Bau harum ayam goreng langsung menerpa penciuman begitu kita memasuki Rumah Makan Ayam Goreng & Sop Buntut Pak Supar. Siang itu pengunjung ramai memenuhi rumah makan yang berlokasi di Jalan Moh Suyudi 48 Semarang itu.
Di bagian depan karyawan sibuk menggoreng ayam dalam wajan yang besar. Juga menyiapkan sop buntut atau sop daging yang dipesan konsumen. Jam-jam makan siang memang selalu padat pengunjung.
Untuk lebih memberikan pelayanan kepada para pelanggan rumah makan ini juga membuka cabang yang letaknya tidak terlalu jauh lokasinya, tepatnya di Jalan MH Thamrin No 102 Semarang.
Ayam goreng yang disajikan memang terasa gurih dan empuk, dipadu dengan sambal yang memang juga enak. Sementara daging sop buntut juga terasa empuk dan kuahnya terasa kaldu gurihnya.
Menurut Andi Wahyudi, karyawan dan juga keponakan Pak Supar, Pak Supar mulai jualan tahun 1974, berkeliling pakai gerobak di daerah Pecinan, seperti Kranggan dan Gang Baru. Kemudian pada tahun 1982 buka di Pringgading memakai tenda pada sore hari dari jam 16.00 hingga 22.30.
Rumah Makan di Jalan Moh Suyudi dibuka pada tahun 1994, dan berjalan hingga sekarang. Awalnya cuma sebuah kios, kemudian dalam perkembangannya direnovasi dan menjadi lebih luas. Sementara cabang di Jalan Thamrin sudah berjualan selama empat bulan terakhir.
Ayam Kampung
Andi mengungkapkan, sehari rumah makan ini memasak ayam antara 100 hingga 150 ekor. Semuanya pakai ayam kampung. “Tergantung situasinya, misal pas liburan ya masak banyak”. Menurutnya, konsumen menyukai ayam goreng Pak Supar karena rasanya yang gurih manis, karena memakai ayam kampung umur tiga bulan.
Ayam itu diberi bumbu kemudian langsung digoreng. ” Jadi gak pakai model diungkep atau dikukus”. Per potong ayam goreng itu seharga Rp 26.000.
Untuk menu sop buntut sapi sudah dimasak sejak jam 03.00 pagi, karena merebus dagingnya butuh waktu lima jam. “Bu Supar sudah bangun, sebelum shalat dia pasti masak dulu sekitar 50 kg daging sapi”. Masakan sudah siap ketika rumah makan buka pada jam 10.00.
Mengenai kejadian viral yang menganggap bahwa karyawan di Ayam Goreng Pak Supar menggetok pengunjung dengan menaikkan harga, Andi menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya kekeliruan komunikasi.
“Jadi mereka itu rombongan, menempati tiga meja. Di tempat kami itu modelnya ayam disajikan. Kalau orang yang pesan ada dua, kami sajikan empat potong ayam. Tiga kita kasih enam potong. Kebetulan yang bawa tamu sudah pergi semua”
“Ayamnya masih ada sisa, tetapi sudah diambil salah satu karyawan. Nah, yang menghitung tahunya ayam habis semua, sementara karyawan yang ngambil tidak komunikasi sama yang ngitung”.
Apalagi waktu itu sedang rame dan pengunjung antre cukup banyak, sehingga ketika tahu meja sudah kosong, karyawan yang menghitung menganggap ayam dimakan habis. Ditambahkannya, semua uang dari konsumen itu diserahkan kepada bos, jadi tidak bisa karyawan mau cari untung sendiri.
Tim Padmanews merasakan sendiri bahwa penghitungan harga dilakukan dengan fair, dihitung per item makanan. Sehingga kami sebagai konsumen merasa cukup nyaman. (BP)