Simpel saja keinginan Chris Dharmawan saat memutuskan untuk membeli Rumah Gambiran. Kolektor itu membayangkan ”menjadi” Siek Kiem Tan yang sedang duduk di kursi goyang, menikmati sore hari di beranda depan sambil memikirkan berapa keuntungan yang akan diperoleh setelah panen tembakau.
Sejarah Rumah Gambiran itu tentu tidak lepas dari nama Siek Hwie Soe (1799-1864) yang pada akhir abad ke-19 datang ke Parakan. Karena sukses dalam berbisnis gambir dan tembakau, waktu itu keluarga Siek menjadi salah satu keluarga terkaya di Parakan. Nama Siek tercatat sebagai penyumbang tanah wakaf dan donatur untuk pendirian Kelenteng Hok Tek Tong di Parakan (1852).
Bisnis Siek Hwie Soe semakin maju setelah dia mendatangkan Siek Tiauw Kie, keponakannya dari Hokkian, Tiongkok. Siek Hwie Soe meninggal pada tahun 1864.
Siek Tiauw Kie memiliki tiga anak, yakni yang sulung Siek Kiem Tan, dan adik-adiknya adalah Siek Oen Swie dan Siek Kiem Ing. Mereka bertiga ini yang meneruskan bisnis ayahnya.
Bisnis semakin moncer baik di kalangan pribumi maupun kaum kolonial Belanda. Siek Kiem Tan kemudian tinggal di Rumah Gambiran Parakan.
Sejak Siek Kiem Tan meninggal tahun 1935, rumah di Jalan Gambiran Parakan Temanggung tersebut sudah beberapa kali berpindah tangan. Pada tahun 1955, Tjioe Ban Sioe membelinya seharga Rp 50.000, setara dengan 1 kg emas. Pada tahun 1981, pindah ke tangan Nyoo Gee Liang dengan harga Rp 55 juta (setara 7 kg emas). Terakhir pada tahun 2017 dibeli oleh Chris Dharmawan.
Sebenarnya rumah itu sempat terbengkelai sebelum diberi Chris. Itu terlihat dari sebagian dinding rumah yang penuh lumut, terkelupas di sana sini, dan banyak bagian yang tidak utuh lagi. Namun Chris menilai dari sisi bahan dan teknik penggarapannya, rumah itu bagus sekali.
Sesuai dengan motivasi awal saat membeli, bagi Chris memiliki rumah ini adalah bagian dari kepuasannya sebagai kolektor. Tahun 2017, setelah proses konservasi selesai, mulailah dia memilih dan menata benda-benda koleksinya di rumah itu.
Chris membayangkan bagaimana dirinya dapat menampilkan rumah dalam kondisi semirip mungkin dengan kondisi saat dulu masih dihuni Siek Kiem Tan dan keluarganya, sungguh memberi keasyikan tersendiri.
Berkat dirawat dengan baik, kesan seram memasuki sebuah rumah atau bangunan tua tidak ada sama sekali. Sebuah partisi kayu menghadap ke pintu utama yang berfungsi sebagai pembatas antara ruang depan yang bersifat publik dan ruang di belakangnya yang bersifat privat.
Seperti rumah Tionghoa pada umumnya, ada altar pemujaan tepat di tengah-tengah bangunan depan. Di samping kiri dan kanannya ada kamar yang diperuntukkan para tetamu yang menginap.
Ini bisa dimaklumi karena di Parakan waktu itu belum ada penginapan atau hotel. Selain itu, dalam pandangan etnis Tionghoa, perbuatan tuan rumah memberi tumpangan untuk menginap para tetamunya adalah perbuatan mulia. Ternyata Rumah Gambiran terdiri atas dua bangunan utama. Bangunan depan bergaya arstitektur Tionghoa dan bagian belakang bergaya Indische (Belanda/Eropa). Kedua bagian rumah itu punya makna yang berbeda namun menyatu. (Ali)