Sejak awal Yoppy Rosimin muda sudah bercita-cita ingin kerja di PT Djarum Kudus. Persinggungan pertama adalah ketika ia bergabung dengan PB Djarum sebagai pemain ketika SMA.
Namun selepas kuliah ternyata jalannya harus berliku, bekerja di tempat-tempat lain dulu. Pada akhirnya pria energik dan ramah ini berhasil memenuhi cita-citanya itu.
Kepada tim Padmanews, Yoppy yang kelahiran Adiwerna, Tegal 6 April 1961 ini bercerita tentang dirinya dan keterlibatannya dengan Djarum, hingga kini menangani Bakti Olahraga Djarum Foundation sebagai Program Director. Diselingi dengan dialek dialek Tegal, obrolan di Djarum Supersoccer Arena Kudus itu berlangsung gayeng.
Yoppy mengisahkan, dia kuliah setelah lepas dari PB Djarum tahun 1980 di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ambil jurusan manajemen. Setelah sebelumnya di SMA dari kelas 1 hingga kelas 3 bermain badminton di PB Djarum. “Prestasi saya sedang-sedang saja”.
Tahun 1977 bergabung, setahun kemudian mulai memenangkan pertandingan, baik tunggal maupun ganda. Ia menjadi andalan Djarum untuk kelas Taruna U-19. Di antaranya juara beregu pelajar ASEAN 1979 di Jakarta, dan juara tunggal taruna putra Suryanaga Cup 1978 di Surabaya.
Kemampuannya bermain badminton ini tak lepas dari hobi dari kecil. Sejak SD sudah menyukai badminton. Ketika SMP ia sudah berlatih di klub PB Setia yang ada di Tegal. Kemudian ada lima orang dari PB Setia Tegal yang mencoba bergabung dengan PB Djarum. Waktu itu tidak ada testing seperti model Audisi PB Djarum seperti sekarang, hanya ada tes tanding di Kudus. Mereka berlima diterima bergabung dengan PB Djarum karena dianggap punya tehnik dasar yang bagus.
Gedung latihannya juga sederhana, bareng dengan barak tembakau. “Kalau mau latihan harus nyapu dulu serpihan tembakau. Soalnya dulu kalau bikin rokok memakai tampah sambil duduk di lantai. Kita ikut bersih bersih”.
Tahun 1980, setelah lulus SMA Yoppy mulai berpikir tentang apa yang bakal dilakukannya. “Saat itu badminton kita lagi sangar-sangarnya. Ada Rudy Hartono, Liem Swie King dan lain-lain. Rapet banget. Saya berpikir untuk menembus sampai puncak, bakal susah”.
“Paling sampai cuma di tengah-tengah. Kalau cuma sampai situ ya percuma, buang buang waktu saja. Akhirnya saya memutuskan untuk kuliah, dan melepas semua predikat sebagai atlet berprestasi”.
Hobi Tetap Jalan
Namun bagi Yoppy hobi badminton tetap jalan, dan kebetulan kampusnya saat itu butuh atlet badminton. “Justru karena itu saya diterima masuk kampus. Soalnya waktu tes gelombang dua itu saya jawabnya sebisa mungkin. Kalau tidak bisa saya tinggal. Sak anane. Eh ternyata diterima… “.
Indikasinya, jelas Yoppy, sebelum pengumuman ia dipanggil oleh Pembantu Rektor III Pak Charles. Yoppy datang ke ruangannya dan melihat CV-nya disebar di meja dan dia ditanya, ” Bener kamu juara ini semua? Saya jawab, ‘betul’. Habis itu minggu depannya saya diterima”, tuturnya.
Kemudian Yoppy menjadi tim utama Universitas Atma Jaya Yogyakarta sampai lulus pada tahun 1985. Sejak semester pertama dia latihan terus di aula kampus. “Kebetulan banyak teman-teman dari Tegal, Solo, Klaten di situ. Nah saya gabung di situ. Kemudian kita menjuarai banyak pertandingan, termasuk mengalahkan tim UGM Jogja. Salahe UGM ora milih saya, hahaha”.
Di tahun kedua, karena grade badminton Jogja secara umum masih di bawah Jawa Tengah, Yoppy benar-benar menguasai pertandingan di Jogja. Ia nomor satu, baik single maupun double. “Yang jagoan-jagoan itu juara Jogja, selalu ketemu di final, namanya Sunarno dan Arifin. Saya masuk, mawut dan bisa menggeser dominasi mereka semua. Double-nya lawan mereka saya juara, single-nya juga, semifinal lawan salah satu, di final lawan satunya lagi. Saya juara dua tahun berturut-turut”.
Indikasi lain soal Jogja di bawah Jateng adalah soal senar. Di sana tidak ada yang berani memakai senar secara kencang karena takut putus. “Padahal kan senar raket harus kencang. Akhirnya saya bawa mesin senar dari rumah. Saya nyenar sendiri”.
Tadinya ia berpikir untuk dipakai sendiri. Sampai akhirnya suatu saat seorang teman meminjam raketnya. “Lho kok enak ya raketnya. Nyenar dimana? “, tanya temannya itu. Akhirnya setelah didesak, Yoppy mengaku kalau dia menyetel senar sendiri. Akhirnya mereka pada nyenar ke dirinya.
“Kulakan senar Rp 2.500, saya jual Rp 5.000. Padahal waktu itu kalau makan lotek cuma Rp 500 hehehe”.
Tahun 1985 ketika lulus kuliah, Yoppy mulai melamar kerja. Ia ingin sekali kerja di PT Djarum, tapi belum ada lowongan. Ia kemudian bekerja di BCA Semarang selama 6 bulan, sambil menunggu informasi dari Djarum. Sewaktu di BCA, dia ikut kompetisi bulutangkis perbankan, dan tentu saja menguasai kompetisi itu.
Tidak ada panggilan dari Djarum, akhirnya ia balik ke Tegal dan bekerja di Teh Sosro, di bagian teh kering. Ia kemudian ditempatkan di kantor Karawang.
Pada bulan kelima di Sosro atau bulan kesebelas setelah lulus, ia mendapatkan panggilan dari Djarum. Dan ternyata panggilannya dijatuhkan ke rumah calon mertua di Pati, yang dekat dengan kantor Kudus.
“Waktu itu panggilannya pakai telegram, diminta segera ke Kudus, membawa berbagai persyaratan, walah kaget banget saya. Susah sekali waktu itu. Dari Karawang saya ke Kudus memakai Bus Pahala Kencana. Sampai di sini pagi, terus tes hingga jam 10. Lalu diminta tes kesehatan ke Semarang, ke Laboratorium Cito. Sorenya saya balik lagi ke Karawang karena besoknya harus kerja lagi. Wah, edan, remuk rasane awakku”.
Untungnya, jelasnya, ia diterima di Djarum. Kemudian Yoppy pamit ke pimpinan Sosro, yang tentu saja keberatan dengan kepindahannya. “Saya bilang maaf Pak, itu cita cita saya sejak dulu. Akhirnya diizinkan mundur dari Sosro”.
Ia bergabung di bagian finance Djarum, dan kemudian ditempatkan di Cirebon. Selama 15 tahun, dari 1986 hingga 2001. Sebelum kemudian ia dipindahkan lagi ke Semarang.
Sewaktu di Cirebon, Yoppy suka sekali menonton pertandingan badminton di Jakarta. Dari Cirebon ia naik kereta api. Ketika dipindahkan ke Semarang, hobinya nonton pertandingan badminton tetap jalan, bahkan lebih mudah baginya. Jika ke Jakarta dia naik pesawat cuma satu jam.
“Karena sering minta tiket Indonesia Open, Pak Victor Hartono kemudian mungkin bertanya-tanya, siapa tho ini kok suka nonton badminton. Mungkin juga teman-teman saya ngasih tahu kalau saya bekas pemain PB Djarum juga”.
Tahun 2006, ia dipanggil Victor Hartono dan ditanya-tanya berbagai hal. ” Istilahnya di-fit and proper-lah hahaha… Itu setiap ketemu selalu ditanya-tanya”.
Di pekerjaan, bersama teman teman satu tim ia terbiasa berbicara tentang market share produk rokok. Suatu ketika pada sebuah acara, ia berbicara tentang market share versi bulutangkis.
“Eh rupanya Pak Victor dengar. Ia langsung mendekat dan bilang, ‘Bener itu, coba dicek’. Pengurusnya langsung nyari data dan mengecek. Wah aku dosa ini”. Ternyata market share-nya cukup bagus, sekitar 40 sekian persen.
Yoppy merasakan fit and proper test terhadap dirinya jalan terus. Suatu ketika ada rapat manajemen Djarum di Semarang, ia diminta ikut. Ketua PB Djarum saat itu diminta menceritakan progres organisasi. Yoppy juga ikut mendengarkan.
“Lha ternyata suatu saat saya ditodong, ‘Menurutmu bagaimana, Koh? ‘ Dia kalau panggil saya Koh. Wah saya ya jawabnya spontan sesuai pengetahuan yang saya miliki. Menurut saya seharusnya begini begini”.
Ada hal lucu soal saling panggil ini. Victor Hartono memanggilnya Koh, sementara Yoppy memanggil Victor Hartono dengan sebutan Pak. Tapi kepada sang ayah, yakni Budi Hartono, Yoppy justru memanggil Koh. “Hahaha saya dikomplain banyak orang. Kowe edan ya, panggil anaknya Pak, panggil bapaknya malah Koh..Lha piye, wis kadung. Tapi sekarang saya panggil Pak Victor dan Pak Budi Hartono”.
2007 berlalu. Setelah itu ia kemudian tidak pernah memikirkan hal itu dan kembali ke rutinitas kerja di bidang Finance, sudah tidak mikir badminton lagi. Suatu saat pada 15 Desember 2008, ia dipanggil pimpinannya Kepala RSO Kantor Semarang Satata Suteja.
Ia segera naik ke lantai atas dan ternyata sudah ditunggu video conference. “Wah sudah ada tiga direktur, aku salah opo yo, pikir saya. Ternyata kemudian mereka bilang, kami sudah rundingan dan memutuskan Koh Yoppy untuk menjadi ketua PB Djarum”.
” Wuaduh gak ada pemberitahuan apa apa sebelumnya, ujug ujug aja dijadikan ketua. Sebenarnya bukan jabatan itu yang saya pikir, tapi bagaimana PB Djarum itu perlu ada perbaikan berkesinambungan, karena selama itu stagnan, tidak bisa nyodok ke level dunia”, tuturnya.
Ia menyatakan siap saja, namun butuh waktu untuk adaptasi, karena selama ini ia menangani finance. Ia juga selama ini melihat badminton dari sudut pandang luar, sehingga tidak detail. “Lha kan keputusan kalau sudah sampai pucuk pimpinan itu kan final, tinggal 2M = melu apa metu hahaha… “.
Ia kemudian minta izin untuk tinggal di mess di Kudus selama tiga bulan pertama, supaya lebih bisa mengenal anak-anak. Ia kemudian mulai tinggal di Kudus 5 Januari 2009. Sebelumnya ia sudah diminta ketemu banyak pimpinan terkait dengan bidang yang akan dikelolanya.
Ia menggantikan FX Supanji sebagai Ketua PB Djarum. Yoppy kemudian mulai mengumpulkan semua unsur satu satu, bagian security, cleaning service, dapur, pelatih dan staf kantor. “Saya bilang, aku butuh dukungan kalian. Yen meh ora arep ndukung aku, koen ngomong bae. Dadi luwih enak, ngomong di depan”.
Ternyata mereka malah pada kaget. ” Terus mereka bilang, baru sekarang ini lho Pak seumur umur kerja di sini diajak bicara. Akhirnya semua mendukung. Ketua yang saya gantikan juga menyatakan siap. Nah akhirnya kita mulai kerja bersama membangun superioritas PB Djarum seperti era sebelumnya”.
Persoalan kemudian mulai diteliti satu per satu. Sedetail mungkin. Yoppy kemudian juga sampai pada temuan bahwa patung badminton super smash yang dipasang di GOR ternyata di raketnya tidak ada senarnya.
“Saya berpikir, ini filosofinya agak Kurang sreg juga. Makanya bolong terus (prestasi) “. Kemudian saya pengen raket nya bersenar, Sekarang raket itu sudah terlihat ada senarnya.
Yoppy lalu juga memakai filosofi minum teh, kalau terlalu manis perlu ditambah air lagi. Ia kemudian melihat bahwa supaya ada perbaikan perlu ada rotasi dan tambahan pelatih lagi.
Tahun-tahun itu dianggapnya merupakan “masa paceklik” PB Djarum. Memang di kejuaraan level regional nasional masih bisa, namun Yoppy sangat berharap prestasi pada tingkatan yang lebih tinggi. “Waktu itu hampir-hampir saya menyerah, saya merasa keberadaan saya tak memberi arti”.
Ketika menyetir pulang ke Semarang ia sampai ‘mbrebes mili’, berpikir apakah yang dilakukannya itu sudah benar atau tidak. Tapi ia tetap menyemangati diri pasti bisa membawa PB Djarum berprestasi dalam waktu dekat.
Dan di awal tahun 2011 di Makassar tim meraih juara nasional beregu campuran, pertama dalam sejarah setelah 12 tahun. “Bleng masuk satu. Saya yakin sedelat maning loro kiye…. “. Benar saja, Tontowi dan Butet kemudian juara di Singapura, juara di India. Lalu tembus All England, dan seterusnya berbagai kejuaraan diraih hampir tiap tahun, 2011, 2012, 2013 sampai 2020, sebelum Covid.
“Yang paling menyentuh hati saya, tukang taman yang sudah lama kerja di kantor menyambut saya turun dari mobil sambil teriak ‘Pak Yoppy juara lagiii’. Itu hati saya rasanya mak nyesss”, tuturnya.
Selama berkarya ini Yoppy mengakui bahwa figur Budi Hartono sangat menginspirasi dirinya. “Pak Budi itu orang baik, sangat peduli kepada orang kecil. Makan siang kita bareng semua dengan direksi, menjadi momen untuk ngobrol”.
Tipikal sifat dan sikap Budi Hartono dan juga Bambang Hartono ini diketahui sudah sejak lama. Jadi bukan hanya sekarang saja. Sikap itu juga kemudian menular kepada anak-anaknya.
“Saya suatu ketika ketemu Pak Bambang di bandara di Jakarta. Lagi duduk sendiri sambil baca buku bridge. Saya tanya lho sendiri Koh? Iya, mau ke Semarang. Kok gak dikawal? Ngapain, ngrepotin orang jawabnya. Lho kan orang terkaya nomor satu. Dia jawab, jare sapa, kan jare kowe. Wah santai banget beliau”. Akhirnya Yoppy ikut duduk menemani.
Yoppy juga mengingat saat Bambang Hartono sebagai pemain tertua memenangkan kejuaraan bridge di Asian Games Jakarta 2018. Bambang dapat hadiah dan bonus dari Presiden Jokowi disalurkan via Bank BRI. “Hahaha bayangin pemilik BCA dapat hadiah dari BRI dan dia tidak masalah, mau foto silakan foto kata Pak Bambang”.
” Terus duit bonusnya diapakan? Tanya saya. Dijawab, saya kembalikan ke bridge untuk dana pembinaan… Ternyata ora dipek dewe”, tutur Yoppy.
Janji Juara
Yoppy mengingat betul pada waktu mulai masuk mengelola PB Djarum ada beberapa janji yang hendak dipenuhi, yakni 8 hutang kepada PB Djarum yaitu meraih juara Asia Junior, juara World Junior, juara Kejurnas beregu campuran, juara All England, juara Indonesia Open, juara Dunia, juara Olimpiade dan juara Piala Thomas.
“Nah Piala Thomas ini sempat gak teraih berkali-kali. Namun akhirnya berhasil juga. Sudah lunas 8 hutangku hahaha…. “
Bahkan Yoppy juga menyiapkan buku tentang Piala Thomas ini. “Kita siapkan dulu, nanti terbitnya pas juara. Tahun 2018 sebenarnya hampir saja juara, karena sudah sampai final. Ketemu Denmark, wah sayangnya kalah lagi”.
Tahun 2020 Piala Thomas teraih, dan buku itu langsung terbit. Buku ” Thomas Cup, Sejarah tentang Kehebatan Indonesia ” ini secara lengkap mengupas perjalanan sejak tahun 1958. Ketika para pemain dikembalikan kepada PB Djarum dari PBSI, maka bersamaan dengan pembagian bonus, buku ini dibagikan gratis kepada fans badminton
Yoppy menceritakan ketika menyusun buku itu ia memakai banyak dokumen foto yang dimiliki Harian Kompas. “Saya sudah setuju untuk membayar semua foto bersejarah, namun salah satu wakil pimpinan redaksi Kompas Gramedia, ADP alias Adi Prinantyo, kemudian menemui saya. Dia bilang tidak usah bayar tapi seduluran bae dan joint saja untuk menerbitkan buku itu antara Djarum Foundation dengan Kompas Gramedia”.
“Menyusul prestasi itu, bos kita Victor Hartono lalu bertanya, Uber Cup kapan? Sudirman Cup kapan? Waduh terus terang ini masih berat, tapi saya tentu tidak patah semangat”. Sulit bukan berarti tidak bisa.
Untunglah, sekarang ini mulai ada harapan. Para pemain puteri muda usia 15 tahun terlihat bagus. Terus dikirim ke berbagai negara meski belum bisa memenangkan pertandingan. Mereka ke Thailand, ke Belanda Junior, ke Jepang, untuk menambah jam tanding international.
Kisah perjuangan lain adalah ketika menyiapkan untuk Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brazil. PB Djarum secara serius menyiapkannya sejak 2014. Dekat dengan waktu pelaksanaan, perwakilan di Brazil menyiapkan rumah untuk base camp. Seminggu sebelum pertandingan, baru para pemain masuk ke kampung atlet. PB Djarum terus mensuplai kebutuhan logistik mereka.
Yoppy mengenang, sebelum berangkat ke Rio, para pemain itu yang sudah dikumpulkan di base camp Kudus diajak ke pabrik rokok dan mereka diminta pidato dan minta restu kepada para buruh linting rokok.
“Terus ada yang nyeletuk, nanti kalau menang kesini lagi lho ya. Terus saya bilang sama Rexy Mainaky sebagai kepalanya, itu dicatat lho ya. Soalnya kita punya utang itu sama ribuan orang”, tutur Yoppy. Ia juga mengantar tim ke panti asuhan sambil memberikan sumbangan.
Dan ternyata Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad menggoreskan prestasi mereka pada Olimpiade 2016. Saat itu, mereka meraih emas cabang olahraga bulutangkis nomor ganda campuran.
Mereka diarak di Kudus di tengah lautan manusia. Owi dan Butet sebelumnya juga dihadirkan di Perumahan Graha Padma Semarang guna mendapatkan bonus rumah dari Dirut Perumahan Graha Padma Hendro Setyadji, masing-masing satu unit rumah.
Yoppy kemudian juga mengajak mereka kembali lagi ke pabrik rokok untuk bertemu dengan buruh linting, dan juga ke panti asuhan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa para atlet itu tidak hanya dibina soal teknik dan strategi, tetapi juga dibangun karakter mereka.
Bagi Yoppy, atlet yang baik itu tidak lupa dari mana asalnya. Kalau sudah jadi juara tetap tidak melupakan siapa pelatih pertamanya. “Selalu ingat pelatih klub kecil yang pertama kali melatih. Datangi dia, karena mereka pasti akan senang sekali… Wis gak usah ngasih apa apa gak papa”.
Yoppy menceritakan tentang Sigit Budiarto yang di Jogja, pada suatu ketika bilang ingin mengenalkan pelatih pertamanya kepada Yoppy. “Saya bilang oke. Eh begitu ketemu ternyata saya kenal. Lha dia ternyata musuh waktu pertandingan badminton saat kuliah dulu, Sunarno hahaha”.
Selain mendidik karakter mereka, ada satu hal lagi yang diajarkan Yoppy kepada para atlet, yakni cara mengelola uang. Atlet itu kayak artis, kalau lagi juara itu rejekinya kayak hujan. Bonus melimpah. Di situ ia mulai mendidik mereka untuk menabung.
“Kamu mengerti cara menabung di bank gimana? Gak tahu. Mereka ternyata hanya mengerti kok dan raket. Kalian harus belajar ini. Mulai menabung dan harus tahu hasilnya berapa, dan tahu juga tingkat inflasi berapa”.
Bahkan Yoppy juga menegaskan para atlet badminton yang berusia di bawah 19 tahun diwajibkan menabung. Sejak tahun 2009, setiap dapat bonus langsung dipotong dan masuk tabungan. Untuk yang usia di atas 19 tahun, Yoppy hanya mengimbau mereka supaya menabung.
“Fresh money hasil kejuaraan saya tahan dan simpankan. Sementara uang kontrak saya persilakan diambil. Kalau satu tahun lumayan besar lho itu”, ucapnya.
Mereka diajari mengelola uang dengan cara sederhana. Termasuk juga para pelatih. Pada akhirnya mereka sendiri yang menikmati hasilnya. Ketika mereka harus pulang dan mengambil tabungan, mereka kaget kok ternyata banyak jumlahnya.
Namun dalam prakteknya Yoppy juga fleksibel soal tabungan para atlet ini. Jika ada yang ingin mengambil dana untuk memperbaiki rumah orang tuanya juga dipersilakan. (BP)