Namanya Toni Harsono, dengan nama lahir Tok Hok Lay. Ramah dan terkesan apa adanya jika bicara. Toni dikenal sebagai orang yang sangat mencintai dan melestarikan keberadaan wayang potehi di daerahnya, Gudo, Jombang, Jawa Timur.
Pada akhirnya, meski bukan dalang, Toni tak hanya memanggungkan wayang potehi di daerahnya saja, tetapi juga ke daerah daerah lain, bahkan sampai ke luar negeri. Dia juga membuat ribuan boneka potehi dan panggung pentas.
Koleksi buatannya itu bisa dilihat di bengkel kerjanya yang juga museum potehi. Toni juga masih menyimpan boneka berusia hampir 150 tahun milik almarhum kakeknya, demikian juga dengan panggungnya yang kuno.
Di hari yang mendung dan akhirnya hujan, Toni menerima Tim Padmanews yang menemuinya di Museum Potehi Gudo, di Jalan Raya Wangkal Gudo, Desa/Kecamatan Gudo, Jombang, baru-baru ini.
Toni mengisahkan, kakeknya, Tok Su Kwie dari Kota Choan Chiu, Provinsi Hokkian yang membawa kebudayaan Tiongkok berupa wayang potehi. Sang kakek yang seorang sehu (dalang potehi) masuk ke Gudo Jawa Timur sekitar tahun 1920-an dengan membawa peralatan lengkap berupa panggung, juga wayang potehi.
Kakeknya mendalang bersama grupnya yang bernama Fu He An, yang artinya adalah rejeki dan keselamatan.
Ayah Toni, Tok Hong Kie, juga mendalang, tetapi tidak belajar dari kakeknya, karena ketika ayahnya masih kecil, kakek sudah meninggal. Ayah belajar dari para sehu (dalang) lain. “Papa saya mungkin sejak kecil sudah main potehi. Ceritanya kalau main itu sambil duduk tidak nyampai panggungnya, jadi dia main sambil berdiri”.

Ketika semakin berusia, dan sering sakit, ayah Toni kemudian kerja di kelenteng Gudo. Para dalang yang ada di kelenteng jika siang membuat kerajinan wayang potehi. “Jadi sejak kecil saya sudah melihat pembuatan boneka dan semua aksesorisnya”, tutur Toni.
Boneka potehi memiliki unsur seni, meliputi seni ukir atau pahat, seni patung dengan karakter wajah ( psiognomi) warna, rias dan busana. Diam-diam juga terkadang secara sembunyi-sembunyi Toni membuat boneka. Ia takut dimarahi ayahnya yang tidak menginginkan anaknya menjadi dalang.
” Kamu gak usah jadi dalang, susah nanti hidupmu. Kalau pas main wetengmu ana isine, yen gak main wetengmu kempet. Nasibmu disampirne kayak wayang “, kata Toni menirukan ayahnya.
Sang ayah bahkan menyarankan daripada mendalang lebih baik kerja di toko, sehingga suatu saat bisa punya toko. Namun rupanya Toni kecil benar benar mencintai potehi.
” Di kelenteng itu kalau potehinya selesai, pemainnya bubar, saya itu mesti sakit. Saya jadi merasa sepi, terngiang permainan potehi “. Toni bahkan ” melawan” rasa kangen itu dengan berbagai macam kegiatan, namun tetap saja dia sakit.
Kemudian sejak umur enam tahun, jika ada pertunjukan potehi, ia tidak menontonnya. “Daripada nanti kalau selesai saya merasa kehilangan. Jadi kalau ada potehi di kelenteng, saya pergi main keluar”.
Tahun 1992 ia tinggal di Malang namun ia menganggur lama. Kakak ipar kemudian memanggilnya kembali ke Gudo dan memberi modal untuk membuka toko. Kelak Toni sukses mengelola usahanya dan menjadi pedagang emas.

Perjalanan ke Barat.
Merasa Sulit
Ia kemudian bertemu lagi dengan wayang potehi. Ia prihatin melihat kok bonekanya terlihat jelek jelek. Ia kemudian berusaha mencari contoh, selain yang dimiliki kakeknya itu. Ia ke Semarang dan menemukan potehi peninggalan Oei Tiong Ham. Toni juga pergi ke negara China.
“Orang dulu itu gak tahu kesulitan saya mencari contoh ini. Apalagi waktu itu juga belum ada YouTube. Berangkat dari Gudo ke Semarang bisa tujuh jam, karena belum ada jalan tol. Dapat satu dua contoh saya bawa pulang, terus saya kerjakan sendiri”.
Belum lagi kesulitan ketika sang pemilik wayang potehi tidak mengizinkan untuk melihat koleksinya. Padahal sudah dia kunjungi, dan minta bantuan tokoh, tetapi tetap tidak boleh dilihat.
Semarang jadi rujukannya karena ada dalang Thio Tiong Gie yang memiliki koleksi wayang potehi kuno. “Beliau itu juga pernah belajar dengan ayah saya, jadi kami akrab”.
Di China malah dia menjumpai situasi potehi tidak terlalu dilestarikan. ” Beda dengan Taiwan. Di Taiwan wayang potehi masih berkembang “, tuturnya.
Motivasinya untuk membuat boneka yang terutama adalah membantu teman temannya. Para dalang waktu itu kesulitan jika ingin pentas. Mereka tidak punya banyak wayang potehi. Jika sewa juga mahal. Toni kemudian membuat dan memberikan gratis kepada mereka.
Beberapa daerah bahkan sudah ia sumbang wayang potehi lengkap dengan panggung, sehingga para dalang dari Gudo jika main di kota itu tidak usah bawa banyak perlengkapan.
“Lha dulu kalau pentas ke Jakarta, itu bawa perlengkapannya banyak banget. Belum semua diturunkan dari kereta, sampai ada yang katut sama keretanya. Akhirnya kelenteng yang lokasinya jauh-jauh saya kasih panggung. Mulai dari Tanjung Kait, Bekasi, Slawi, Temanggung, Rembang, lalu Jombang dan Mojokerto”, katanya.
Jadi sejak 2001 ia sudah secara penuh mengelola tim dalang dan juga mementaskan pagelaran di berbagai daerah. Pertama kali main jauh di Utan Kayu Jakarta. Toni mengungkapkan hampir 90 persen dalang wayang potehi adalah orang Jawa.
“Saya pernah dibilangi teman saya yang Tionghoa, lha daripada duit kamu pakai ngurusi kayak gini, mbok dipakai dagang saja hahaha… Jadi ya mungkin karena tidak ada uangnya, gak ada orang Tionghoa yang berminat menjadi dalang”.

Ini menurutnya hampir sama dengan barongsai. Dan dia menganggap percampuran budaya ini sesuatu yang luar biasa. “Jadi kalau pas waktunya sholat, mainnya berhenti karena dalangnya harus sholat”.
Toni sendiri heran dengan dirinya yang all out untuk melestarikan wayang potehi ini. Ia tak segan mengeluarkan dana banyak untuk membuat dan melestarikan wayang potehi.
Untunglah ada sejumlah dermawan yang berpartisipasi dalam pelestarian budaya ini. Di antaranya adalah pemilik Marimas, Harjanto Halim, yang menyumbang dan memberikan mobil pentas keliling, juga membantu pembangunan gapura museum wayang potehi.
“Saya waktu jadi pembicara di Taiwan juga ditanya, Pak Tonny itu gak dapat uang kok mau berjuang untuk wayang potehi? Saya juga bingung jawabnya. Terus saya saya jawab asal-asalan, saya jatuh cinta”.
Waktu mulai dia juga tidak mikir apa apa, pokoknya dia pengin bikin saja wayang potehi. “Terus akhirnya banyak peneliti yang datang. Padahal dulu kayak barang gak kepakai, karena tidak ada yang mengurusi. Mereka dari Jepang, Kanada, Hawaii. Bahkan ada peneliti dari Jepang sampai tujuh kali ke sini. Saya buatkan boneka terus didandani ala Jepang, eh terkenal dan masuk majalah”.
Jadi, tambahnya, tidak ada strategis khusus dalam melestarikan wayang potehi, semuanya mengalir begitu saja. “Bahkan saya pernah bilang sama seorang teman, kalau wayang potehi ini bisa mentas ke luar negeri, saya mati pun ikhlas”, ucapnya.
Ternyata di tahun 2014 hal itu menjadi kenyataan. Ada undangan mentas pertama kali di luar negeri dari Jepang. ” Ketika mendarat di Tokyo teman saya masih heran, lha iya kok bisa sampai di Jepang ya”.
Kemudian seluruh perjalanan di wilayah Asia, di Penang maupun Taiwan, dibiayai semua oleh pemerintah. Ketika ke Eropa saja tidak ada dananya. Ketika itu tahun 2022 dirinya diundang ke Tong Tong Fair di Belanda. “Kami menggalang dana untuk berangkat ke sana”.
Di Belanda banyak warga Tionghoa yang ingin bernostalgia. Ketika kecil mereka menikmati wayang potehi di Indonesia.
Kemudian pada Juni 2024 lalu dapat undangan dari Unesco ke Paris, melalui Bu Tetty dari Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Selain mentas, mereka juga menghadiri sidang kebudayaan. Tim juga membagi wayang potehi kepada anggota delegasi dari berbagai negara. “Saya merasa bangga banget”, kata Toni.
Sampai hari ini dia masih membuat potehi terus, setelah kurun 23 tahun. Sekarang ini dia punya empat tukang yang bekerja membuat boneka potehi. Dibantu juga dengan orang orang kampung sekitar, ada yang membuat kaki, baju, atau kepalanya.
Namun bukan berarti tidak ada benturan budaya antara tukang yang orang Jawa dan pembuatan wayang dari Tiongkok. “Pernah ada sih tukang yang enggan membuat boneka potehi ini, karena dia merasa ini bukan wayang yang dikenalnya”, ucapnya.
Produk produk wayang potehi ini sebenarnya tidak dia jual. Namun ada juga yang pernah membeli, yakni pimpinan Bank Artha Graha, 100 biji dihargai Rp 200 juta. Kemudian juga ada satu orang lagi dari Jakarta yang membeli satu set. “Sebenarnya ada sih setiap hari yang pengin beli satuan, tapi saya yang gak mau”.
Ia mengakui bahwa kondisi sosial masyarakat Gudo yang lintas etnik dan lintas tradisi merupakan pendukung besar dalam membangkitkan dan melestarikan wayang potehi ini.
Kini bahkan Toni memproduksi wayang dengan figur tokoh-tokoh masa kini, di antaranya adalah Gus Dur. “Nanti suatu saat akan dipentaskan dan tentu dengan ada penyesuaian cerita”.
Diceritakannya, dalam pementasan tetap menggunakan bahasa Indonesia. Tema cerita biasanya tentang kepahlawanan. “Cerita yang populer adalah Sam Kok”. Namun dalam permainan potehi masih ada yang memakai bahasa Mandarin, yakni untuk suluk pembuka.
Ketika wayang potehi dimainkan di kelenteng, banyak masyarakat sekitar yang datang menonton. ” Kadang kalau penonton banyak, kami juga membagi doorprize “.
Toni bercerita pernah ada momen di acara @america dirinya diminta mendalang. ” Meski gak bisa mendalang, saya nekad ndalang. Pemusik saya di Konjen Amerika di Surabaya, dan saya di Kedutaan Amerika di Jakarta, difasilitasi secara online”.
Membuka Kelenteng
Sejak ia menjadi ketua Kelenteng Hong San Kiong, ia membuka kelenteng untuk aktivitas para santri dari pondok. Mereka bisa bermalam lima hari di sini, sehingga kayak pondokan di kelenteng.
“Mereka melakukan kegiatan mereka sendiri, kami hanya memfasilitasi tempat”. Gudo pun memperoleh penghargaan Ikon Pancasila pada 2021 dalam kategori penggerak lintas iman.
Kini Toni juga sedang mengadakan pelatihan dalang wayang potehi untuk anak anak supaya muncul dalang-dalang baru. “Potehi dimainkan selama satu tahun penuh. Setiap hari, pagi latihan malamnya main. Mereka juga dapat gaji. Kami kebetulan ada donatur. Pesertanya terbuka, siapa saja boleh ikut”.
Sementara ini, tambahnya, yang ikut latihan adalah warga sekitar kelenteng. Saat ini ada tiga orang Jawa yang menjadi dalang baru. Dalang dalang senior seperti Widodo yang mengajari mereka. Untuk suluk pembuka yang memakai bahasa Mandarin, mereka menghapal saja pengucapannya.
“Bahkan ada yang masih umur sepuluh tahun, masih sekolah. Namanya Rasya. Dia belajar empat bulan sudah bisa ndalang, sempat diliput TVRI dan koran juga. Saya katakan ini satu-satunya dalang cilik potehi di Indonesia”.
Toni merasa berkewajiban untuk terus melestarikan wayang potehi ini. “Kami juga harus terus melakukan pementasan, sebab kalau tidak dipentaskan wayang potehi ini bisa mati, karena juga menyangkut mata pencaharian”.


Sementara salah seorang sehu senior, Widodo yang kelahiran Blitar 1972, berkisah waktu kecil rumahnya di Blitar dekat kelenteng. Ia sering menonton pementasan wayang potehi. Ia belajar mendalang dari seorang sehu dari Surabaya.
Awalnya ia jadi asisten dalang dulu. Ikut pementasan ke berbagai kota, dan akhirnya mendalang sendiri pertama kali di Mojosari, Mojokerto. “Saya waktu itu ya gak yakin bisa diterima apa gak. Kan ilate (lidahnya) wong Jawa suluk Mandarin. Untunglah penonton yang kebanyakan Tionghoa bisa memahami”.
Widodo menyemangati diri sendiri, “Aku ndalang gini, kamu belum tentu bisa nglakoni. Akhirnya timbul keberanian. Sukses di Mojosari, setelah itu saya manggung kemana mana”.
Cara belajar suluk yang Bahasa Mandarin memang dengan metode menghapal. “Hurufnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, jadi mudah dihapalkan. Kalau pas keluar perdana menteri, suluknya begini. Kalau raja lain lagi”, katanya sambil mendemonstrasikan suluk dalam Bahasa Mandarin.
Suluk untuk raja itu artinya adalah “angin berhembus, hujan turun pada masanya, negeri jaya, rakyat bisa hidup damai, aman, dan sentosa”.
Ketika ia akhirnya diajak Toni mendalang sampai ke luar negeri, Widodo merasakan kebanggaan yang luar biasa. “Sejak tahun 1993 saya main potehi, ke luar pulau saja jarang. Makanya waktu dapat kesempatan pergi pertama kali ke Jepang, rasanya waduh bangga banget”.
Disusul kemudian ia mendalang kemana mana, ke Taiwan, Malaysia, Belanda, Italia, dan ke Paris. “Kalau sama teman saya bilang, dolanmu kalah adoh karo aku hahaha…. “. (BP)