8 October 2024
Home / Education / Oei Hong Djien Saatnya Berbagi Kebahagiaan

Oei Hong Djien Saatnya Berbagi Kebahagiaan

Berbincang dengan dr Oei Hong Djien, kita seakan larut dalam antusiasme, kegairahan, dan juga kebahagiaan. Apalagi jika menyangkut karya seni rupa. Suaranya akan meninggi dan tawanya yang kencang akan mengiringi penjelasannya soal perjalanannya menggeluti karya seni.

Memakai celana jins biru dipadu dengan batik, penampilan OHD, begitu dia biasa dipanggil, sama sekali tak menyiratkan usianya yang 81 tahun. Begitu akrab dan energik, pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 5 April 1939 ini menyambut tim Padmanews di OHD Museum miliknya di Jalan Jenggolo 14 Magelang.

Ini adalah salah satu museum yang mewadahi dan memajang koleksi lukisan para seniman terkenal. Masih ada dua museum lagi, di belakang rumahnya dan Oei Heritage House. Ya, OHD sangat terkenal dengan ribuan koleksi karya seni rupa yang langka.

Namanya sebagai kolektor seni rupa sangat dikenal di kalangan seni rupa di seluruh Indonesia dan berbagai negara. Sejak muda OHD juga bergaul akrab dengan lingkungan seniman, terutama seniman-seniman di Yogyakarta.

Perjalanan mengoleksi karya seni merupakan perjalanan panjang, dan tentu saja mengalami berbagai perubahan preferensi maupun selera. OHD mengisahkan pada awalnya ia lebih suka pada karya-karya yang indah dan mudah diserap. “Untuk orang yang tingkatannya advance, ini tentu saja akan dianggap ringan,” tuturnya.

Ia menunjuk salah satu seniman yang akrab dengannya, Widayat, yang tidak suka dengan lukisan yang manis-manis. “Ketika akhirnya karya itu saya turunkan, Pak Widayat berkomentar, wah saya senang yang manis-manis tidak terpajang lagi,” kata OHD sambil terbahak.

Grader tembakau untuk PT Djarum ini juga mengaku beruntung karena tidak terpaku pada suatu gaya. “Seni modern memiliki kekuatannya, sementara yang kontemporer juga memiliki kekuatannya sendiri”. Seni kontemporer memang mengedepankan konsep, cerita, dan ide. “Meski visual dan rasa terhadap karya seni penting, konsep dan cerita juga penting. Jadi kedua hal itu faktor penting buat saya,” tuturnya.

Ia menyukai semua jenis lukisan dari realis, abstrak, surealis, ekspresionis, dekoratif sampai kontemporer. Kriteria lukisan yang menarik baginya sangat sederhana, yang mampu menyentuh perasaannya. “Pendeknya yang mampu menyentuh rasa saya, saya ambil. Walaupun itu karya pelukis-pelukis muda,” tuturnya.

OHD mengungkapkan yang dicari manusia adalah kebahagiaan. “Dan itu berkaitan dengan situasi rasa. Apakah yang paling berhubungan dengan rasa? Seni. Tiada seni tanpa rasa, dan sebaliknya tiada rasa tiada seni,” katanya. Hal ini, tambahnya, akan memuaskan dan meningkatkan kualitas hidup.

Ia mengutip Presiden RI pertama Soekarno yang mengatakan, “Berpolitik itu stressing. Sementara seni itu relaxing”. Gabungan keduanya ini akan saling menyeimbangkan.

Oleh karenanya dia menegaskan jangan menganggap seni sebagai kebutuhan tersier. “Ini kebutuhan primer untuk perkembangan manusia. Karena tidak hanya badannya yang harus sehat, jiwanya juga harus sehat”.

Menurutnya, kalau kita punya perasaan yang sensitif, tentunya akan lebih mudah berempati kepada orang lain daripada yang tidak punya rasa. Salah satu perwujudannya adalah keinginan berbagi kepada orang lain untuk juga ikut menikmati koleksi lukisan miliknya. Itulah sebabnya ia membangun beberapa museum.

                                 ***

Koleksi Museum OHD sangat lengkap untuk seni rupa Indonesia modern dan kontemporer, seperti karya Raden Saleh, Affandi, Basoeki Abdullah, Lee Man Fong, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Soedibio, Trubus S., Harijadi S., Kartono Yudhokusumo, Eko Nugroho, F. Widayanto, Ahmad Sadali.

Kemudian juga karya Widayat, Fadjar Sidik, Srihadi, Edhi Sunarso, G. Sidharta Soegio, Edi Sunaryo, I Made Djirna, Ivan Sagito, Heri Dono, Nasirun, Agus Suwage, Ugo Untoro, Dadang Christanto, Pupuk D.P., Entang Wiharso, Nyoman Masriadi, Handiwirman Saputra, dan masih banyak lainnya.

OHD juga mengoleksi karya-karya pelukis Eropa yang pernah bermukim di Indonesia seperti Walter Spies, Pieter Ouborg, Theo Meier,  Jan Frank dan lain-lain. Itulah sebabnya para peneliti seni rupa Indonesia dari berbagai negara selalu menjadikan OHD sebagai narasumber.

Banyak yang telah mempelajari dan menulis tentang koleksi lukisan OHD. Salah satunya adalah Dr Helena Spanjaard, ahli sejarah seni rupa Indonesia terkenal asal Belanda. Dia telah menulis tentang koleksi OHD secara ekstensif. Dalam buku Exploring Modern Indonesian Art, the Collection of Dr. Oei Hong Djien, Spanjaard merekomendasikan pada orang yang hendak mempelajari seni rupa modern Indonesia supaya mendatangi museum OHD.

“Kalau di Indonesia kan mestinya yang dilihat karya seni Indonesia. Oleh karena itu saya fokus mengoleksi karya seni, modern dan kontemporer, Indonesia. Jadi ketika orang mau belajar sejarah karya seni kita bisa datang ke sini,” tuturnya.

OHD sendiri pada awalnya tidak ada pikiran untuk mendirikan museum. Namun peristiwa dan pengalaman hidupnya akhirnya membawa putra kedua dari tiga anak pasangan Oei Kok Hie dan Tjan Marie Giam Nio pada posisi sekarang ini.

Sejak kecil OHD terbiasa melihat lukisan-lukisan tua peninggalan Belanda milik ayahnya. Begitu pula ketika di SD Bernardus di Semarang. Di Kota Lumpia ini ia tinggal di rumah pamannya yang juga menyukai lukisan. OHD masih menyimpan beberapa dari lukisan peninggalan ayahnya. Rumah yang ditinggalinya selalu dihiasi lukisan. Demikian juga saat dia di Jakarta untuk belajar di SMP Katolik Kanisius. Oei Sian Yok, kritikus seni mingguan Star Weekly dari tahun 1956-61, adalah sepupunya lulusan akademi seni rupa ITB (itu waktu Teken Academie Bandung), angkatan Sudjoko, Mochtar Apin, yang membangkitkan minatnya untuk lukisan di usia sangat muda. Waktu OHD belajar di fakultas kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta ia tinggal di rumah Oei Sian Yok.

Ketika belajar di UI, OHD lebih memperhatikan seni rupa Indonesia dan suka mengunjungi pameran. “Waktu itu hanya lihat-lihat saja belum mampu beli,” kenangnya. Lulus dari UI, beberapa tahun kemudian ia berangkat ke Belanda, belajar spesialis patologi anatomi di Katholieke Universiteit, Nijmegen.

Menyalurkan minatnya, OHD rajin melihat pameran lukisan dan menyambangi berbagai museum di negeri kincir angin dan Eropa lainnya. Waktu itu keuangannya sangat terbatas. Jadi meski ingin memiliki lukisan aslinya, pada akhirnya ia hanya mampu membeli reproduksinya.

Tahun 1968, pulang dari Belanda ke Magelang, ia bekerja di Balai Pengobatan Pancasila, organisasi Gereja Katolik yang membantu pengobatan untuk masyarakat kurang mampu. Wilayah kerjanya meliputi daerah-daerah terpencil di Kabupaten Temanggung dan Magelang

Sepuluh tahun bekerja, OHD belum mampu membeli lukisan para Old Masters tapi dia punya banyak waktu luang bertandang ke galeri-galeri seni rupa dan studio seniman. Dia semakin paham karya-karya yang bagus dan ingin memilikinya. OHD juga mulai mengenal banyak pelukis dan bersahabat dengan mereka.

Pada tahun 1968 dia mulai mengelola perusahaan tembakau yang diwariskan ayahnya. Tak hanya harta OHD juga mewarisi bakat ayahnya sebagai grader (ahli tes tembakau).

Setelah menjadi grader PT Djarum Kudus, usaha tembakaunya makin maju. Ia pun berkesempatan mewujudkan impiannya membeli lukisan para maestro. Tidak tanggung-tanggung dia membeli tiga karya maestro lukis Indonesia Affandi berjudul Perahu Madura, Adu Ayam dan lukisan yang paling populer Potret Diri. “Karena Affandi suka memberikan kredit, saya bisa membayar dengan mencicil setiap bulan. Dan karena mencicil malah diberi diskon 10%. Saya bisa melunasi dalam 1 tahun. Harga Affandi waktu itu antara 1,5 – 3 juta,” tuturnya.

Setelah itu OHD semakin suka dengan karya-karya Affandi. Bahkan setelah Affandi meninggal dunia. ia mengejar koleksi kolektor siapa saja yang memiliki karya-karya Affandi, juga yang di luar negeri. Salah satunya adalah Yoseas Leao, mantan duta besar Brazil untuk Indonesia. Leao juga menggemari karya-karya S Sudjojono,  Widayat dan pelukis-pelukis Bandung. Setelah Leao meninggal, koleksinya dijual. OHD terbang ke Rio de Janeiro. Dia memborong lebih dari 20 lukisan ex-koleksi Leao, karya maestro lukis Indonesia tersebut.

Tak hanya OHD yang mendekati para seniman. Para seniman muda pun, yang membutuhkan dana untuk studi mereka, “menyerbu” OHD di Magelang dengan membawa karya seni mereka. Hubungan mereka kemudian menjadi semakin dekat. Para seniman itu pulalah, terutama Widayat, yang mendorongnya untuk membuat museum.

                                         ***

Tak hanya berkunjung di Museum OHD, tim Padmanews juga diajak untuk berkunjung ke rumahnya yang asri di Jalan Diponegoro, Magelang. Museum pertama yang selesai dibangun tahun 1997 berada di belakang rumah, di Jalan Gandu. Lebih banyak lagi koleksi yang tidak dipajang dan disimpan diberbagai tempat penyimpanan khusus yang dilengkapi dengan alat dehumidifier.

Di sela sela memperlihatkan koleksinya, OHD juga menjamu kami makan siang tahu pojok Magelang. Tentu saja masih ditimpali dengan perbincangan soal kesukaannya pada karya seni rupa. OHD sangat menikmati dan berbahagia dengan kecintaan terhadap seni rupa.

Dan rasa bahagia yang selama ini dia nikmati dari mengoleksi ribuan lukisan kini memasuki fase selanjutnya. Jika dahulu hanya melulu berburu, memiliki dan menikmati koleksinya, OHD merasa ini saatnya untuk membagi kebahagiaan itu dengan orang lain.

Itulah sebabnya ia membangun museum untuk memajang koleksi, sekaligus sebagai tempat pembelajaran bagi para peminat sejarah dan karya seni rupa, khususnya dari Indonesia. “Ilmu yang kita dapat kita bagi. Jangan hanya untuk diri sendiri”. (bp)