28 October 2025
Home / Lifestyle / Cangkrukan Budaya di Omah Srawoeng: Melestarikan Budaya Minum Air Hujan

Cangkrukan Budaya di Omah Srawoeng: Melestarikan Budaya Minum Air Hujan

Suasana senja di pelataran Balai Budaya dan Kebangsaan Omah Srawoeng di Bendan Ngisor, Semarang, terasa syahdu. Obor-obor yang dipasang di sepanjang anak tangga ke atas menuju pendapa utama membuat suasana temaram terasa etnik.

Malam itu Omah Srawoeng punya gawe Cangkrukan Budaya, mengambil tema “Air Hujan: Berkah atau Kutuk ? “. Hadir sebagai narasumber adalah Romo Vincentius Kirjito Pr, seorang rohaniwan dan pelestari air hujan dengan penelitian scientific.

Romo Kirjito lahir di Dusun Boro Gunung, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 18 November 1953. Saat ini dia tinggal dan berkarya meneliti budaya air hujan di Labora Udan, Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan (PPSM), Jawa Tengah.

Narasumber kedua adalah Agus Bima Prayitno, seniman dari Padepokan Seni Jantur Panji Udan, Klaten. Acara yang disponsori oleh PT Graha Padma Internusa dan Tong Tji ini, dipandu host Benediktus Danang Setianto, buruh pengajar FHK Unika Soegijapranata.

Romo Kirjito dan Seniman Agus Bima Prayitno adalah dua sosok yang melestarikan budaya menggunakan air hujan, dengan membentuk atau mengajak pelan-pelan masyarakat untuk meneliti air hujan.

Atas perannya dalam lingkungan warga di lereng Merapi itu, Romo Kirjito memperoleh penghargaan Maarif Award tahun 2010. Kemudian tahun 2015 mendapat anugerah Penghargaan Kebudayaan untuk Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Mulai tahun 2011 Agus Bima berkolaborasi dengan Romo Kirjito dalam gerakan kebudayaan membangun kesadaran masyarakat dusun Bunder, Jatinom, Klaten untuk melestarikan budaya air hujan

Metode yang digunakan adalah TDS (Total Dissolve Solid) yaitu alat untuk mengukur kandungan mineral dalam air dan alat untuk mengukur PH air, yaitu unsur basanya.

Sewaktu ditugaskan di Jatinom, Klaten, Romo Kirjito melakukan pengamatan pada masyarakat Bunder antara tahun 2011 – 2012. Masyarakat yang tinggal di situ rata-rata sehat. Romo Kirjito menduga fakta yang terjadi tersebut adalah dampak dari penggunaan air hujan.

Menurutnya, orang-orang di kecamatan itu jarang kena stroke. Tubuh mereka sehat dan kuat. Ketika diajak berdiskusi atau berdialog “nyambung” dan menemukan beberapa anak sekolah yang berprestasi dari daerah itu

Cangkrukan Budaya

Cangkrukan budaya di Omah Srawoeng itu dimulai dengan sajian dedongengan dari Seniman Agus Bima Prayitno. Agus pada intinya mengisahkan warga yang daerahnya kekurangan air. Sampai kemudian muncul kesadaran bahwa mereka punya sumber air yang tak ternilai harganya, yakni air hujan. Itulah sebabnya dongeng itu mengambil judul Udan Emas.

Dalam paparannya, Romo Kirjito menyebut pentas wayang singkat yang dilakukan Agus bukan dongeng, tetapi doa. “Yang ditampilkan Mas Bima tadi bukan dongeng, tapi donga.Yang dilakukan kepada Tuhan, karena kelangkaan air. Yang kemudian direspon dengan turunnya hujan”.

Ia mengatakan, di lereng Merapi itu ada Padepokan Tirto Budaya yang mementaskan wayang sakral. ” Disebut sakral karena pementasan itu adalah doa untuk meminta hajat. Pementasan dilakukan tengah malam biar tidak ditonton, eh ternyata yang nonton tetap banyak hahaha…. “.

Itulah sebabnya Romo Kirjito menghayati benar dedongengan yang dipentaskan Agus Bima, karena merupakan doa kepada Tuhan berkaitan dengan rejeki air.

Dalam kesempatan itu Romo Kirjito juga mempersilakan peserta untuk merasakan minum air hujan yang sudah dielektrisasi. Mereka merasakan ada perbedaan dengan air yang biasa diminum. Air yang dibawa Romo Kirjito terasa lebih ringan dan “lhess” memasuki tenggorokan dan masuk ke dalam tubuh.

“Prof Mujiono yang datang ke tempat kami mengatakan, ‘itu bersifat nano Romo’…Artinya sangat kecil sekali “, kata Romo Kirjito. Nah karena sangat kecil, maka bisa masuk ke saluran yang juga kecil.

Jadi Romo Kirjito menyimpulkan, air seperti inilah yang dicari cari oleh badan kita, untuk sebagai energi, membakar kalori, yang memang membutuhkan air dan juga listrik. “Jadi air yang dicari tubuh kita memang bukan sembarang air, tapi salah satunya adalah air hujan ini”.

Mempelajari Air

Sementara Agus Bima mengisahkan perjalanannya mempelajari air. Dia mulai dari filosofi dan karakter air. Dia menyadari saat itu bahwa temperamennya itu selalu panas. “Setiap saat gampang marah dan suka misuh. Itu menjadi keluhan saya, karena kemarahan saya itu belum tentu tepat untuk yang mendengar. Padahal saya marah dengan diri sendiri dan tubuh sendiri”.

Kemudian tiap tengah malam dia masuk air, kungkum. Setelah bergaul dengan air, secara fisik atau raga Agus Bima kemudian menyadari bahwa air yang selama ini dianggapnya objek, ternyata adalah subjek. “Lama kelamaan meskipun belum hilang sama sekali, sifat temperamen saya berkurang”.

Kemudian dirinya juga menuturkan sering pusing. Ketika kungkum sudah semakin rutin dikerjakan, gampang pusing itu kemudian hilang. ” Pada saat itu saya semakin menyadari bahwa air itu subjek “.

Ketika bertemu Romo Kirjito pertama kali, Agus Bima menganggap bahwa romo yang satu ini edan. ” Lha waktu kecil itu kan saya tahunya romo itu bawanya tasbih. Lha ini malah kemana mana bawa alat ukur TDS”.

Namun setelah tahu, Agus baru menyadari bagimana sesungguhnya air itu, bagimana TDS-nya, PH-nya. Lalu naik lagi oksigennya, ion-nya. Setelah tahun 2013, Agus Bima kemudian fanatik dengan air hujan dan juga fanatik dengan standar WHO yang lama, soal TDS dan PH-nya.

Dari yang tadinya hanya merasakan manfaat air dari sisi luar tubuhnya, yakni dengan rutin kungkum, kemudian setelah kenal Romo Kirjito, Agus Bima banyak belajar manfaat air dirasakan dari dalam tubuhnya.

Romo Kirjito melanjutkan penjelasannya bahwa sebenarnya air itu adalah energi, jika terhubung dengan tubuh kita. “Nah tubuh kita itu yang paling pandai membaca. Contoh sederhana adalah mandi. Rasa segar yang dirasakan tubuh itu seketika, tanpa harus menunggu mikir dulu”.

Kaitannya dengan penelitian yang dia lakukan, Romo Kirjito mengungkapkan soal air hujan  yang terhubung dengan listrik yang sudah disearahkan. “Sementara tubuh kita katanya juga merupakan ‘pabrik listrik’ yang istilahnya bio electric. Sehingga semua alat kedokteran sebenarnya menangkap dulu sensor listrik tubuh, lalu oleh komponen peralatan dibuat menjadi angka, grafik, menjadi tekanan darah. Kalau tidak ada listriknya, alatnya tidak bisa bekerja”.

Listrik tubuh kita membutuhkan energi untuk mengolah makanan, panas, udara, air. “Nah kalau hal itu sudah dilakukan di luar dengan peralatan elektrik yang disearahkan ini, maka setidaknya hal ini akan meringankan beban energi tubuh untuk mengolah supaya dapat terserap oleh sel-sel”.

Khasiat Air

Romo Kirjito mencontohkan khasiat air hujan yang sudah dielektrisasi. Ada seorang warga yang punya sakit kencing batu, dan sudah beberapa kali operasi tak bisa sembuh. Ketika selama tiga bulan dia rutin meminum air hujan ini menjadi sembuh hingga sekarang.

“Jadi energi listrik dan energi air jika berkomunikasi, banyak hal terjadi di luar perkiraan kita. Kenapa air hujan yang kita pilih? Lha katanya swarga itu di atas, neraka di bawah. Masak air turun dari atas bukan dari swarga? Bukan saka Gusti Allah? Lha pabriknya saja di sini tidak ada. Jadi sudah pasti ini adalah air berkah “.

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta Edy Sambodo menceritakan dirinya sewaktu kecil bertahun-tahun hidup di Kalimantan dan minumnya air hujan. ” Apakah itu yang menyebabkan sekarang ini gigi saya keropos?, tanyanya.

Romo Kirjito menganggap cerita soal itu memang benar ada, namun fakta faktanya kadang belum tentu seperti itu. Ketika pernah ke Kalimantan, Romo Kirjito pernah bertemu dengan orang Sepuh dari Dayak, dan ternyata giginya juga baik baik saja.

“Jadi sebenarnya gigi yang keropos itu masalah kekurangan kalsium, yang memang sangat dibutuhkan oleh gigi kita”.

Agus Bima menambahkan, dalam suatu kesempatan dia pernah mengajak teman untuk wawancara warga yang semuanya pengguna air hujan. Dia sendiri kemudian mengambil foto gigi para warga itu. “Hampir 100 orang tiap desa, yang berumur 60 tahun ke atas. Juga foto foto para wanita di sana”.

Hasilnya bahkan yang sudah berumur 80 tahun pun gigi mereka masih utuh. ” Itu saya tidak minta mereka menunjukkan gigi mereka, tetapi saya mencuri foto gigi mereka”.

Menurutnya, mereka yang konsumen air hujan rata-rata memiliki bak penampungan minimal berkapasitas 40 ribu liter. “Masalahnya ketika ditampung lama terkadang warna air jadi hijau. Tetapi ketika dicek dengan alat listrik itu, kadar PH-nya ternyata 9. Lalu TDS-nya kok di bawah 50”.

Artinya, air tampungan yang hijau tadi, yang sudah terpapar matahari dan juga dipenuhi lumut, ternyata setelah dicek, kualitasnya masih dalam standar WHO dan tidak asam. “Kesimpulannya, air hujan yang ditampung secara alami itu kualitasnya sudah bukan asam”.

Peserta lain menanyakan apakah yang ditampung dari hujan pertama atau hujan kesekian. Dia menunjuk situasi polusi di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Batam yang tinggi. Besi yang terkena hujan pertama bisa saja berkarat karena PH yang cukup tinggi.

Agus Bima menjawab bahwa setelah kemarau disarankan untuk tidak memasukkan air hujan awal ke penampungan selama seminggu. Setelah itu baru bisa ditampung.

Romo Kirjito menambahkan bahwa sesungguhnya otak kita tetap menganggap bahwa polisi udara dengan polusi di tanah berkaitan dengan air hujan, masih lebih berat polusi di tanah. “Jadi langkah menampung air, setelah hujan hujan pertama, merupakan hal yang lebih baik sebenarnya daripada memakai air dari dalam tanah”.

Pada bagian lain Agus Bima menceritakan manfaat minum air hujan ini. Dulu ia punya penyakit mengantuk kalau menjelang maghrib, dan itu tidak tertahankan. Ketika minum air dengan tingkat basa tinggi, ngantuknya itu tidak hilang

Seorang temannya yang berprofesi dokter mengatakan, mengantuk itu karena asupan oksigen ke dalam otak kurang. Oleh karena itu tubuhnya memang membutuhkan air dengan oksigen yang tinggi dan juga ion yang tinggi.

Di sesi terakhir ada praktik ionisasi atau menyetrum air hujan, yang diperagakan oleh Albertus Rushardiono. Proses ini menjadikan air hujan biasa menjadi air hujan yang “berkhasiat”.

Acara Cangkrukan Budaya sambil lesehan ini  juga dimeriahkan hiburan Tjong nDeGust, Omah Srawoeng Home Band dan penampilan lantunan tembang dari DPC Permadani Pang Sembah Sakalbu. Dihadiri dari banyak kalangan seperti akademisi, mahasiswa, LSM, aneka komunitas dan masyarakat umum.

(BP)

About Edy