Menjadi sosok Harjanto Halim (Liem Tun Hian) seperti sekarang ini bukan serta-merta. Orang mengenal Direktur PT Marimas Putera Kencana ini sebagai budayawan, karena merupakan warga keturunan Tionghoa yang menjadi perawat dan penjaga budaya Jawa.
”Papa meski Tionghoa, selalu melakukan upacara slametan saat membangun rumah atau ada yang menikah,” kata Harjanto saat menjamu rombongan Padmanews di kantor Marimas Jl Candi 1 Blok D21 KIC Gatot Subroto Semarang.
Suami dari Lisa Ambarwati Dharmawan ini mengaku selain merayakan Tahun Baru Imlek, dia juga rutin merayakan tahun baru Jawa atau malam 1 Suro (1 Muharram H).
“Setiap 1 Suro saya menggelar selamatan di rumah. Melestarikan budaya Jawa merupakan tradisi yang saya teruskan. Saya tidak bisa mengingkari, budaya adalah identitas. Saya lahir di Semarang, harus bisa mengapresiasi budaya yang ada. Lepas saya orang keturunan (Tionghoa) atau Jawa.”
Selanjutnya putra kelima dari delapan pasangan Budi Haliman Halim (Liem Liang Peng)-So Sioe Dwan itu bicara banyak tentang trauma dan stigma etnis Tionghoa, dan era Reformasi.
”Trauma masa lalu dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia salah satunya berawal Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1959,” ujarnya.
Sebagaimana kita ketahui pada 16 November 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan PP Nomor 10 tentang “larangan bagi usaha perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing di luar Ibu Kota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan”.
”Dampaknya luar biasa. Penjarahan ada di mana-mana. Orang seperti kami, warga etnis Tionghoa pada lari ke kota-kota besar. Tapi ini sejarah.”
Dia yang mengaku dididik oleh keluarga China totok (China banget).
Alumni Jurusan Teknologi Pangan University of California, Davis, Amerika Serikat, tahun 1990 ini mengisahkan awal pencarian identitas.
”Pada saat terjadi reformasi di Indonesia, saya mencari identitas diri yang pas. Bahkan, saya potong rambut bros saat Pak Harto pidato mundur. Padahal saya dulu kayak Chow Yun Fat, pakek pomade sisiran haha…” kata ayah dari Dian Ekaputri dan Bing Dimasputra.
Harjanto mengatakan Presiden Soeharto sebagai figur yang telah melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Namun paradoksnya, saat Pak Harto wafat, dia menulis di koran Suara Merdeka, judulnya: ”Tat Twam Asi” yang artinya, aku adalah kamu, kamu adalah aku. Maka dari itu, apa pun yang terjadi kepadamu, juga akan berdampak pada aku. Baik kamu Kristen, Islam, Budha dan penganut agama lain.
”Banyak teman yang mengkritisi. Saya dianggap ambigu. Padahal di ‘Tat Twam Asi’ itu sangat jelas bahwa saya adalah salah satu korban diskriminasi. Tapi saat Pak Harto mulai sakit dan menjelang wafat, akan menghadap Sang Khalik, saya nggak rela orang-orang misuhi. Pak Harto itu bagian dari sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Pak Harto itu Indonesia, sama seperti kita.”
Indonesia Negara Ndilalah
Awal reformasi, Harjanto Halim diajak beberapa rekan membentuk Kopi Semawis. Sebuah organisasi berbasis masyarakat yang dibentuk untuk revitalisasi kawasan bersejarah Pecinan Semarang yang kemudian dikuatkan dengan Keputusan Wali Kota Semarang No: 650.05/306, tentang Pembentukan Tim Penyusun Revitalisasi Kawasan Pecinan Kota Semarang, Tanggal 24 Desember 2003.
Dia bersama Djohan Firmansyah, Hidayat Pranadya, R Sunarto, Robert Budi Wibowo, Widya Wijayanti, dan Psikolog Hendro Prabowo menggali daya tarik wisata pecinan yang kemudian bernama Kopi Semawis itu. ”Kopi” (Komunitas Pecinan) ”Semawis” (Jawa halus di prakemerdekaan untuk menyebut kata Semarang).
“Kopi Semawis bukan untuk berpolitik, tetapi untuk sosial, perikehidupan bersama antara warga Pecinan dan masyarakat luar. Diharapkan lahir interaksi dan akulturasi budaya yang baik,” tutur Harjanto yang juga Ketua Kopi Semawis.
Saat mengadakan Pasar Imlek pertama kali, dia mengumpulkan tokoh-tokoh Tionghoa. ”Waduh kok mendatangkan orang luar ke Pecinan, yen dibalangi piye, kowe tanggung jawab. Wajar, mereka ada trauma, takut. Meski reformasi sudah berjalan selama lima tahun, tapi mereka masih takut.”
Harjanto menjelaskan jika Kawasan Pecinan tidak dibuka untuk umum, makin tidak dikenal. Maka, perayaan Imlek-nya diadakan di jalanan. Kesannya egaliter. Interaksinya jadi wajar. Jadi natural.
”Begitu dibuka, banyak bapak-ibu dan anak-anaknya yang berpakaian sangat Islami foto-foto di depan klenteng. Bagi saya, Indonesia ya kayak gitu. Jangan sampai simbol-simbol religi itu membatasi silaturahmi kita. Sebab, itu bisa mereduksi kemanusiaan kita sendiri,” tandasnya.
Harjanto Halim mengakui bahwa banyak kejadian sejarah termasuk tokoh-tokoh di dalamnya yang menginspirasi dan membentuk pemikiran dan tindakan sosial budayanya. Terkait pandangan politik kebangsaan, Halim mengaku banyak terinspirasi ayah mertuanya, Budi Dharmawan (adik Kwik Kian Gie).
Adapun ayahnya (Budi Haliman Halim) banyak menanamkan nilai-nilai kohesi sosial. Seperti memegang falsafah bisnis 3C: Cengli, Cincai, dan Cuan. ”Adil, jujur, terpercaya, logis, benar”.
”Saya ya geli sendiri, semasa kecil selalu ke klenteng ikut orang tua. Kelas 1-2 SD ikut Kristen. Kelas 3-5 SD ikut Buddha. Kelas 5-6 SD ikut Konghucu. Saat SMP-SMA saya Katolik. Saya lebih senang spiritualitas dari pada agama-agama formal yang lebih membatasi.”
Menurut dia, Indonesia itu negara ndilalah. Sebelumnya terpecah-pecah oleh banyak kerajaan. Kita satu nasib gegara dijajah Belanda. Kayak anak-anak Panti Asuhan. Ora cetha juntrunge disatukan di panti.
”Lha Indonesia itu semacam itu. Broaden your vision, deepen your roots (luaskan visimu namun perdalam akar budayamu). Kita boleh berwawasan luas, namun jangan kehilangan jati diri. Bolehlah nikmati disko, Lady Gaga, K-Pop, BTS. Namun jika senang Ki Narto Sabdo, Didi Kempot, Denny Caknan, ya jangan malu, karena itu jati diri kita,” tandasnya.
Pengagum Gus Dur, Gus Mus, dan Gus Baha ini merasa perlu menularkan virus akulturasi kepada semua orang. Sebab, orang harus kuat iman. Sehingga mau ketemu siapa saja dan dimana saja tidak takut.
Harjanto mengaku pernah ditanya anak-anak IAIN waktu berkunjung ke Komunitas Boen Hian Tong (Rasa Dharma) yang bermarkas di Jalan Gang Pinggir Semarang.
”Gus Dur sudah wafat, lalu siapa yang memperjuangkan nasib etnis Tionghoa?’ tanya salah seorang mahasiswa. Saya jawab, ‘Lha yo njenengan to. Hitam putihnya Indonesia yang menentukan itu mayoritas.”
Jadi, mayoritas muslim Indonesia harus cerdas. Mereka yang menentukan hitam putih Indonesia. Non-muslim paling hanya bisa urun rembug (ngomong), mayoritas yang mengolah. ”Indonesia harus bangga punya Gus Mus, Sumanto Al Qurtubi, Gus Baha, Gus Miftah, dan sebagainya. Over all Indonesia sudah bagus. Yang agak ekstrem-ekstrem itu yang agak mengganggu. Peran hukum yang lebih tegas dibutuhkan untuk menjaga hal itu. Bahkan anak-anak mudanya sudah mulai bangga sebagai anak Indonesia. Lagu-lagu Indonesia sudah mendunia. Korea bisa mengekspor BTS, Black Pink, kita seharusnya juga bisa.” (Ali)