Taman Indonesia Kaya (TIK) kini benar-benar telah menjadi magnet bagi warga Kota Semarang. Ratusan orang berduyun-duyun memadati hampir seluruh penjuru sudut taman di Jl Taman Menteri Supeno Mugassari itu, Sabtu (23/3) malam.
Mereka datang memang tidak melulu ingin menghadiri acara penyerahan penghargaan bagi 10 musisi dan institusi di Jateng dalam rangka peringatan Hari Musik Nasional (HMN) 2019 oleh Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (DPD PAPPRI) Jateng.
Fitri, Novi, Fita, dan Sela, misalnya. Mahasiswi semester IV di sebuah perguruan tinggi di Semarang itu, menyatakan bahwa rekreasi di TIK sangat nyaman dan murah. Karena bisa dijangkau 10 menit dari rumah, dan modalnya hanya uang parkir motor Rp 3.000.
”Jadi kami tak perlu uang banyak untuk bisa nongkrong bersama di taman ini,” jelas Fitri, mahasiswi Semester IV sebuah PT di Semarang.
Putra, warga Jagalan, Mataram, menyatakan dari pada kebut-kebutan atau nonton trek-trekan yang nggak jelas, mereka lebih suka duduk santai di TIK. ”Lokasinya enak, nyaman, asri. Pas untuk ngobrol santai. Bisa untuk duduk-duduk sambil diskusi,” katanya.
Abdul Malik, juga warga Mataram menyatakan cukup 15 menit dari rumahnya untuk bisa refreshing di TIK. ”Saya suka ngobrol bersama teman-teman di taman ini. Saya berharap ada taman-taman sejenis di Kota Semarang. Misalnya di Mataram ada satu taman seperti ini. Sangat mengasyikkan,” kata siswa SMK Mataram ini.
Rizqi Syahputra, siswa SMK Penerbangan Semarang Barat mengaku senang menyaksikan live musik di TIK. ”Saya sudah melihat live music di sini beberapa kali. Tempatnya asyik.”
Ridho, warga Jl Mataram, mengakui bahwa renovasi Taman Menteri Supeno menjadi Taman Indonesia Kaya sangat bagus. ”Ini tak hanya menarik warga Kota Semarang, namun juga bisa jadi jujugan warga luar Kota Semarang yang ingin refreshing di dalam kota. Tak jauh dari Simpang Lima, mereka bisa santai bersama rombongan atau keluarga. Bahkan, TIK ini bisa mengangkat nama Kota Semarang menjadi lebih baik,” katanya.
Jaga Taman
Supri, warga Tegalsari Barat menyatakan bahwa keberadaan TIK sangat bagus dan nyaman. ”Cukup 5 menit untuk bisa bersantai ria di taman ini bersama cucu dan anak-anak. Tidak jauh dari rumah sudah bisa untuk refreshing,” ujarnya.
Salah satu seniman/musisi Kota Semarang ini berharap Kota Semarang memiliki lebih banyak taman sejenis. Sebab, taman seperti TIK yang memiliki panggung sebagai sentral dari kegiatan seluruh taman, sangat baik untuk beragam pertunjukan. Antara lain musik.
”Ini fasum tak hanya untuk rekreasi warga Kota Semarang. Saya harap selalu ada pertunjukan atau konser kecil-kecilan.
Kalau konsernya besar, nanti tamannya malah rusak. Sayang kan, jadi seluruh warga Kota Semarang harus ikut menjaga TIK.”
Menurut dia, pertunjukan atau konser musik di dalam kota, memang pas di Wonderia, misalnya. Pertunjukan dangdut atau tembang kenangan bisa digelar di sana. ”Saya dan teman-teman, sering menggelar pertunjukan, baik itu dangdut maupun tembang kenangan di Wonderia. Namun setelah lokasi itu tutup dan tidak dioperasikan lagi, kami sempat pindah ke kawasan Kota Lama, yakni di depan Gedung Marabunta. Saat ini kami masih mencari-cari tempat yang pas untuk lokasi pertunjukan,” ujarnya.
Sangat wajar jika masyarakat Kota Semarang mengacungi jempol atas keberhasilan renovasi Taman Meneteri Supeno menjadi Taman Indonesia Kaya (TIK). Lokasinya yang asri, kontur tanah terasering sehingga asyik untuk dilewati para pejalan kaki karena untuk jalan setapak juga mengikuti kontur tanah tersebut, sejumlah pohon dan bunga yang beraneka ragam, membuat sejuk dan nyaman dipandang mata.
Itu kekinian. Itu di zaman Millenial ini. Padahal dulu, TIK adalah Taman Keluarga Berencana atau Taman KB. Hampir tiap malam, terutama malam Minggu dan malam liburan lainnya, taman yang penerangannya remang-remang tersebut menjadi tempat mangkal para kaum wanita pria (waria) yang menjajakan cinta sejenis dan sesaat. Biasanya, mengikuti di belakangnya adalah kaum bromocorah dan para begal yang ikut ”nyungsep” di balik rerimbunan pepohonan dan temaramnya lampu taman.
Bertahun-tahun lamanya hal itu berlangsung. Sehingga taman yang berada tepat di depan gerbang SMA 1 Semarang itu pun menyumbang salah satu citra buruk kehidupan malam Kota Lunpia.
”Pokoknya bicara tentang Taman KB, ya bicara tentang dunia malam yang negatif. Nggak ada kesan taman, semua cerita tentang hal-hal yang serem-serem deh. Mudah-mudahan lembaran hitam di salah satu sudut peradaban Kota Semarang tempo dulu itu benar-benar terhapus dari ingatan warga,” kata Arifin, warga Manyaran.
Hapus Stigma
Sebenarnya, untuk menghapus stigma negatif itu, pada awal tahun 2000-an, Pemerintah Kota Semarang merenovasi Taman KB dan mengubah namanya menjadi Taman Menteri Supeno. Taman yang berada di Jl Taman Menteri Supeno Mugassari itu menjadi lebih rapi dan nyaman. Di masing-masing ruas trotoar, di bagian barat tedapat dua deret, dan di sisi utara dan selatan masing masing satu deret tempat Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan dengan bangunan mirip halte bus ini. PKL yang berjualan di sini sebagian yang dulu berjualan di Taman KB ini dan juga pindahan PKL yang dulu berjualan di sepanjang Jalan Pahlawan.
Untuk memberikan ruang terbuka untuk umum yang nyaman sekaligus ada sentuhan Millenial bagi masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya, Pemkot menggandeng Djarum Foundation kembali merenovasi taman seluas 5.000 m2 itu. Tak hanya mengganti nama menjadi Taman Indonesia Kaya (TIK), taman itu juga dilengkapi sebuah panggung megah nan futuristik yang juga dilengkapi soundsystem yang sangat memadai. Taman itu direnovasi sejak 1 November 2017 dan selesai pertengahan 2018. Kini taman sudah mulai dimanfaatkan sebagai ruang publik bagi masyarakat dan menjadi taman budaya pertama di Jawa Tengah dengan konsep panggung outdoor untuk menjadi wadah berekspresi para seniman untuk dapat dinikmati masyarakat secara gratis. (Ali)