8 October 2024
Home / Food Story / Sate Kambing Sor Talok Bantul, Kelezatan Dua Tusuk Sate yang Mengenyangkan

Sate Kambing Sor Talok Bantul, Kelezatan Dua Tusuk Sate yang Mengenyangkan

Kebul-kebul, satu per satu menu yang sudah dipesan dikeluarkan dari dapur bertungku kayu. Wanita sepuh bergelung dan berkain jarik mengulurkan piring-piring berisi nasi, sate, gulai, tengkleng, tongseng, dan kicik secara bergantian. Tak ketinggalan minuman dan lalapan. Hmmm… harum menggugah selera. Semua serbadaging kambing.  Tak ada yang luput. Lengkap.

Sesaat sebelum duduk di kursi belakang, kami melewati pawon tempat memasak. Tak tercium prengus kambing, yang ada aroma rempah bumbu. Harto, sang pemilik warung, menyambut grapyak sekaligus mempersilakan tim memesan makanan. Tak ada lembar daftar menu. Semua “otomatis tahu”. Cukup melihat dari MMT yang ditempel di atas depan pintu masuk warung “Sate Kambing  Sor Talok”, bakal segera pesan sesuai dengan keinginan.

Tentu ada yang spesial di warung sederhana di Jl Pramuka, Area Sawah, Trirenggo, Kecamatan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Benar saja, begitu hidangan mendarat di meja, mata langsung tertuju ke arah piring berisi sate. Wow,  tampak sate dengan ukuran daging super besar yang ditusuk dengan jeruji besi. Unik.

 Jika lazimnya daging sate berukuran kecil sekitar 1 x 2 x 2 cm, daging sate satu ini berukuran jumbo. Belum lagi, tusuk dagingnya bukan menggunakan bambu, melainkan besi atau bisa disebutnya jeruji. Satu porsi sate ini hanya berisi dua tusuk. Tapi jangan salah, menurut sang empunya warung, cukup makan dua tusuk sudah kenyang.  Satu tusuknya berisi enam potong irisan daging bersih tanpa lemak. Jika dibandingkan dengan lainnya, dua tusuk tersebut hampir setara dengan ukuran porsi 10 tusuk.

Harto, pemilik warung sate kambing
“Sor Talok” Bantul

“Cukup makan dua tusuk, sudah kenyang. Semuanya daging, tidak ada krenyes-nya alias gajih atau lemak. Beratnya tiga ons. Bisa Dicek. Dan tak perlu khawatir, meski berukuran besar, dagingnya empuk, matang merata. Bumbunya pun merata hingga bagian terdalam,” kata pria 55 tahun ini.

Apa yang dikatakan Harto memang betul adanya.  Ketika sate digigit, kenyal dan empuk. Rasanya manis, kaya rempah, pedas lada, dan gurih di akhir. Semakin  cocok dimakan bersama irisan kol, potongan bawang merah, mentimun, tomat, ditambah kecap dan cabai rawit yang pedas. Huh hah..

Istimewanya lagi, satenya sendiri tidak bau prengus sama sekali.  Harto mengungkapkan, semua masakannya memakai ramuan khusus. Semua bumbu dan rempah dibuat sendiri, ditumbuk. Tidak ada satu pun yang diblender. Semua alami dan tidak berpengawet. Bumbunya ada bawang, kemiri, ketumbar, daun jeruk, cabai, gula merah, kecap, dan garam. Tak ketinggalan daun jeruk dan jahe.

“Untuk menghilangkan bau khas kambing, saya selalu menggunakan daun jeruk dan jahe yang banyak sebagai rempahnya. Semua bumbu juga dibikin sendiri, manual. Tidak ada yang diblender atau membeli kemasan, karena nanti rasanya akan berbeda. Yang membeli jadi hanya santan, itu pun sudah ada yang menyetok khusus. Memang bumbu yang saya buat ini resep turun temurun dari eyang  saya, lalu bapak saya, dan sekarang saya sendiri,” beber ayah tiga anak ini.

Pantaslah, ketika dibakar satenya mengeluarkan aroma segar khas daun jeruk. Cara memasaknya juga sederhana. Sate dipanggang di atas tungku. Sebelum dibakar, rupanya sate dicelupkan terlebih dahulu ke panci berisi bumbu-bumbu yang disebutkan Harto. Bumbunya sudah ditumbuk dan ditumis.  Ketika dibakar, sate dicelupkan hingga tiga kali ke dalam bumbu. Dibakar sampai matang  sekitar 10 menit.

Harto lantas menyebutkan alasan tusukan sate menggunakan bahan dari besi atau jeruji. Menurutnya,  jeruji lebih kuat, sehingga tidak mudah patah. Karena potongan daging besar-besar maka membakarnya lama agar empuk dan kematangannya merata, sehingga alat tusuknya pun harus tahan bakar. 

Sate sudah. Saatnya mencoba menu lain, yaitu tongseng dan kicik. Rasanya sama-sama nikmat. Bumbunya kuat, dagingnya empuk, kuahnya gurih dan segar. Masakan tongseng dan kicik hampir senada. Yang membedakan pada kuahnya. Santan pada kuah kicik lebih kental dan manis dibandingkan dengan kuah tongseng. Sementara rasa kuah tongseng lebih asin gurih. Beralih ke tengkleng, yang berisi tulang-tulang kambing. Ada iga dan sumsum. Daging-dagingnya juga masih menempel tipis pada tulangnya. Kuahnya yang kuning terasa gurih dan kaya rempah. Menu yang satu ini tidak manis.

Harto mengungkapkan, kambing  yang digunakan untuk membuat semua masakan ini berusia di bawah lima bulan. Jika kepepet enam bulan. Daging kambing muda memang terkenal empuk. Ketika pemotongan, Harto  memisahkan daging jauh dari jeroan. Ini menghasilkan daging kambing yang tidak bau.

“Di sini dagingnya putih tapi empuk. Bersih, tidak ada gajih-nya dan tidak prengus. Supaya enggak bau, jeroan jangan dideketin sama daging. Jadi enggak amis. Jeroan diambil dulu jangan dideketin sama daging, dipisahin yang  jauh. Lemak atau gajih-nya itu juga jangan dideketin,” tuturnya.

Tak Buka Cabang

Sejak buka pada 2007 silam, Warung Sate Kambing Sor Talok  selalu dibanjiri pelanggan. Setiap menjelang makan siang, warung ini akan sesak oleh pengunjung.  Menurut Harto, warungnya buka pukul 06.30. Bahkan pukul 05.30 saja sudah bisa melayani. Jam 09.00 tengkleng sudah matang dan pukul 12.00 sudah habis.

Dalam sehari Harto menghabiskan 3-5 ekor kambing. Dulu sebelum PPKM, jika Sabtu-Minggu bisa sampai 5-8 ekor kambing yang dipotong. Apalagi warungnya juga bekerja sama dengan katering. Dalam sehari bisa melayani tiga tempat. Dalam sebulan bisa sampai 30 kali. Belum lagi jika dalam partai besar. Warung Sate Kambing Sor Talok juga tidak pernah libur, selain Hari Raya Iduladha.

“Kita enggak pernah libur, kecuali Hari Raya Iduladha. Karena kita ini pemburu dolar… Katanya… Hahaha…” kelakar Harto sambil tertawa. 

Harto berkisah merintis warung satenya sejak 2007. Sebelumnya dia juga sudah pernah membuka di daerah Manding, tepatnya sebelum terjadi gempa. Namun kemudian tidak berjualan lagi  dan berhenti hampir 15 tahun karena tidak punya modal.

“Pada waktu itu kan hanya ngontrak dan ngontrak. Terus kehabisan modal dan berhenti. Sampai pada akhirnya terjadi gempa. Kemudian saya masih ingat betul ketika itu mendapat bantuan gempa Rp 3 juta. Lalu saya pindah ke sini dan bantuan itu saya gunakan untuk modal jualan. Saya membuat emplek-emplek di depan. Saya jualan sate seperti ini. Alhamdulillah berkat berkah yang Di Atas diberi kelancaran sampai sekarang,” ungkapnya.

Harto juga bercerita sate kambing Sor Talok di Bantul, Yogyakarta ini ada banyak. Tapi yang benar milik Harto hanyalah satu, tidak ada cabang lain.

“Saya tidak buka cabang. Memang di Bantul ini ada lima sate Sor Talok. Tapi hanya sama nama, rasanya berbeda. Alias satu nama, beda rasa. Saya sendiri tidak akan membuka cabang. Saya berprinsip harus menjaga ini. Orang tua saya dulu dipandu oleh eyang saya hingga mahir. Begitu pula saya, yang dipandu orang tua sampai benar-benar bisa. Nanti pun jika anak saya akan mewarisi ini, saya akan memandunya juga. Jika sudah mahir, baru dilepas. Karena jika tidak ditangani sendiri, satu kali geser maka akan hancur. Kalau sudah geser, bisa bubar semua,” tandasnya.

Adapun harga satu porsi sate kambing Sor Talok dibanderol Rp 45.000 sudah termasuk nasi dengan lalapan dan minum. Sesuai dengan namanya, Sate Kambing Sor Talok berarti di bawah pohon kersen atau ceri. Ya, rumah makan ini memang berada di bawah pohon itu dengan diapit kanan-kiri dan di seberang jalan raya hamparan sawah yang luas. Jadi, pilihlah meja yang ada di teras depan, dan nikmatilah sensasi makan sate dengan hembusan angin kencang yang menyegarkan. (Sasy)