan Bengyu yang terdapat dua lapangan. Lapangan Bengyu ini bersejarah, karena pada tahun 1960-an atlet atlet nasional lahir di lapangan ini, antara lain Darmadi yang merupakan tetangga Basri. Kemudian ada Indra Gunawan dan Indratno yang juga tetangga.
Pada saat kecil Basri sering melihat mereka berlatih bulutangkis. Mereka inilah yang menginspirasi Basri untuk menyukai badminton. “Padahal setelah mereka selesai main, lampu gedung lapangan itu dimatikan. Karena mempunyai impian yang tinggi saya main badminton sama orang-orang kampung situ dalam kondisi lampu mati”, tuturnya.
Kemudian setelah berkembang dia bergabung dengan klub PB Abadi Solo. Klub ini juga melahirkan banyak atlet nasional seperti Wong Pek Sen (Darmadi), Indra Gunawan, Icuk Sugiarto, Joko Suprianto, Hafidz Yusuf, dan tentu Basri juga. Di klub itulah Basri memperdalam kemampuan badmintonnya. “Klub ini punya ciri khas pukulan spesial yang berbeda dari klub lain. Panutan saya itu Tjondro Saputro, yang memiliki pukulan sequence, yakni pukulan-pukulan tipuan”.
Ia semakin matang. “Ketika ada seleksi kejurnas se-Jawa Tengah pada tahun 1973 saya dipantau dan kemudian masuk Tim Kejurnas di Jawa Tengah. Kemudian setelah Kejurnas di Surabaya, saya melanjutkan studi saya”.
Namun Basri kemudian ditarik oleh Agus Susanto (Tan Tjong Gwan), pemain Thomas Cup era 1960-an, untuk bergabung ke Klub Djarum di Kudus pada tahun 1974. Setelah latihan sebagai pemain, pada tahun 1976 ia kemudian terpilih untuk masuk pelatnas. Kemudian ia mengikuti kejuaraan pertama Asia di New Delhi dan di Hyderabad.
Di Hyderabad mengalahkan andalan China, Yu Yao Tong (CHN). Ia juga sempat melihat dan memperhatikan pola permainan para pemain China, Tong Sin Fu / Tang Xian Hu, Hou Chia Chang, yang memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Namun Basri harus menyerah dari pemain top Thailand, Bandid Jaiyen setelah rubber set.
Kemudian ikut kejuaraan dunia yang pertama di Malmo Swedia pada tahun 1977. Final kejuaraan itu berhadapan Liem Swie King melawan Flemming Delfs dari Denmark. Pertandingan dimenangkan oleh Delfs.
Meskipun sudah menjadi pemain nasional, Basri merasa momen dan periode dirinya tidak pas. Pada saat itu banyak pemain top yang sulit ditembus, yakni Iie Sumirat, juga Liem Swie King. “Koh Rudy (Rudy Hartono) masih main juga saat itu. Jadi menjadi pemain cadangan saja sudah seneng banget”, tuturnya.
Apalagi di partai ganda, waktu itu ada Tjun Tjun – Djohan Wahjudi, Christian Hadinata – Ade Tjandra.
Waktu itu asrama atlet nasional masih di Jalan Manila tempat latihannya masih di Hall “C” Itu sangat bersejarah. Di asrama itu masih menyatu dengan atlet nasional sepak bola, tenis, badminton. Yang Sekarang sudah menjadi alih fungsi yaitu Plaza Senayan”. Jika sedang berlatih fisik bisa bareng atlet olahraga lain, misal petinju Syamsul Anwar, petenis Wailan Walalangi atau pemain sepak bola Ronny Pasla (Gol Keeper).
Setelah mengikuti banyak kejuaraan dunia, pada tahun 1980 ia memutuskan berhenti sebagai pemain. “Umur saya sudah lebih. Game 15 waktu itu dengan umur di 21 – 22 terasa berat banget. Beda dengan yang sekarang rally point, yang menurut saya take off-nya atlet dunia bisa di umur 22. Kalau yang dulu, take off harus di umur 15 – 16”.
Kemudian Basri menjadi pelatih di PB Djarum. Ia melatih anak-anak, termasuk di antaranya Haryanto Arbi, Lioe Tiong Ping, Rusmanto. Namun pada tahun 1985 ada seleksi. Saat itu terjadi kekurangan pemain dan akhirnya Basri terpilih untuk masuk lagi sebagai pemain ganda berpasangan dengan Simbarsono. Waktu itu hanya untuk persiapan Sukan Brunei Tahun 1985.
“Saya juga jadi playing captain. Alhamdulillah timnya juara, dan saya sendiri individual menjadi runner up” ganda putra. Pada waktu pemain-pemain Malaysia seperti Razif Sidek dan Jalani Sidek masih main. Usai dari Brunei, Basri terus melatih hingga 1986 hingga ia mengundurkan diri dari PB Djarum, berniat untuk mandiri dengan membuka usaha sendiri.
Buka Toko
Ia ingin punya usaha dengan membuka sebuah toko di Solo, dan diberi nama Rima Sport. “Meskipun saya sudah mundur dari PB Djarum, namun saya tetap merasa masih bagian dari keluarga besar PB Djarum. Dalam perjuangan di dunia usaha, saya tetap dibantu, itulah enaknya di Djarum dan ini saya anggap anugerah bahwa saya bernaung dalam satu manajemen yang lebih mementingkan kesejahteraan karyawannya. Saya sempat heran dan penasaran kepada para supplier dari Jakarta itu kok berani mensuplai produk-produk mereka ke toko saya, padahal toko saya masih baru”.
Setelah dua tahun akrab dengan para supplier, Basri kemudian bertanya mengapa mereka dulu berani memasok barang ke tokonya yang masih baru. Bagaimana jika tidak terbayar? katanya. “Ternyata memang ada peran PT Djarum, khususnya atas permintaan Yan Haryadi. Dia meminta para supplier di Jakarta untuk mengisi toko saya. Dia bilang, kalau ada apa apa / masalah urusannya dengan saya”.
Saat itu Basri juga mencoba membuat usaha produksi tas. Lagi-lagi Yan Haryadi yang saat itu hendak pergi ke Taiwan mengurus produk Prokennex, yang merupakan anak perusahaan PT. Djarum, lalu mengajak Basri. Ia kemudian ditunjukkan bahan-bahan tas yang bagus, bagaimana cara produksi tas, sablon, cara memotong. Basri menimba ilmu produksi tas selama di Taiwan itu.
Ketika Prokennex membuka agen untuk alat-alat olah raga, Basri kemudian diberikan pekerjaan dan ditunjuk untuk memegang seluruh area Jawa Tengah sebagai supplier “DAYA RAGA”. “Untuk menambah income kepercayaan itupun saya ambil dan jalani, Selama 3 tahun saya menjalaninya alhamdulillah berjalan lancar namun setelah semuanya saya jalani yaitu dua minggu di jalan, satu minggu ngepak, satu minggu istirahat, terus berangkat lagi. Kok rasa-rasanya dari kacamata berkeluarga keharmonisan keluarga kurang baik, akhirnya saya fokus dengan produksi tas saja, namun demikian toko-toko customer saya masih tetap pesan melalui telpon”.
Usahanya berjalan bagus, toko jalan, produksi tas meningkat hingga memiliki 60 karyawan. Namun tahun 1998 terjadi krisis ekonomi. Bahan baku tas impor dari Taiwan yang dibeli dengan US dolar akhirnya disetop. “Saat itu stok bahan mentahnya masih ada tapi harga jual produk jadinya tidak terjangkau karena nilai dolar yang melonjak”dari Rp 2.500 menjadi Rp 17.500.
Basri akhirnya kembali ke Singapura, karena keluarga, yakni istri dan anak anaknya warga Negara Singapore dan tinggal di Singapura. Anak pertama Muhammad Malik Amrullah Basri (lahir 1981), kedua Muhammad Ridwan Basri (1985), ketiga perempuan Rima Amaliah Basri (1992). “Yang ketiga ini lahir setelah pergi haji, saya berdoa minta dikasih anak perempuan. Alhamdulillah terkabul”.
Anak pertama Malik sekarang ada di Maryland Amerika Serikat, sudah berkeluarga dan punya dua anak. Yang kedua di Singapura Mohammad Ridwan Basri, dan anak ke tiga perempuan Rima Amaliyah Basri tinggal di Melbourne. “Jadinya sekarang saya seperti mantenan terus hahaha”. Basri sekarang sedang menantikan kelahiran cucu tambahan lagi dari anaknya di Melbourne dan menantunya di Singapura. Keduanya diperkirakan lahir pada Januari 2024 nanti. Keseluruhan cucunya berjumlah enam nantinya.
Mengenai tokonya diberi nama Rima, karena merupakan gabungan antara Ri dari Basri dan Ma dari nama istrinya Jasmawati binte Abdul Jalil. Kemudian juga dari nama anak kedua Ridwan dan anak pertama Malik. Makanya nama anak ketiga yang perempuan adalah Rima.
Tentang istrinya yang bernama Jasmawati binte Abdul Jalil ini, Basri berkisah. Saat jadi pemain nasional apabila ada kejuaraan di Eropa penerbangan pesawat terbang tidak langsung seperti sekarang selalu transit semalam (over night) di Singapura. Nah, kebetulan istrinya saat itu kerja di Bandara Changi Paya Lebar “Biasa anak muda hahaha, solu solu solu / goda-goda, jadi”. Singkat kata, pendekatan Basri berhasil.
Ia menikah tahun 1979 dan kemudian mengajak istrinya ke Kudus karena saat itu ia melatih di PB Djarum. Ketika pindah ke Solo tahun 1986, istri juga ikut dan ia memegang toko Rima dan membantu usaha produksi tasnya.
Meski punya usaha, kecintaan Basri pada badminton tidak luruh. Ia bergabung dengan Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) sampai 2 (dua) periode sebagai ketua bidang olahraga. Ia kemudian mendirikan Pusat Latihan Cabang di Solo. Saat itu ada Pusdiklat Djarum di Kudus dan ada juga Pusdiklat Jawa Tengah.
Ia lalu pergi ke Kudus dan meminta izin kepada Bapak Margono (ketua PB DJARUM) saat itu untuk mengambil alih Pusdiklat Jawa Tengah di Solo, karena waktu itu Basri bergabung dengan PMS. Ia kemudian mengadakan Pusdiklat All Pro di Solo. Dari situ lahirlah Sigit Budiarto, yang awalnya bergabung di PB Djarum. Kemudian ada juga Luluk Hadiyanto, Eko Hamiseno. “Di final Kejurnas di Solo, Eko ketemu Jeffer Rosobin. Jadi pembinaan di Solo waktu itu cukup lumayan lah”.
Suka Membaca
Basri mengungkapkan, peralihan dirinya dari seorang pemain menjadi pelatih badminton didukung oleh kesukaannya membaca buku. “Waktu itu internet belum seperti sekarang, jadi yang dibaca buku. Saya suka buku tentang pembinaan fisik, cara pelatihan, sport science dan lain-lain”.
Dari buku-buku itu Basri paham bahwa cara melatih atlit tidak bisa instan. Harus melalui suatu proses yang panjang. Waktu di Kudus ia melatih Haryanto Arbi, ia mempraktekkan / mengaplikasikan pembinaan fisik karena itu sangat penting selain faktor teknik.
Melanjutkan ceritanya ketika kembali ke Singapura tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, Basri pada akhirnya menutup usaha tasnya. Ia kemudian melamar bekerja di Singapore Badminton Association (SBA). Di sana Basri melahirkan Ronald Susilo, orang Indonesia di Singapura, yang kemudian pernah mengalahkan Lin Dan di Olimpiade 2004 di Athena.
Pada SEA Games di Brunei tahun 1999, Basri sebagai pelatih kepala memimpin tim badminton Singapura. Selama ini Singapura tak pernah meraih kemenangan. Di Brunei ini tim badminton Singapura berhasil masuk semi-final, meraih medali perunggu.
Tahun 2000 Basri pindah ke Malaysia karena ia ditawari special project untuk menangani squad junior. Ia dikontrak oleh Majlis Sukan Negara (MSN), semacam lembaga KONI, dan diperbantukan di Badminton Association of Malaysia (BAM).
Karena para Junior yang dilatih kemudian mengalami peningkatan besar, pada tahun 2001 Basri kemudian ditarik ke tingkat /Squad nasional untuk membantu Misbun Sidek. Waktu itu top playernya ada Wong Chun Han, Roslin Hashim, Muhammad Hafiz Hashim (2003 juara All England) (Lee Chong Wei, dan Kuan Beng Hong masih back up player)
Dua tahun mengelola tim nasional di BAM, Basri kemudian balik ke Singapura dan bergabung di Singapore Sport School dari 2003 sampai 2012. Di situ Basri melahirkan Loh Kean Yew, yang kemudian jadi juara dunia 2021 di Spanyol.
Dijelaskannya bahwa jago-jago badminton Singapura sekarang ini merupakan asuhannya dulu. Misal Terry Hee, Crystal Wong, dan tentu saja Loh Kean Yew.
Selama di Singapore Sport School ini Basri bekerja dengan banyak tenaga ahli, sementara dia sendiri sebagai kepala pelatih dan menangani tunggal putra. Setiap tahun Ia diberikan dana / capacity building yang bisa dipakai kemana saja untuk belajar bidang yang ditanganinya.
Basri sempat belajar ke China pada tahun 2005 dan mempelajari ekosistem pembinaan di sana. Kesempatan itu didapat saat mengunjungi salah satu sport school di Beijing yaitu Shichahai Sports School yang runtut pembinaannya dari sport school, lalu ke provinsi, terus naik ke tingkat nasional. Di China ada 256 sport school. Yang ada cabang badmintonnya hanya sekitar 60. “Di Setiap sport school di sana tersedia lab-nya untuk talent identification, di mana pembinaan olahraga di sana sudah menggunakan pendekatan sport science”, tuturnya.
Misal, anak yang sama-sama lahir tahun 2000, salah satu cara mengidentifikasi atlet dengan melakukan scanning pada telapak tangan mereka, selanjutnya dapat diprediksi dari ruas-ruas tulang mereka, mana atlet yang bakal tinggi, dan masih ada beberapa alat lain yang dipakai untuk mengidentifikasi bakat atlet. “Itu ekosistem yang saya pelajari di China. Pencarian bakat dan pembinaan sudah berbasis sport science”, kata Basri.
Selain itu olahraga di China, termasuk badminton, juga disubsidi pemerintah. Dari sport school, atlet-atlet yang bagus dimasukkan ke training center provinsi. Nah yang mantan mantan atlet direkrut dan dijadikan pengajar di tingkat provinsi. Mereka juga digaji dengan baik.
Setelah satu bulan belajar dan mengamati ekosistem pembinaan atlet badminton di China, Basri kemudian pulang ke Singapura. Kemudian dia harus presentasi secara ilmiah di depan para kepala pelatih cabang lain dan juga ilmuwan yang mengurusi olahraga.
Basri yang mengurus pemain secondary (setingkat SMP 4 tahun) kemudian membuat program dan work target yang kemudian diserahkan kepada supervisor officer. “Ini yang disebut performance management system (PMS). Setiap 6 bulan sekali direview. Kalau ada yang meleset dari work target dan kompetensi maka segera diadakan diskusi untuk antisipasi ke depannya agar lebih baik lagi”.
Basri juga mengikuti berbagai pelatihan di Australia, seperti sport management, sport administration. Strength and Conditioning (ASCA Leel 1 & 2) “Itu pengalaman pelatihan saya. Jadi cukup komplet. Kalau fail to plan, plan to fail. Jadi kalau merencanakan sesuatu saja tidak bisa, maka dirimu sedang merencanakan kegagalan”.
Pada September tahun 2012, President Director Djarum Foundation Victor Hartono datang ke Singapura dan menanyakan kapan Basri selesai kontrak dengan Singapore Sport School. Victor kemudian menawari untuk pulang ke Indonesia dan bergabung diperbantukan di PBSI pusat periode 2012-2016. Ia kemudian pulang ke Indonesia.
Panduan Pelatihan
Basri kemudian memperdalam lagi pengetahuannya tentang sport science, dan kemudian di tahun 2012 itu di Pelatnas dia menyusun sebuah Sistem Informasi yang powerfull. Semua data berkaitan dengan atlet, pelatih secara nasional terdata dengan baik dalam sistem tersebut.
Selain itu, ia juga menyusun dan memperkenalkan performance analysis kepada para pengurus, pelatih dan atlet di Pelatnas. “Dari video dan aplikasi yang saya rekomendasikan untuk dibeli, dengan aplikasi tersebut kita bisa menganalisa kebiasaan dan kelemahan lawan. Berapa persen langkah matinya di sini, atau berapa persen di sana, Kemudian juga mengetahui spesialisasi lawan seperti apa, berapa kali atlet melakukan unforce error bahkan bisa juga untuk memanipulasi gerakan badminton dalam pelatihan”.
“Kemudian bagi ganda, tiga pukulan pertama itu penting. Kita lihat bagaimana lawan mengembalikan bola, apakah lurus atau net. Saya kemudian memberikan hasil analisa kepada pelatih dan pemain dalam bentuk video clip hasil tagging untuk membantu memberikan bekal pada situasi permainan dengan lawan yang akan dihadapi”.
Basri juga membuat kejuaraan Junior Master, untuk menindaklanjuti ranking point nasional. Ia kemudian mengakumulasinya dan top 16 pemain tunggal serta top 8 ranking nasional dipanggil ke Pelatnas untuk ikut kejuaraan junior master sekaligus sebagai ajang seleksi. “Waktu itu banyak media mempertanyakan mengapa generasi penerus tidak ada. Nah saya jawab dengan adanya Junior Master ini”.
Mereka kemudian ditindaklanjutkan dengan tes fisik, ada enam tes fisik yakni VO2 Max, court agility, vertical jump, sit up, push up, standing broad jump, dan skipping rope. “Jenis test tersebut adalah latihan yang ada kaitannya dengan gerakan badminton. Selama 3 (tiga) tahun kejuaraan junior master diadakan, data hasil tes fisik tersebut saya simpulkan menjadi parameter fisik. Tujuannya untuk dijadikan patokan bagi pembinaan klub daerah “.
Menurut kriteria dalam tes bahwa data yang dipakai haruslah konsisten dengan usia tes, selalu diambil dengan usia yang sama, misal di usia 11 tahun, maka periode /tahun berikutnya juga sama 11 tahun. Demikian juga jika usia yang ditetapkan adalah 12,13, atau 14 dst
Basri mengemukakan, ia melakukan hal ini untuk menjawab pertanyaan yang beredar di masyarakat termasuk media sosial bahwa pemain kita itu kalah dalam fisik dan kecepatan (speed and power) dari para pemain China. “Terus saya tanya, kita kalah power itu yang mana, up body atau low body? Terus soal speed juga tidak jelas yang bagaimana, gerakan bagaimana yang diambil? Cuma secara kasat mata saja kalah cepat mainnya”.
Ia melihat patokan atau benchmark untuk mengukur semua itu tidak spesifik. “Kalau ada patokan yang jelas saya baru bisa mengatakan kepada pemain, kondisi fisik kamu jelek. Kok jelek? Karena tes fisikmu dilihat dari parameter ini kamu dalam kondisi di bawahnya”.
“Jadi selalu berdasarkan data. Bukan sekadar mengatakan kamu jelek dan lambat. Tapi ketika ditanya lambat bagaimana, kita tidak bisa menjelaskan”.
Basri kemudian membuat buku tentang Parameter Fisik atlet yang sementara itu dapat dijadikan sebagai patokan pembinaan fisik berdasarkan data dari hasil kejuaraan junior master, yang kemudian disumbangkan ke PBSI. “Legacy lain setelah tidak di PP PBSI ada 3000 video dari permainan atlet-atlet dunia juga saya serahkan ke PBSI. Harapan saya bisa jadi perpustakaan, sehingga generasi mendatang bisa belajar dari permainan para atlet top itu”.
Legacy lain selama ini Basri sudah menciptakan Sistem Informasi (SI_PBSI) sebagai aplikasi yang sampai sekarang masih dipakai oleh seluruh pengprov dan pengkab/kota PBSI di Indonesia. Performance Analysis, Parameter Fisik, dan Junior Master. Ia kemudian diminta untuk menjadi ketua Pengprov PBSI Jawa Tengah, membawahi 35 Pengkab/Pengkot. “Dari interaksi dengan para pengurus Pengkab/Pengkot saya juga usaha berinovasi dalam pembinaan pelatihan dengan melakukan sinergitas antar pengurus pengprov dengan pengkab/pengkot.
Membuat Buku
Saat Covid melanda ada hikmah yang dipetik Basri. Selama itu tidak diperbolehkan ada aktivitas berkumpul / work from home, sehingga ia tidak menyia-nyiakan waktu luang dengan menulis buku yang kerangkanya sudah disusun sejak tahun 2005 saat masih bekerja di Singapura. Akhirnya Basri berhasil menulis enam jilid buku tentang pembinaan badminton berbasis sport science. Yaitu dari kategori usia 0 hingga 6 tahun (PAUD), 6 hingga 9, 9 sampai 12, 13, 14 terus sampai tingkat elite. “Itu merupakan kristalisasi pengalaman hidup saya sebagai pemain, pelatih, dan belajar di luar negeri”.
Kenapa pembinaan berbasis sport science? Karena para pelatih itu biasanya melatih berdasarkan pengalaman mereka sebagai mantan pemain, sehingga filosofi mereka adalah apa yang didapat selama menjadi pemain maka hal itulah yang diterapkan dalam program pelatihan kepada anak didiknya. Pelatihan itu seharusnya berdasarkan kronologi biologis dan bukan kronologi usia. “Misal dua orang yang lahir di jam, hari, tanggal, dan tahun yang sama tentu dianggap sama berdasarkan kronologi usia. Namun jika berdasarkan biologis berbeda, yang satu tulangnya besar, yang satu bisa saja kecil. Yang satu tinggi, satunya lebih pendek, dimana pelatihan harus disesuaikan dengan perkembangan pertumbuhan atlet”.
“Jika berdasarkan biologis, maka akan ada cerita dan perkembangan seorang anak itu sangat penting. Misal kapan perkembangan usia emas seorang anak. Dalam hal ini ada tiga tahap usia emas ini. Pada tahap usia antara 0 hingga 6 tahun adalah golden age develope, masih di tangan orang tua. Anak mendapat nutrisi dari air susu ibu”.
Di dalam otak anak, tambahnya, ada berjuta-juta syaraf neuron yang harus diisi dan bagaimana mengisinya. Kemudian dilatih motoric skill-nya, ada serabut kasar dan serabut halus. Jika otak berkembang dengan benar, maka itu jadi fondasi yang kuat untuk menjadi atlet kelak. “Jangan sampai missed food misalnya”.
Jadi disiplin sport science itu bukan sekadar terapi, psikologis dan lain-lain karena itu hanya bagian dari sport science. ” Kami justru membahas dalam buku soal bagaimana golden age ini dikembangkan. Jadi sejak lahir sudah dipersiapkan untuk menjadi atlet yang baik kelak”.
Pelatihan fisik dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni sebelum puber, saat puber dan setelah puber. “Pada anak yang belum puber, pertanyaannya adalah apakah boleh atlet diberikan pelatihan beban? Tentu belum boleh. Jika ingin penguatan pakai body weight adalah yang paling bagus. Kemudian kapan boleh diberi beban? Pada saat dia sudah masuk fase puber. Secara kasat mata ciri-cirinya kalau perempuan ya sudah datang bulan, kalau laki-laki suaranya sudah besar, dan ada jakun”.
Namun tinjauan science beda. Tiap pagi dalam satu bulan tinggi badan dipantau. Jika dalam satu tahun si anak naik 8 cm, maka dia sudah masuk puber dan ini mengacu pada temuan para scientist. “Nah, di fase itu bisa pakai beban dan itu pun harus bertahap. One repetition maximumnya dilakukan terlebih dahulu untuk memulai pemberian beban pada saat awal pelatihan dengan beban berapa kilogram yang pas untuk diberikan. Ada hitungannya semua. Tidak bisa instan”.
Risiko anak kalau instan, bisa saja membuat anak mudah cedera. “Jadi tanggung jawab kita sebagai pelatih lho, karena kalau cedera tak akan bisa 100 persen pulih. Makanya gerakan harus benar, teknik angkatan harus benar. Cara berlari pun harus benar”.
Yang namanya Long Term Athlete Development (LTAD) itu dengan cakupan 10 tahun atau 10 ribu jam. “Hitungannya kalau dalam sehari latihan 1,5 jam, ya bukan dihitung sehari, tetapi ya cuma dihitung 1,5 jam itu. Kemudian diakumulasi sampai mencapai 10 ribu jam”.
Maka ketika Basri menjadi ketua Pengprov Jawa Tengah, bukunya menjadi silabus pelatihan di Pengprov PBSI Jawa Tengah dengan 14 modul. “Saya sudah memberikan pelatihan tingkat Pengprov, dan bersertifikat. Jadi saya berharap para pelatih sudah diberi pembekalan awal tentang sport science. Pilot project-nya di Jawa Tengah, karena kawasan ini merupakan salah satu kantong / lumbung atlet atlet potensial”.
Basri berharap panduannya itu bisa jadi blue print pembinaan atlet secara nasional, setelah jadi pilot project di Jawa Tengah. “Beberapa Pengprov juga sudah berminat untuk mengadopsi”.
Ia melihat sudah waktunya pelatih memiliki knowledge dalam kepelatihan. Kemudian kesadaran para pelatih bahwa di dalam pelatihan tidak ada kata instan, semuanya haruslah melalui satu proses yang panjang untuk mencapai sukses ke depannya. “Pelatihan atlet merupakan suatu proses yang panjang, tidak instan”. (BP/WIN)