Tempat untuk Terus Belajar
Memasuki rumah seniman dan pematung senior Win Dwi Laksono seakan memasuki sebuah galeri yang bersahaja. Rumah di Nitipuran, Ngertiharjo, Kasihan, Bantul ini terasa lega di setiap ruangan. Rumah di atas lahan 630 meter persegi ini meliputi teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang berkarya, dua kamar tidur, dapur, kamar mandi dan teras belakang yang juga terdapat kamar kos-kosan. Yang unik, tidak ada yang segaris dalam dinding rumah, namun pusatnya justru di dapur. Dari sini penghuni bisa melihat ke depan maupun ke belakang rumah.
Ruang tamu dipenuhi oleh patung-patung perunggu dan logam. Bahkan hampir di setiap sudut ruang ada patung beraneka bentuk. Juga banyak lukisan karya pria kelahiran 1957 ini yang terpajang di dinding rumah. Bagi Win, tempat paling favorit adalah ruang tengah. Ruangan ini memiliki langit-langit tinggi, dengan salah satu dinding adalah jendela kaca besar, sehingga cahaya bisa masuk ke ruangan. Ruangan menjadi terang tanpa harus menyalakan lampu. Inilah tempat Win membuat sket, mencari inspirasi dan juga bersantai.
Hal lain yang menonjol adalah banyaknya aneka barang lawas yang menjadi aksesori di setiap ruangan. Ini adalah obsesi Win yang ditularkan oleh mendiang kakeknya, selain memang rasa ndesa yang ingin dibangunnya sendiri di dalam rumahnya.
Win yang lulusan ASRI (1977 – 1984) menjelaskan, membangun rumah merupakan hal penting dan prinsip. Kalau kendaraan sekunder, tetapi kalau rumah harus. “Rumah juga harus sesuai dengan produk saya. Kebetulan saya dari desa. Nenek moyang dari Kotagede semua, sehingga kalau membangun rumah harus ada suasana ndesa dan nyaman. Sirkulasi udara yang nyaman, tidak terlalu luks, alami itu saya sangat terobsesi. Kebetulan rumah saya di Kediri begitu, keluarga di Kotagede juga begitu,” katanya.
Dan karena dia berkecimpung di dunia seni, maka rumah baginya selain nyaman juga berfungsi untuk tempat karya. Memang kalau idealis, namanya karya tiga dimensi pasti butuh ruang banyak. Jadi sekarang ini untuk sementara ya karya-karya patung itu ditaruh di sudut-sudut ruangan. “Saya setiap hari harus berdialog dengan mereka, karena ini adalah kitab laku saya, sehingga setiap hari dipandangi, sekadar untuk mengetahui kekurangan saya apa saja. Lukisan juga begitu. Kebetulan saya juga pernah menjadi ilustrator novel silat jawa karya Kho Ping Hoo”.
Tidak Segaris
Menurutnya, rumah ternyata juga ada unsur guyonan. “Jadi kalau saya bikin karya, ide diparingi Sing Duwe Urip, ternyata bukan berarti saya mudeng artinya. Bikin rumah ini juga begitu, saya bikin sendiri tanpa arsitek. Pede iya tapi ngawurnya juga iya. Ternyata di situ terjadi pergulatan melawan diri sendiri. Setelah jadi, saya justru seperti diberi pelajaran oleh rumah ini, sehingga tidak merasa pintar. Salah satunya, ketika anda duduk di sudut itu, Anda merasa kecil karena langit-langit tinggi. Filosofinya ternyata merasa kecil itu enak”.
Kemudian rumah ini tidak ada yang segaris, karena buah ngawur tadi. “Saya sket dulu, saya inginkan komposisi yang tidak segaris. Meskipun kemudian biaya menjadi lebih mahal. Kemudian saya ingin juga dimana pun dalam rumah ini bisa mendengarkan musik. Maka saya beli beberapa radio dan juga tape, saya taruh di beberapa sudut rumah. Cahaya saya butuh banget, supaya tidak terlalu sering menyalakan lampu. Di ruang tengah yang terang itu bisa kerja sket atau main musik. Setiap saya berdiri di manapun saya melihat komposisi yang bagi saya terasa asyik, karena tidak segaris”.
Win bahkan memotong kaki meja supaya tidak terlalu tinggi. Di sini ada dialog untuk kepentingan prioritas. Dalam hal ini prioritas dia adalah nyaman, Jadi kalau dalam ruangan yang sudah serasi itu ada meja terlalu tinggi juga tidak pas. Ia juga menaruh kotak-kotak yang dirasa unik, karena juga fungsional sekaligus menjadi tumpuan patung.
Karena tidak segaris, maka ketemunya justru di dapur. Nyonya rumah kalau berdiri di dapur bisa melihat kemana pun. Misal kalau ada tamu datang, juga bisa lihat studio di belakang, apakah tamunya perlu dibuatkan minuman. Jadi secara keseluruhan ketika Win menikmati tinggal di rumahnya ternyata maknanya selalu belajar terus. Prosesnya juga dilalui dengan ketidaktahuan.
“Ketidaktahuan yang indah dan ternyata tidak tahu itu juga enak, meskipun bukan berarti tidak belajar. Kemudian kita kosongkan lagi supaya tidak mengerti lagi, lalu belajar lagi. Inilah esensi rumah ini. Kalau ikuti tren, kan itu berputar terus. Padahal kita mandeg itu juga bisa kok berputar.”
Pada intinya kebutuhan terhadap rumah adalah yang nyaman, di sembarang tempat dia bisa sket, bermain dan mendengarkan musik tanpa perlu menghidupkan lampu, karena cahaya cukup. “Kostum saya ya cuma sarungan begini. Tempat sholat juga saya dekatkan tempat gemericik air di kolam, supaya lengkap unsur tanah, air dan udara’.
Ketika membangun, waktu dimanfaatkan dan segala sesuatu direncanakan, sehingga semua berjalan lancar. Hanya kemudian di bagian belakang ditambah untuk kos-kosan. “Biar buat teman istri kalau pas saya bepergian”. Di belakang juga ada ruang terbuka dengan suasana ndesa, untuk latihan keroncong, diskusi asosiasi pematung dan lain-lain.
Menggunakan Rasa
Proses pembangunan juga lebih menggunakan rasa, sehingga pikiran dikurangi. Mungkin garis ruangan tidak sama, tetapi rasa yang memandu menginginkan membuat itu. Frame dinding bata yang terekspos tidak memiliki ketebalan sama. “Ya gak papa. Rasa ini menginginkan segitu ketebalan masing-masing”.
Soal barang lawasan diakuinya memang terpengaruh eyangnya. “Rumah eyang itu isinya memang barang-barang kuno, ada barang yang saya angkut ke sini. Ternyata virus ini menjalar ke saya, saya itu seneng tapi belum paham. Terus belajar sama teman-teman yang tahu barang antik. Setelah itu kalau lihat barang antik penginnya beli. Istri sampai ngancam, gak beli lagi lho ya. Tapi lama lama menular, kemudian malah istri yang memilihkan, meskipun kadang-kadang dia masih bilang, besok besok gak beli lagi lho ya”.
Tapi
dengan barang-barang langka ini Win merasa seperti berada di dunia lain, “Aku
kenal tapi gak kenal. Gak kenal tapi kenal, sehingga seperti ada dialog di
setiap tarikan nafas kita. Seperti telenan ini milik keluarga keraton. Ada ani
ani yang terpasang. Ini seperti melaksanakan obsesi masa lalu dengan lingkungan
ndesa yang kemudian saya wujudkan sekarang”.
Di rumah yang didirikan 1997 ini, Win menikmati sekali
mengajak dialog karya-karyanya. “Sliwar sliwer sambil mendengarkan musik, saya
lihat karya. Ada teman bilang Ini kalau
dibesarkan bagus. Saya besarkan eh alhamdulillah laku semua. Ini memang semi
galeri”. Maka tak heran berbagai sudut
ruang dengan hiasan dan lukisan yang menarik menjadi area selfie para tamu yang
datang. (BG)