“Tahun 1988-1996, saya masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dalam bayangan saya sewaktu SMA, di ISI sekolahnya hanya menggambar, tidak ada teori-teori yang berat. Lha tapi ternyata ora (tidak). Kok terus ada aliran seperti surealisme, naturalisme, dan sejenisnya. Itu artinya, ketika melukis harus memiliki style (gaya) atau aturan. Namun, pada waktu itu saya tetap sakarepe dhewe atau sesuka hati, dan di situ kelihatan. Apalagi di awal-awal kuliah, dalam diri saya belum ada niatan untuk menjadi pelukis. Malah cenderungnya lebih ke penulis atau komikus. Memang, masuk ISI karena saya pas sedang bingung mau terus kuliah atau tidak, dari belakang bapak melemparkan koran yang sudah terlipat, lalu kubaca, ISI Yogyakarta menerima pendaftaran mahasiswa baru. Teman-teman sibuk tes Sipenmaru untuk masuk perguruan tinggi. Sementara saya masa mau sekolah lagi. Karena kalau sekolah lagi, saya sudah tidak kuat. Sekolah itu bikin stres dan jadi beban buat saya. Nah, awal mula dari situlah saya menolak aliran-aliran semacam isme tersebut,” begitu ucap Ugo Untoro panjang lebar mengawali cerita kepada tim Padmanews di kediamannya di Desa Menayu Kulon No 41 Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY.
Pria kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah ini merupakan perupa, pematung sekaligus penulis Indonesia yang populer akan kegaharannya menuangkan karya-karya lukis fenomenalnya yang sudah ditampilkan dalam berbagai pameran seni.
Sembari duduk santai di halaman depan rumahnya yang dinaungi pohon beringin besar, bambu kuning, dan tetumbuhan lainnya, Ugo melanjutkan membagi sejarah petualangannya atau lebih tepatnya kali pertama berjuang di dunia seni lukis.
“Pada waktu itu saya memang masih mencari jati diri. Dalam menggambar, saya masih sekehendak hati. Saya tidak mau mengikuti aliran lukis tertentu yang tertera di buku-buku teori seni. Mungkin ada andil dari pelukis S Sudjojono juga. Saya mengenal sosoknya saat masih SMP. Jadi waktu itu kalau sekolah akan mengadakan acara pembangunan, kita diberi tugas untuk pameran. Buku acuannya koleksi Soekarno. Kita saling bergantian melihat-lihat berbagai macam karya seni dan pelukisnya. Dari sekian banyak pelukis yang ada di buku-buku itu, entah kenapa pada waktu itu saya tertuju pada S Sudjojono. Kalau lainnya yang dicari Basuki Abdullah, saya justru tertarik dan menyukai Sudjojono. Saya melihat ia orang yang bisa melukis sekaligus menulis. Istilahnya, bisa menulis di kanvas lukisan. Ini orang benar-benar sakepenake dhewe. Tulisannya kadang banyak, enggak hanya judul. Mungkin bahasa pada waktu itu, orang ini aneh alias unik kalau untuk saat ini. Dari situ mulai menancap nama Sudjojono,” paparnya.
Tidak hanya S Sudjojono, Ugo mengatakan, memasuki SMA dirinya juga mulai mengenal pelukis Nashar dari koran dan majalah. Menurutnya, kehidupan Nashar sangat menarik, baik dari segi kemiskinannya maupun kekuatannya.
“Nah dari sedikit banyak para pelukis itu, saya terinspirasi untuk tidak mau terpengaruh apa pun. Saat kuliah, ketika membuat lukisan, sekarang gambar ini, minggu depan sudah berbeda lagi style-nya dan itu terjadi terus-menerus. Hingga akhirnya saya diprotes sekaligus ditertawakan, karena dianggap tidak konsisten. Yah, biasalah hehehe…,“ katanya mengalir diselingi tawa ringan.
Sambil tetap duduk santai, sesekali sebatang rokok di antara dua jarinya ia isap. Ugo begitu menikmati.
“Ya, dari awalnya saya menolak aliran, terus tanpa sengaja saya menemukan grafiti di jalan-jalan. Pada waktu itu masih berupa coretan-coretan, entah di tembok-tembok atau papan tulis yang belum menjadi sebuah karya. Waktu itu belum ada yang namanya grafiti atau mural. Lalu saya berpikir, kenapa ini kok enggak diangkat. Dari situlah yang mulanya coret-coretan dari menolak aliran, ketemulah konsepnya. Akhirnya corat-coret itulah yang bisa memberi tempat untuk ide tentang menggambar sakarepe dhewe bisa diterima. Sekarang menggambar begini, besok begitu. Embuh sakarepe. Kalau kata dosennya, yang penting saat ujian bisa menjawab pertanyaan, bisa pameran. Begitulah…” beber Ugo yang pada perjalannya juga membuat instalasi tiga dimensi dan video.
Memasuki semester lima atau kurun 1990-1991, Ugo mengaku dirinya mulai berkonsep. Bersama kawan-kawan satu rombongannya, Ugo mencari sendiri entah di buku-buku ataupun foto-foto yang mendukung. Lalu membahasnya, mempelajari hingga paling tidak bisa mengerti bagaimana dasar-dasar berkonsep.
Pasca-mendekati akhir kuliah, teman-teman seangkatan Ugo sudah berorientasi ke arah ekonomi. Mereka mulai mengejar selera pasar. Waktu itu lukisan seangkatannya mulai laku karena mengikuti tren pasar.
Ugo tetap pada karakternya, tidak ikut arus. Karena sedari kecil ia memang tidak ada cita-cita kaya. Ia merasa sepertinya tidak ada arah ke sana. Kehidupan yang mapan dan berkecukupan adalah hal yang jauh sekali dari pikirannya. Ugo lebih menyukai sesuatu yang tidak pasti. Sampai akhirnya pada batas-batas kekuatan “sudahlah saya pengin hidup seperti itu”.
Bersama teman yang mengajaknya, Ugo mendatangi galeri-galeri. Berjalan, berkeliling, membuat janji untuk bertemu, menunggu, dan menawarkan agar lukisannya dibeli oleh kolektor. Susah sudah biasa. Namun yang ia tidak mampu adalah harus bisa menawarkan ataupun menjual lukisannya dengan cara dan bahasa-bahasa yang menarik. “Itu yang saya tidak bisa,” ujarnya.
Di galeri, lukisan-lukisan Ugo yang dititipkan tidak pernah laku. Sampai pada akhirnya, Ugo didatangi oleh pembeli, dan yang mengagetkan lagi ia adalah Oei Hong Djien.
“Saya tidak mengira didatangi langsung oleh Bos Hong Djien. Padahal untuk menuju di Gendingan ini harus jalan dari ringroad. Tapi Hong Djien bisa sampai sini, blusukan sampai kontrakanku yang masuk gang kecil. Jadi rupanya waktu saya ke galerinya Hong Djien, kata teman lukisanku berbeda sendiri. Lukisan jaman kuliah, corat-coret. Namun, ternyata justru itulah kali pertama lukisanku yang laku dan dibeli oleh bosnya langsung,” beber Ugo.
Ugo dan Kuda
Dalam rentang waktu yang panjang, alam semesta telah mendukung ikhtiar Ugo dalam berkarya. Ia pun konsisten dan setia dengan gaya melukisnya.
Sebagai bentuk atas pencapain dalam berkarya, Ugo mengadakan berbagai pameran seni. Tercatat pameran-pameran Ugo seperti “Rindu Lukisan Merasuk di Badan”, yang diselenggarakan pada 21 Desember 2019-12 Januari 2020.
Kemudian, “Corat-Coret” di Bentara Budaya, Yogyakarta (1995), “Cemeti Gallery” di Yogyakarta (1996), “Short Short Stories” di Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur (2006), “My Lonely Riot” di Galeri Biasa, Bali (2006), “Short Short Stories”, di Art Forum, Singapura (2007), dan banyak lagi. Ia berhasil menggaet publik. Ia juga tercatat menerima banyak penghargaan.
Salah satu pamerannya yang paling fenomenal dan banyak dibicarakan adalah “Poem of Blood” di Galeri Nasional Indonesia pada 2007. Di sana, Ugo menampilkan karya-karyanya berupa instalasi, objek, seni video, fotografi sampai lukisan yang merefleksikan secara mendalam perjalanan adab manusia yang telah membawa kuda memasuki tahap tertentu seperti sekarang ini, yakni binatang peliharaan pemuas hasrat sang maskulin.
Pameran itu adalah hasil pemaknaan Ugo terhadap kuda kesayangannya yang mati. Ugo mengaku pernah memiliki 20 ekor kuda dan ada masanya ia rutin mengikutsertakan mereka dalam pertandingan pacuan. Sebagian waktu bersantainya dulu digunakan untuk jalan-jalan di Kota Yogya menggunakan kuda.
Dalam “Poem of Blood”, Ugo menampilkan instalasi potongan tubuh kuda yang sudah diawetkan. Ada pula instalasi sejumlah tubuh kuda yang menggantung yang tampak seperti daging kuda yang dijajakan di pasar tradisional. Selain itu ada pula video yang menampilkan gerak kuda, dan lukisan-lukisan tubuh kuda yang tidak utuh dan lebih tampak seperti arwah kuda yang digambar dalam warna-warna gelap seperti biru tua dan hitam.
Lukisan-lukisan Ugo memang tak lepas dari hewan kuda. Bahkan, di kalangan tertentu jika menyebut nama Ugo Untoro refleks tertuju pada bayangan kuda. Ugo memang identik dengan kuda. Lalu, bagaimana latar belakang ia bisa menyatu kuat dengan kuda?
“Jadi waktu itu tahun 2000-an awal mula saya ‘terpesona’ kuda. Anak-anakku juga sudah besar. Pas itu tetangga yang tukang andong sedang mengeriki kudanya. Saya bertanya, ‘tidak berangkat ngandong’ dan dijawab ‘tidak’. Lalu saya pegang kudanya, kok manut. Saya bertanya lagi, ‘ini bisa dinaiki tidak’, dijawab ‘lagi ya bisa’,” cerita ayah dua putra itu.
Akhirnya, dari memegang kuda, di hari itu pula kali pertama dirinya menunggang kuda.
“Kok nurut kudanya. Terus saya membawanya ke jalan. Kebetulan jalan yang biasa dilewati jaran andong. Jadi sudah biasa bertemu atau berpapasan dengan orang, mobil, dan lainnya, sehingga sudah tidak takut. Pas itu saya menyewanya seharian untuk jalan-jalan. Saya keliling-keliling. Tapi nahas, begitu pulang dan mendekati rumah, tiba-tiba ada suara beghu yang nyaring. Kudanya kaget dan lari kencang. Saya tidak tahu cara menghentikannya. Sampai akhirnya ada perempatan dan dari arah lain ada motor. Terpaksa saya menjatuhkan diri sambil tetap memegang tali pacu untuk mengerem. Saya terseret hingga beberapa meter. Pokoknya bagaimana caranya agar kuda ini berhenti, dan badan ini saya jadikan rem. Kuda akhirnya bisa saya kendalikan dan berhenti. Tapi, saya pulang dengan badan kesakitan dan kaki terpincang-pincang sambil menuntun kuda. Sampai di rumah, tukang andongnya tanya, ‘kamu kenapa’. Ohh.. itu jadi momentum yang sesuatu sekali. Hahaha…”
Dari kejadian itu akhirnya ada keinginan kuat dalam diri Ugo untuk bisa menunggangi kuda. Ugo lalu membeli anak kuda, merawatnya, dan berselang dua tahun ketika kuda sudah bisa dinaiki, ia berlatih menunggangi.
Dalam proses merawat kuda, ada perjalanan di mana ia harus berkomunikasi dengan binatang tersebut, baik saat sedang sehat maupun sakit. Bahkan saat kudanya melahirkan, Ugo menunggui dan melihat secara langsung prosesnya. Begitu pula saat kudanya ‘menuju mati’, Ugo melihatnya langsung.
Dari serangkaian perjalanan merawat kuda ini, Ugo bisa ikut merasakan bahwa ada sisi-sisi gelap dari kuda yang tak banyak diketahui, di mana saat ia sakit, melahirkan hingga ringkikan dan kematian. Akhirnya, semua yang ada tentang kuda menginspirasi Ugo untuk merefleksikannya ke dalam sebuah karya seni hingga sekarang.
Investasi Sosial Karya Seni
Ugo Untoro memang sosok yang apa adanya. Bersahaja di balik karya-karya dan sepak terjangnya yang luar biasa. Penampilannya tetap sederhana. Seperti pada sore itu, mengenakan kain sarung, berkaus oblong dengan sandal jepit serta rambut panjang yang dikucir begitu saja.
Ugo berbeda dari kebanyakan seniman lainnya. Saat kesuksesan sudah berhasil di genggaman, Ugo berani mengorbankan kekayaannya untuk diwakafkan. Perpustakaan Umum serta Museum dan Tanah Liat adalah bagian dari investasi sosial pria kelahiran 28 Juni 1970 ini.
Ugo beralasan mengapa dirinya membangun museum dan perpustakaan umum. Semata-mata, ia ingin menghidupkan kawasan kampung seni budaya sekaligus sebagai sarana penggerak literasi. Apalagi , Yogyakarta sebagai Kota Seni belum mempunyai museum seni rupa.
“Selama ini, kata museum cenderung dengan sesuatu yang kuno, gelap atau istilahnya tidak mbois (keren). Nah, kita kepengin museum jadi tempat yang kekinian gitu. Artinya, bisa menjadi tempat untuk tujuan atau destinasi anak-anak muda bermain, kumpul-kumpul, dan hangout. Selebihnya, ada tanggung jawab yang harus saya jaga untuk tetap menghidupkan karya-karya ini. Kalau memberikan rumah bagus, karya-karya ini akan mati. Karena itu harus tetap ada semangat memelihara sekaligus membuat panggung untuk mereka yang belum memiliki. Jadi museum seni inilah wadah yang paling cocok untuk menjaga dan memelihara itu semua,” kata Ugo yang kini memiliki kegiatan lain yaitu berkebun.
Sementara di Perpustakaan Umum miliknya yang terletak berdekatan dengan rumah tinggalnya, ada berbagai macam koleksi buku. Menurutnya, buku-buku itu sebagian dari hasil sumbangan. Waktu itu, banyak yang berdatangan untuk memberikan bantuan buku. Karena kebetulan, perpustakaannya ikut dalam anggota Pustaka Bergerak Indonesia. Jadi dulu setiap tanggal 17 ada buku-buku gratis di kantor pos yang bisa diambil. Dengan perpustakaan ini, Ugo berkeinginan mengajak orang-orang untuk membaca. Meski, diakuinya saat ini terasa susah.
“Saya memang suka membaca dan pengin mengajak orang-orang di sekitar untuk membaca. Dulu waktu kecil, setiap Bapak habis gajian selalu membelikan komik. Bapak itu guru SD, yang mengajar macam-macam. Bapak mungkin support secara enggak langsung,” kenangnya.
Ugo lalu mengantarkan tim Padmanews ke Museum dan Tanah Liat miliknya yang terletak di Jl Kersan No 05, Jeblog, Tirtonirmolo. Ugo menamai museumnya Tanah Liat yang diambil dari salah satu nama putranya, yaitu Tanah Liat. Satu putranya lagi bernama Aran Pari Joran.
Saat itu di Museum yang merupakan ruang seni untuk memfasilitasi bermacam aktivitas tersebut, sedang berlangsung pameran “Biennale Jogja XVI Equator#2021.” Pameran yang dikuratori Alia Swastika dan Jongeun Lim itu, berlangsung dari 4 Oktober hingga 14 November dan diikuti oleh seniman-seniman Indonesia, Thailand, Korea, dan Cambodia.
“Setelah rehat lama karena pandemi, kita mulai bisa melakukan kegiatan lagi. Salah satunya Biennale XVI ini. Karena dampak pandemi mengubah semuanya, dari proses berkarya hingga pameran. Pola pikir kita harus berubah. Dari cara berpikir sampai cara fisik saja. Saya jadi rumangsa kalau menggambar, ukuran harus sekian. Relatif paling tidak mengikuti patokan, sebagai contoh ukuran 1,50 atau 1,20, itu sangat umum dan standar. Orang kalau pesan gambar biasanya ukurannya ya itu. Penyesuaian itu merupakan proses berkarya yang bukan ukuranku, tapi sekarang saya harus sama dengan yang lain. Karena dulu, kalau melukis, nge-cat atau apa pun, saya membuat sendiri. Ketemu barang apa, ya itu saya buat. Entah kertas, kain atau apa pun, semua bisa jadi karya. Jadi tidak terpaku ukuran atau media. Karyaku macem-macemlah. Saya juga packing sendiri. Tapi dari peristiwa pandemi ini, saya mengambil sisi lain yaitu terbawa untuk mengikuti standar yang umum. Itu pengaruh yang paling personal sekali untuk diri saya,” tuturnya.
Terkaitan dengan museum, Ugo mengaku semua kegiatan berubah. Pameran harus dengan dua cara, fisik dan online. Awal-awal menyiapkan ia dan tim merasakan repot sekali. Tak hanya itu, pameran juga berkurang hingga 50% lebih. “Wong mau pameran saja ya harus mikir. Dari sisi TOR dan segala macamnya ada perubahan. Tapi ya itulah usaha-usaha yang harus tetap ada. Karena semua juga mengalami, tidak hanya di sini. Semua harus dilalui bersama, dirasakan bersama.”(Sasy)