4 November 2024
Home / Art / Ong Hari Wahyu: Semua Itu Dasarnya Srawung

Ong Hari Wahyu: Semua Itu Dasarnya Srawung

“Semua itu dasarnya srawung. Aku itu dari kecil seneng srawung (berteman, kumpul, red) dan juga dolan”, tutur Ong Hari Wahyu, mengenai perjalanan berkeseniannya yang tak hanya berkutat di seni rupa, tetapi juga menjelajah ke teater, penggerak seni kerakyatan, dan juga dunia film.

Ong yang merupakan visual artist dan art director ini menegaskan, yang namanya gambar, cover buku, atau film itu kan output. Jadi kalau anak film cuma berteman dengan anak film, tukang gambar cuma sama tukang gambar, itu keliru.

“Yang namanya berteman itu tidak perlu dibatasi dengan aturan seperti itu. Justru lewat berteman dengan banyak pihak itu memperkaya diri”, kata Ong kepada tim Padmanews, di rumahnya yang unik dan asri di Nitiprayan RT 04/RW 20 Nomor 136, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurutnya, penjelajahan seperti itu bisa jadi pijakan sebuah gagasan. Misal kalau punya gagasan soal humanisme, maka bisa diwujudkan dalam seni rupa, cover buku, atau film. “Apakah harus jadi pemain? Ya nggak perlu karena aku memang tidak bisa main film. Ada teman-teman lain yang bisa main. Nah keterlibatanku dalam membantu pembuatan naskah dan mengatur pembuatannya sebagai pengarah seni (art director)”.

Ong yang pernah mengenyam kuliah di Institut Seni Indonesia pada Jurusan Seni Grafis tapi drop out itu mengakui bahwa pelajaran hidupnya dilakukan tidak secara formal, namun lebih kepada lewat srawung dan lingkungannya.

Ia menceritakan pernah membuka usaha pemancingan di dekat rumahnya. Kulakan ikan sendiri, menuang ikan ke kolam sampai menarik karcis masuk dilakukan. “Tempat mancing itu jadi saranaku melakukan pertemanan”, tutur lelaki yang memiliki nama asli Hari Wahyu Widodo itu.

Ong menjelaskan bahwa para pemancing dari banyak kalangan, bahkan ada preman maupun copet. Namun hikmahnya adalah, keamanan diri dan istrinya menjadi terjamin.

Ia juga membuat festival Nitiprayan di kampungnya. “Aku seneng mengadakan kegiatan-kegiatan seperti ini karena aku gak punya batas untuk srawung”.

Kalau kemudian ada yang menyebut dirinya bukan seniman, Ong sama sekali tidak keberatan. “Orang itu kan yang penting apa yang dilakukannya. Selain itu aku sendiri juga senang berteman dengan siapa pun”, tuturnya. Karena hal itulah yang menjadi modal gagasan dan juga kreativitasnya.

Jadi ketika Ong mengadakan sebuah kegiatan, misalnya Pasar Kangen yang kemudian menjadi sangat sukses itu, ada relasi yang menyediakan tempat, untuk fasilitas kegiatan juga ada yang ngurusi.

Pasar Kangen Jogja ini menampilkan kuliner-kuliner Nusantara tempo dulu. Acara yang digelar sejak 2007 itu tidak hanya untuk berjualan, tetapi bertujuan melestarikan kuliner jadul.

Ong Hari Wahyu adalah penggerak aneka festival seni kerakyatan
Penciptaan festival atau event seni budaya kerakyatan memerlukan dasar ideologi yang kuat

”Pasar Kangen itu bukan sekadar berjualan, tapi ada ideologi di baliknya. Acara itu untuk memamerkan makanan lama supaya tidak hilang. Ketika makanan lama itu hilang, kita kehilangan kebudayaan,” kata Ong.

Bahkan untuk sarana srawung, Ong juga pernah ikut jualan jaman ramai tanaman gelombang cinta, kemudian dia juga ikut memelihara burung dara. Kemudian ia juga punya jaringan grass root di hampir seluruh Indonesia. “Ini memudahkan kalau mau punya gawe kebudayaan”.

Cover Buku

Di dunia cover buku, desainnya yang banyak menggabungkan gambar lawasan dengan kontemporer, Ong menuturkan hal itu karena dipengaruhi oleh bayangan keasrian rumah eyangnya dulu. “Jadi aku memang lebih fokus ke nilai nilai lokal”.

Soal cover ini Ong selalu berusaha bagaimana cover buku yang dia buat menambah wacana baru bagi konten buku tersebut. Ia melihat bahwa cover piringan hitam grup grup musik lawas itu bagus-bagus. Didesain tidak hanya sama dengan isi musiknya, namun juga menambah nuansa piringan hitam itu.

Ia menyebutkan di antaranya cover album Pink Floyd, Genesis, YESS dan lain. “Ada nilai estetika yang diperjuangkan. Jadi selain menikmati isi lagu atau isi buku, cover juga berdiri sebagai sebuah karya tersendiri”.

Pembuatan cover buku diakuinya memang menjadi pijakan ke penjelajahan kesenian yang lebih luas lagi. Ong melihat bahwa cover buku bisa dilihat dari sisi seni murni (fine art), namun juga bagus dilihat dari seni terapan (applied art).

Ketika ramai pembuatan cover buku, hampir setiap hari dia kedatangan tamu penerbit yang meminta dibuatkan cover buku. “Waktu itu gampang sekali mendapatkan uang. Tahun 2000-an itu ramai-ramainya penerbit buku di Yogyakarta. Waktu itu, saya bisa bikin cover untuk lima judul buku dalam sehari. Itulah sebabnya aku gak eman juga untuk membantu kegiatan di kampung. Itu sebagai timbal balik, karena setiap tamu yang bertanya dimana  rumahku pasti sampai ke sini”, tuturnya.

“Tahun 2000-an itu boleh dibilang saya pameran karya tiap hari, karena karya saya kan setiap hari dipajang di toko-toko buku,” tambah pria 64 tahun itu sambil tertawa.

Pengalaman berkesan dialami Ong setelah membuat cover untuk buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Suatu waktu, Pramoedya bersama keluarganya berkunjung ke rumah Ong di Bantul. Dalam pertemuan itu, Pramoedya memuji cover yang dibuat Ong untuk novel Gadis Pantai. ”Pak Pram bilang, cover Gadis Pantai itu sangat pas dengan cerita yang ditulisnya,” katanya.

Pertemuan dengan Pramoedya ini diawali ketika teman Pramoedya bernama Jusuf Isak hendak menerbitkan buku Arok Dedes. Ia kemudian ke Jogja menemui Mas’ud Chasan, pemilik penerbit Pustaka Pelajar. Pilihan di Jogja dibandingkan Jakarta waktu itu karena harga lebih murah dan proses lebih cepat.

Mas’ud kemudian menawari apakah dibuatkan cover sekalian, dan Jusuf setuju. Maka bertamulah mereka ke rumah Ong. Akhirnya disetujui untuk membuat cover Arok Dedes, dan kemudian juga Bumi Manusia.

Setelah itu rupanya kerja sama penerbitan dengan Jusuf Isak tidak berlanjut. Penerbitan buku-buku Pram selanjutnya ditangani oleh anaknya, Titik. Anak perempuan Pram itu kemudian ke Jogja berkenalan dengan Ong, dan mulai pembuatan cover buku Gadis Pantai dan lain-lain.

“Ternyata kemudian Pram kepincut dengan cover bukunya itu. Dia merasa cocok. Jadi ketika ke Blora dan Klaten, dia mampir ke sini juga. Lalu ngobrol kami tentang hidupnya dan juga proses kreatifnya. Saya jadi tambah dapat ilmunya Pram”, kata Ong.

Kaitannya dengan cover buku yang pas pada novel-novel Pramoedya Ananta Toer, Ong menjelaskan bahwa spirit Pram dalam menulis yang dia ambil. Menurutnya, Pram itu kalau menulis sangat deskriptif dan detail.

Dalam buku Bumi Manusia, ketika menggambarkan rumah yang dihuni Annelies,  orang jadi bisa ikut membayangkannya. Begitu juga ketika Pram menuliskan detail pakaian berenda yang dikenakan Annelies.

“Begitu itu kalau aku menggarap sebuah karya. Terkadang juga aku menyajikan unsur-unsur yang tidak terduga. Misal waktu bikin film zaman dulu, ada orang jagongan di meja kalau sajiannya buah biasanya kan apel, jeruk. Nah aku tidak. Aku akan minta sama timku, coba sajikan blimbing wuluh, mundu, srikaya dan manggis”, tutur Ong.

Jadi, tambahnya, ketika orang asing menonton mereka akan bertanya-tanya, itu apa. Nah ideologi lokal ini memang harus terus dimunculkan.

Karya-karya terbaru Ong Hari Wahyu

Dunia Film

Di dunia film, Ong ada di production design yang identik dengan art directing. Dalam membuat set, ia mengandalkan catatan-catatan dalam benaknya berdasarkan pengamatannya selama ini.

“Misal bagaimana gestur tubuh wong ndeso, cara dia pakai sarung, pakai pecis, terus kalau orang dengan taraf ekonomi sekian itu rumahnya seperti ini. Hal -hal itu penting ketika membuat dan mengarahkan setting”, katanya.

Asal mula masuk ke dunia film ini dikisahkannya karena hubungannya dengan budayawan Umar Kayam, kemudian juga dengan penulis dan dosen Komunikasi Fisipol UGM Ashadi Siregar. Waktu itu tahun 1992-an LP3Y ada proyek pembuatan film, workshop film dan penulisan naskah.

Ong dengan Butet Kartaredjasa dan kawan-kawan terlibat dalam program itu. Ong memang tidak mengambil penulisan naskah seperti yang diajarkan Ashadi Siregar. Ia lebih memilih bagian art design.

“Lalu dibuatlah naskahnya. Kemudian dicari sutradaranya, yakni Slamet Rahardjo. Aku kemudian ditunjuk jadi art director. Mungkin dikira kalau anak seni rupa pasti bisa, padahal aku gak mudeng apa apa hahahaha”.

Tapi kemudian mereka berangkat ke Jakarta dan memulai syuting film Tajuk ini. Sebagian besar syuting dilakukan di studio milik sutradara senior Teguh Karya. Produk filmnya sendiri kemudian diputar sebagai serial FTV di SCTV.

Ong menggunakan pembelajaran yang diajarkan Ashadi Siregar sebagai pijakan, karena ia belajar bagaimana relasi cerita dengan pemain, juga relasi cerita dengan ruang. Ia kemudian banyak belajar dunia film dari Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Eros Djarot, dan Christine Hakim.

Kemudian dalam proses film Daun di Atas Bantal yang diproduseri Galang Press milik Butet, Ong dikenalkan kepada Garin Nugroho. Diantar oleh Djaduk Ferianto yang nantinya akan membuat musiknya, Garin bertemu Ong. Di proyek film ini juga ada Roedjito yang biasa dipanggil Mbah Djito.

Kemudian Ong, Mbah Djito, dan satu lagi Toni Trimasanto berkolaborasi menata artisitik film Daun di Atas Bantal itu. “Di situ aku praktek dan sinau. Juga sinau sama Mbah Djito bagaimana melihat estetika film, melihat dunia ruang film dan lain lain”, ucap Ong.

Waktu itu sebenarnya produksi film sudah 90 persen selesai. Namun karena seluloid, banyak goresan, sehingga akhirnya produksi diulang kembali dari awal. “Dalam pembuatan kembali ini juga banyak pembelajaran, bisa menyempurnakan kekurangan sebelumnya. Di sini aku membaca adanya konsep organik, dimana segala sesuatu bergerak dan bisa dikembangkan”.

Konsep arsitektur organik yang selalu bertumbuh inilah yang kemudian dipegang oleh Ong. “Arsitektur di sini tidak selalu berkaitan dengan rumah ya. Bisa berkaitan dengan gagasan juga”.

Kemudian dalam berkarya apa pun, eksekusi karya itu tidak saklek, tetapi diterapkan sesuai perkembangan dan situasi yang diinginkannya.

Waktu itu sebenarnya produksi film-film serius semakin langka, karena dunia perfilman terisi oleh film-film low taste. Garin waktu itu juga sudah membuat Cinta dalam Sepotong Roti, yang diperani Adjie Massaid, Cut Rizky Theo, Monica Oemardi, dan Tio Pakusadewo.

Juga bikin Surat untuk Bidadari yang merupakan film drama Indonesia yang dirilis pada 1994. Dibintangi oleh Nurul Arifin, Hotalili, Ibrahim Ibnu, Fuad Idris, Adi Kurdi, Jajang C. Noer, Monica Oemardi, Viva Westi, dan Windy Prasetyo Budi Utomo.

Film Daun di Atas Bantal lah yang meledak. Ong Hari Wahyu berhasil menyabet predikat sebagai The Best Art Director pada Festival Film Indonesia (1998).

Ong menjelaskan bahwa ilmu yang dipakai dalam produksi film adalah ilmu seni rupa dan juga ilmu-ilmu sosial yang lain. Dan ini selalu organik, selalu berkembang. “Jadi kalau ada yang bilang Ong itu mencla mencle, yo ben hahahaha”.

Diakuinya, jika sebuah karya selesai dikerjakan maka yang timbul adalah rasa puas. “Bikin film itu kayak nyandu. Kita seperti membuat sesuatu yang tadinya tidak ada jadi ada, kayak nggawe donya anyar, nggawe lakon anyar, nggawe persoalan anyar, nggawe pemecahan persoalan anyar”. Ditambahkannya, bahwa itu juga berlaku di seni rupa, mewujudkan yang tadinya tidak ada menjadi ada.

Ong juga kemudian menjadikan pembelajaran dari lingkungan sebagai referensi ketika mendesain artistik film. “Saya suka mengamati gestur orang di desa. Cara panen pakai ani-ani, dan lain-lain. Jadi begitu setting filmnya adalah pedesaan, maka ilmu tadi langsung kuterapkan. Itulah hasil dari membaca alam dan sekitar. Dan itu berkat srawung”.

Data di situs filmindonesia.or.id, menunjukkan Ong terlibat dalam sejumlah produksi film karya sutradara Garin Nugroho, yakni Daun di Atas Bantal (1996), Soegija (2012), Aach… Aku Jatuh Cinta (2015), Guru BangsaTjokroaminoto (2015), Nyai (2016), Setan Jawa (2016), Mooncake Story (2017), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2018).

Selain itu, Ong juga terlibat dalam produksi film Drupadi (2008) karya Riri Riza, Habibie & Ainun (2012) karya Faozan Rizal, Habibie & Ainun 3 (2019) karya Hanung Bramantyo, Taufiq: Lelaki yang Menantang Badai (2019) karya Ismail Basbeth, serta Losmen Bu Broto (2021) karya Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono.(BP)

About Eddy