Pendirian dan keberhasilan Batavia Madrigal Singers (BMS) tak lepas dari peran besar konduktor Avip Priatna, yang merupakan salah satu penggagas kelompok paduan suara itu. Sejak lama Avip memimpikan sebuah kelompok paduan suara yang bisa mewakili Jakarta sebagai ibu kota negara, di kancah internasional.
Itu setelah paduan suara yang terdiri dari bekas mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan Bandung membentuk dan mengembangkan Paduan Suara Bekas Mahasiswa (PSBM) Unpar. Tak hanya sukses konser dan bertanding di dalam negeri, sebagian anggota PSBM juga mencatat keberhasilan di luar negeri ketika bergabung dengan PSM Unpar dalam kompetisi di Arnhem, Belanda.
Hal itu mendorong beberapa anggota, terutama Avip Priatna untuk membentuk paduan suara dengan unsur anggota lebih luas dan lebih profesional. Pada akhirnya lahirlah BMS pada 1996.
Kala itu Avip yang lulusan Arsitektur Unpar masih menempuh pendidikan di Universitat fur Musk und darstellende Kunst Wien (University of Music and Performing Arts) di Austria, namun selalu menyempatkan diri pulang ke tanah air terutama saat liburan kuliah, untuk mengadakan konser bersama teman-teman BMS.
“Pada dasarnya BMS adalah partner saya dalam meraih impian-impian saya, terutama di bidang musik paduan suara”, katanya kepada Tim Padmanews, sebelum gladi bersih konser BMS di Semarang, baru baru ini.
“Saya bermimpi suatu saat Jakarta atau bahkan Indonesia punya satu paduan suara yang bisa mewakili ibukota atau negara di kancah internasional seperti yang sering saya lihat di Wina, Austria, tempat saya studi di bidang conducting”, tambahnya.
Sebenarnya awal Avip ikut paduan suara di kampus Unpar sebagai pianis. Di tahun keempat, konduktor PS Unpar lulus, jadi Avip menggantikan menjadi pelatih dan secara otodidak menerapkan apa yang diketahui dari mendengarkan CD-CD ke anak-anak PS.
Hanya berbekal insting itu Avip melatih mereka, dan ternyata mereka menang juara pertama dalam kompetisi paduan suara di ITB pada waktu itu. Avip melihat teman temannya yang tidak punya basic bermusik secara formal ternyata bisa menghasilkan suara yang bagus.
“Terus saya jadi berpikir, kayaknya bidang conducting ini cukup potensial digarap. Dan di Indonesia sepertinya belum ada yang serius belajar di bidang conducting paduan suara dan orkestra”.
” Terus saya pikir lagi, saya kan lulusan Arsitektur. Nah seangkatan saya saja ada seratus orang arsitek yang bakal jadi saingan. Belum yang di luar kampus saya. Di sisi lain dunia conducting belum ada yang serius mendalami”.
Itulah sebabnya setelah lulus dari Unpar, Avip mulai berpikir sampai kapan akan jadi konduktor yang otodidak. Sementara musik yang dia kerjakan adalah musik-musik klasik yang memang butuh dasar keilmuan yang kuat, sehingga nantinya tidak salah dalam menginterpretasikan.
Sekolah Musik
Akhirnya diniatkan untuk sekolah musik. “Kebetulan rektor Unpar waktu itu mau ketemu dengan Dubes Austria. Saya ingat waktu baru mau cuci mobil, dia bilang, ‘Avip, aku mau ketemu Dubes Austria, tolong minta CV-mu’. Saya memang sudah bilang sebelumnya kalau mau sekolah musik”, tutur Avip.
Setelah menjalani proses masuk dan testing, akhirnya Avip, yang sejak kecil sudah suka paduan suara dan ikut Bina Vokalia, diterima dan sekolah di University of Music and Performing Arts di Wina, Austria.
Avip mengenang, pada saat pengumuman hasil audisi masuk universitas di Wina itu, penguji dan kemudian yang menjadi pembimbingnya, Profesor Gunther Theuring mengungkapkan, kemampuan bermain piano, teori musik vokal dan hal-hal teknis yang Avip miliki dinilai biasa-biasa saja.
Namun, lanjut Profesor Theuring, Avip dianggap sangat musikal dan memiliki naluri dan aura spesial saat memimpin paduan suara. Saat dirinya membawakan karya Mozart, sungguh-sungguh bunyi Mozart-lah yang dihasilkan.
Avip mengungkapkan, “Pada saat audisi conducting itu, saya memang menyaksikan para penguji dan yang hadir menghela nafas begitu saya selesai memimpin. Saya yang sempat cemas karena tidak tahu apa arti helaan nafas itu, menjadi lega setelah mendengar apa yang disampaikan Profesor Theuring”.
Bagi dirinya tidak masalah jika kemampuan teknisnya dinilai biasa biasa saja, yang penting dia diterima belajar musik di universitas tersebut. Apalagi ketika yang menyaksikan audisi menyatakan bahwa yang mereka lihat sesuai ekspektasi mereka.
“Padahal ketika itu saya cuma melakukan apa yang menurut saya harus dilakukan dalam memimpin paduan suara. Saya sekadar mengarahkan dan membantu penyanyi agar mereka bisa merasakan sendiri keindahan musiknya”, kata Avip seperti dikutip dari buku Jelajah Selaka Warsa; 25 Batavia Madrigal Singers.
Teknik dan teori bermusik bisa dipelajari, namun personality, kemampuan bermusik sesuai kepribadian itu tidak ada teorinya, dan tidak diajarkan di sekolah. Teman-temannya di paduan suara menyebut, itulah aura dan talenta yang dimiliki Avip yang tidak banyak dimiliki orang lain.
“Komentar teman teman bermusik itulah yang memacu saya untuk bertahan dan berusaha terus bersemangat selama enam tahun studi di Wina”, tutur Avip.
Usai merampungkan studinya itu, Avip melihat bahwa apa yang dipelajarinya di sekolah hanya sebuah permulaan dalam pembentukan seorang konduktor. ” Saya merasa perlu memperdalam dengan pengalaman praktik langsung dalam conducting. Dengan begitu saya bisa belajar langsung bagaimana cara mengarahkan musik dengan baik dalam sebuah paduan suara “.
Maka, setiap kali ada kesempatan ia selalu ingin mempraktikkan ilmu yang dipelajarinya dalam paduan suara sesungguhnya. ” Ini sama kayak seorang dokter yang menangani pasiennya. Dalam menangani paduan suara, saya harus membuat diagnosis tentang apa yang dialami oleh para penyanyinya. Dengan demikian saya bisa menentukan penanganan atau “obat” yang tepat dan manjur agar secara keseluruhan paduan suara itu menghasilkan bunyi yang indah”.
Avip merasa sangat beruntung memiliki BMS sebagai partner. Ia juga bisa belajar bagaimana mengarahkan para penyanyi dan memadukan berbagai jenis karakter suara untuk menghasilkan “bunyi” yang sesuai harapan. “Terapi bagi setiap penyanyi bisa beda-beda. Tidak bisa dipukul rata bagi semua untuk bisa menghasilkan suara yang diinginkan, terutama dalam blending atau penyatuan suara menjadi sesuatu yang indah”, jelasnya.
Mengasah Ilmu
Avip kemudian lebih intens mempraktikkan dan mengasah ilmu bermusiknya. ” Lebih tepatnya melanjutkan proses belajar saya bersama BMS. Bukan hanya penyanyinya yang belajar dari saya, tetapi saya juga banyak belajar kepada mereka”.
Dalam melatih Avip juga menyesuaikan dengan kemampuan personel paduan suara, karena misalnya tidak semua bisa baca not balok, ada yang bisanya not angka, atau mendengarkan dulu panduan. “Saya harus kasih porsi dan lagu yang tepat, sehingga kesulitan menjadi sebuah pembelajaran. Nanti kalau sudah menguasai, kita tambah dengan lagu yang lebih sulit”.
Dia mengakui, terutama dalam menghadapi kompetisi, yang paling sulit adalah menyiapkan program, yakni memilih lagu-lagu yang hendak ditampilkan. “Jadi selalu kita pilih program yang menantang, tetapi juga bisa kita eksekusi. Sebab kalau tidak bisa dieksekusi, justru nantinya seperti mempertontonkan kekurangan kita”, jelasnya.
Pengalamannya sebagai juri, Avip sering melihat ada konduktor yang memaksakan diri dengan program yang sebetulnya mereka belum sampai. Sehingga tidak bisa mengarahkan paduan suara dengan benar, meskipun sebenarnya koor-nya siap. “Itulah sebabnya saya sering mengimbau teman-teman pelatih untuk memperkaya ilmunya. Kan sekarang tidak melulu harus lewat sekolah, bisa baca sendiri, les atau lihat YouTube”.
Avip sendiri mengatakan perlunya selalu mengasah ilmu, karena memang pernah melakukan kesalahan strategi juga. Ceritanya BMS ikut kompetisi di Tours, Prancis. Kompetisinya ada beberapa putaran, dan meraih juara. Pada putaran pertama menyanyikan lagu-lagu klasik, dan putaran kedua program bebas.
Setelah nilainya dijumlahkan, ternyata BMS dinilai layak untuk masuk ke grand final. Avip beranggapan karena program yang dibawakan bebas, ia memilih lagu yang lebih gampang. Dia pikir asalkan nantinya dibawakan dengan bagus.
Ternyata para jurinya justru berpikir lagu ini tidak terlalu susah dan tidak menantang. “Jadi meskipun pada putaran sebelumnya kita juara satu, favorit penonton, grup dengan interpretasi terbaik, tetapi di grand final kita kalah dari Latvia, yang secara standar koor di bawah kita”.
Kemudian di tahun yang sama BMS ikut kompetisi di Spanyol dan menjadi juara umum, sehingga dapat tiket untuk masuk grand final di tahun 2020 di European Grand Prix. “Belajar dari pengalaman kekalahan di Tours Prancis, saya mempersiapkan program yang saya anggap pas, dan syukurlah kita menang jadi juara umum”. (BP)