Inilah Unika. Universitas Katolik Soegijapranata, yang berlokasi di perbukitan Jl. Pawiyatan Luhur Bendan Duwur Semarang, yang terus-menerus berupaya menghasilkan talenta-talenta terbaik yang berguna bagi lingkungannya, masyarakat dan negara. Ini tentu saja sesuai dengan motto perguruan tinggi tersebut.
Motto Talenta pro Patria et Humanitate (talenta untuk tanah air dan kemanusiaan) yang diresmikan Unika pada tahun 2011 menegaskan kepada kita, kalau punya bakat jangan disembunyikan. Harus dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya agar berguna bagi bangsa dan negara serta kemanusiaan.
Menurut Rektor Unika Prof. Dr. F. Ridwan Sanjaya, SE, S.Kom, MS.IEC, awalnya motto universitas beberapa kali berganti. Yang terakhir sebelumnya adalah Striving for Excellence, tetapi terasa tidak ada bedanya dengan motto organisasi-organisasi yang lain. ‘’Sampai di jaman Prof Budi Widianarko diubah mengikuti pesan dari patron universitas Mgr Albertus Soegijapranata, yaitu Bakat pemberian Allah jangan hanya kau sembunyikan, persembahkan seluruhnya kepada nusa, bangsa, dan negara atau disingkat dengan istilah Talenta pro Patria et Humanitate,” tutur Ridwan. Prof. Dr. Ir. Y. Budi Widianarko, MSc adalah rektor Unika periode sebelumnya.
Ridwan menjelaskan, Rektorat periode 2017-2021 memiliki program yang dinamakan UnikaConnect. Biasanya kata connect diasosiasikan soal teknologi, padahal tidak selalu. Kata connect punya arti menghubungkan. Jadi program-program itu dimaksudkan untuk menghubungkan talenta-talenta yang dimiliki warga Unika untuk masyarakat demi kebaikan bersama. Namun untuk bisa membagikan seringkali dibutuhkan teknologi informasi untuk mengumpulkan berbagai data yang mendukung dan dihubungkan dengan sistem informasi maupun platform digital untuk dapat diolah dan dikoneksikan ke tujuan organisasi.
Dalam salah satu platform Rekam Jejak mahasiswa yang dikembangkan, teknologi informasi bukan semata-mata berperan sebagai operator untuk input data, tetapi juga mengolah dan menyimpulkan data yang dikumpulkan. Misalnya, ketika seorang mahasiswa mengikuti berbagai kegiatan yang bisa diketahui oleh kampus, maka tersedia platform untuk mereka memasukkan data tersebut secara mandiri. Data itu kemudian bisa diolah dan dijadikan CV yang sudah diverifikasi oleh universitas, dalam hal ini program studi. Ketika CV ini diberikan ke perusahaan akan menjadi lebih komprehensif karena perusahaan bisa mengetahui potensi dan aktivitas dia seperti apa saja. “Selama ini perusahaan masih harus menebak-nebak kebenaran CV calon pegawai. Biasanya calon pegawai masuk masa kontrak sekian waktu untuk membuktikan”. CV terverifikasi ini akan lebih bermanfaat bagi perusahaan, karena bisa tahu aktivitas si lulusan dari semester awal sampai akhir. Misal diketahui aktif dalam kehumasan sehingga cocok direkrut sebagai pemasar atau humas.
Menurut Ridwan, CV ini sebenarnya diwajibkan oleh pemerintah dengan nama surat keterangan pendamping ijasah (SKPI). Tetapi, di banyak kampus kebanyakan sifatnya masih sebatas surat pendamping. Padahal ini bisa dipakai untuk meyakinkan perusahaan. Dengan kata lain hal ini sebenarnya menghubungkan talenta-talenta ini kepada perusahaan, kepada masyarakat, kepada kebaikan, dan lain-lainnya.
Contoh lainnya adalah platform kewirausahaan, misalkan ada mahasiswa yang berbakat dalam bisnis tetapi tidak punya dana. Dengan data dan foto-foto kegiatan usahanya, mahasiswa bisa dibantu untuk dihubungkan ke alumni dan investor yang barangkali bisa dan berminat membantu dalam pendanaan atau investasi. Dari sisi mahasiswa ini jelas memberikan manfaat. Dari sisi kampus, bisa mengetahui kemampuan usaha dan talenta mahasiswa di bidang apa saja. Sehingga kampus bisa ikut mendorong jika bisnisnya masih setengah jadi. “Sebenarnya platform crowdfunding yang dikembangkan mirip seperti kickstarter.com. Hanya saja kita kustomisasi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa”.
Teknologi dan Cyber Learning
Bicara soal teknologi, sewaktu Ridwan bergabung ke Unika pada tahun 2002, kampus ini sebenarnya cukup tanggap dalam mengikuti perkembangan teknologi. Sistem informasi nilai dan pembayaran uang kuliah sudah ada, meskipun belum dikenal sistem dengan jalur internet pada waktu itu. Sifatnya hanya lebih program intranet ataupun lokal di komputer masing-masing. Saat awal tahun 2000 Unika mengirim staf untuk belajar teknologi komputer dan ketika pulang diminta membuat manajemen sistem informasi dan mengembangkan aplikasi-aplikasi komputer.
Pada awal-awal 2009 penggunaan teknologi komputer semakin gencar. Sudah ada sistem pembelajaran daring waktu itu meskipun belum menyeluruh. Tahun 2013, ketika Ridwan menjadi Wakil Rektor bidang Akademik, porsi TI menjadi lebih besar. Beberapa aplikasi dikembangkan untuk membantu administrasi dan pembelajaran selama kurun waktu 2013-2017.
Salah satunya aplikasi gadget untuk wartawan. Dulu ketika wartawan meliput aktivitas di Unika, selesai dengan liputan terbit di media saja. “Kemudian kita munculkan aplikasi bernama Unika Menyapa. Wartawan ikut menginstall aplikasi tersebut, sehingga mereka bisa tahu liputannya sudah didokumentasikan oleh Unika. Wartawan bisa merasakan kedekatan dengan Unika karena tulisan-tulisannya dikoleksi. Biasanya webmaster selalu aktif mencari tulisan atau liputan yang berkaitan dengan Unika”.
Tahun 2014 pembelajaran daring yang telah ada kemudian diintegrasikan ke akun dosen/mahasiswa di sistem informasi kampus, serta menambahkan alat bantu pemeriksanan anti-plagiasi. Ketika mahasiswa kirim tugas langsung bisa diperiksa kemungkinan plagiasinya. Sejak itu tugas kuliah, skripsi, dan tesis sudah langsung diperiksa dengan anti-plagiasi, dimana pada waktu itu umumnya hanya disediakan di jenjang S3. Edukasi kepada mahasiswa ditekankan nilai integritas dan mereka memiliki kemungkinan memiliki karir cemerlang. “Jika sampai melakukan plagiasi dan di kemudian hari terbukti, kan sayang masa depannya,” kata Ridwan.
Penerapan berbagai sistem baru ini bukannya tanpa penolakan. Keraguannya umumnya pada efektivitas pengajaran nilai-nilai secara daring ketika sentuhan langsung tidak terjadi. Padahal salah satu ciri khas Unika terletak pada pengajaran nilai-nilai kepada mahasiswanya. Sosialisasi dan edukasi tentu saja tidak pernah berhenti, apalagi ketika menyaksikan penyebaran nilai-nilai yang bertentangan ternyata dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab melalui internet. “Apabila nilai negatif bisa menyebar melalui internet, kenapa kita tidak berjuang agar nilai-nilai positif yang menyebar? Untuk itu kita harus bisa mengenali media digital agar value positif bisa sampai ke generasi muda,” jelas Ridwan.
Saat ini, mata Kuliah Kewarganegaraan, Pancasila, dan Religiusitas juga dikombinasikan dengan berbagai teknologi sehingga bisa diikuti secara daring. Bahkan dua tahun yang lalu, Unika Soegijapranata dipercaya oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) untuk mengelola pembelajaran Mata Kuliah Kewarganegaraan, Pancasila, dan Religiusitas secara digital dalam platform Massive Open Online Courses (MOOCs) yang bisa diambil oleh semua masyarakat yang membutuhkan secara daring.
Pada tahun 2017, platform pembelajaran daring direvitalisasi dengan penambahan fitur-fitur yang dibutuhkan dalam kuliah sehari-hari sehingga bisa menjadi komplemen dalam aktivitas pembelajaran dan diberi nama baru, Cyber Learning. Namun tahun 2020 ketika wabah Covid-19 datang dan kampus ditutup untuk mahasiswa, platform tersebut menjadi satu-satunya media pembelajaran. Persiapan sejak lama tersebut ternyata membuat Unika tetap bisa memberikan layanan yang terbaik meskipun kondisi sedang tidak memungkinkan. Pada awalnya semua merasakan kesulitan karena shifting yang tiba-tiba sehingga universitas menyediakan hotline pembelajaran daring bagi dosen maupun mahasiswa selama masa pandemi. Selain itu, prosedur dan aturan juga diterbitkan untuk memperkuat penjaminan mutu.
Platform pembelajaran yang telah disiapkan memungkinkan mahasiswa bukan hanya sekedar mendapatkan materi atau memenuhi permintaan dosen dalam mengerjakan tugas, tetapi juga dimungkinkan untuk tatap muka virtual setiap jam kuliah, kerja kelompok virtual, nobar (nonton bareng), atau bahkan gamifikasi pembelajaran daring.
Kerja kelompok yang dulunya harus berkumpul secara fisik, kemudian berubah menjadi virtual di platform pembelajaran daring. Buat dosen juga asyik, menurut Ridwan, bisa seperti Raja Asgard (di film Thor) yang memantau satu-persatu atau semua kelompok yang sedang berdiskusi. Kerja sama di dunia online sudah biasa terjadi dimana para pemain game online sudah membuktikan hal ini. “Pahami saja cara kerja media digital, supaya sesuai dengan kebutuhan kita agar jangan sampai perguruan tinggi terkaget-kaget seperti halnya disrupsi taksi dan agen perjalanan.”
Bagi Ridwan, kegiatan yang dilakukan terus-menerus lama-lama akan membuat penggunanya terbiasa. Pembelajaran daring di Unika selama pandemi memang baru satu semester. Namun mengingat kemungkinan pandemi yang tidak bisa diprediksi waktunya, bisa saja pada akhirnya orang-orang akan merasakan cara belajar daring yang lebih nyaman dan menganggap cara lama tidak praktis.
Hal ini didapatkan dari kesaksian dari para mahasiswa. Satu-dua minggu pertama kuliah daring masih banyak keluhan. Namun satu-dua minggu sebelum ujian akhir, mahasiswa ternyata banyak yang menyatakan belajar daring lebih pas dan merasa lebih cocok. “Jadi selama tiga bulan ada perubahan signifikan, yang semula menolak jadi menerima. Survei kami mendapatkan 70 persen siap untuk daring. Ini positif”.
Pergeseran menjadi 70 persen ini karena didukung oleh banyak hal. Dari sisi infrastruktur, terjadi penambahan komputer server untuk melayani pembelajaran daring dari dua menjadi empat server. Setiap server juga di-upgrade hampir setiap minggu di awal-awal masa pandemi, dari 10 core, ke 12 core, ke 14 core, ke 18 core, dan terakhir 24 core. “Kami sedang meningkatkan menjadi 96 core,’’ ucapnya. Dari sisi dosen, pemahaman yang semakin baik terhadap media pembelajaran daring juga meningkat siginifikan. Dengan memahami medianya, dosen dapat berimprovisasi dan sukacita ketika memberikan materi pembelajaran sehingga kuliah tidak hanya memindahkan ke dunia virtual saja, tetapi juga membangun suka cita dalam belajar. Sehingga menurutnya, “hipotesa yang perlu diuji dalam satu semester mendatang, apabila terbentuk suka cita belajar maka pembelajaran daring bisa diterima.”
Sosok-Sosok Cakep
Selain pembelajaran daring, Unika meluncurkan berbagai program yang memfasilitasi dan memudahkan proses belajar mengajar sivitas akademika Unika. Di antaranya Dimas (Dashboard Informasi Mahasiswa) untuk menjamin keterbukaan dan integrasi dalam perkuliahan melalui akses informasi dan layanan perkuliahan.
Lalu ada juga Delta (Dokumen Elektronik Tugas Akhir) yang memfasilitasi keterbukaan dan integritas dalam tugas akhir melalui pencatatan semua proses dan aktivitas bimbingan secara transparan. Vanika (Virtual Assistant Unika) untuk mendorong kecepatan, interaktif dan keterbukaan informasi melalui layanan chat robot (chatbot) yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan secara otomatis. Donita (Donasi Kita) menyangkut kepedulian, keterbukaan, dan integritas untuk menggalang dana ketika bencana atau situasi yang membutuhkan. Hani (Halo Alumni) untuk mendukung jejaring, komunikasi, kepedulian sesama alumni. Selain itu masih ada Duta (Dukungan Kita) untuk penggalangan dana beasiswa dan Bersama Unika untuk kewirausahaan.
Jika dikaitkan dengan aktivitas mahasiswa, yang paling banyak dipakai adalah Dimas. Dengan Dimas ini mahasiswa bisa memeriksa nilai, mengurus KRS, KHS, Transkrip, sampai dengan presensi digital.
Sedangkan Delta sangat menolong mahasiswa terkait tugas akhir dalam kondisi pandemi, karena memungkinkan dosen dan mahasiswa tetap bisa bimbingan dan ujian meski tidak bertemu secara fisik. Terlebih lagi, Delta juga mendukung keterbukaan dimana informasinya bisa diakses oleh orangtua dan kaprodi. Bisa diketahui urutan proses dan status bimbingannya, misalnya setelah dikumpulkan belum dikoreksi dalam waktu yang lama, berarti ada masalah di dosen. Atau review sudah dikembalikan lama kepada mahasiswa tetapi mahasiswa tak pernah bimbingan, berarti ada masalah di mahasiswa. Semua alur itu bisa diketahui karena transparan. Dalam masa pandemi, Delta dihubungkan dengan video conference (vicon) untuk keperluan tatap muka virtual.
Program vicon yang dipakai adalah Big Blue Button, mirip dengan Google Meet atau Zoom, dengan kelebihan dalam hal interaksi. Mahasiswa dimungkinkan untuk memberikan komentar PPT dosen di layar. Atau ketika mahasiswa presentasi, dosen bisa memberikan catatan-catatan di PPT mahasiswa. “Ini asyik. Aktivitasnya bisa mirip seperti saat tatap muka langsung.” kata Ridwan.
Inovasi-inovasi ini dihasilkan oleh Perguruan Tinggi, terutama Unika, agar tidak menjadi “dinosaurus”. Adaptasi dan berubah menjadi kata kunci di dalam teori Clayton Christensen yang disebut sebagai Disruptive Innovation. Pada tahun 1995, guru besar bisnis dari Harvard University tersebut sebenarnya sudah mengingatkan akan adanya situasi dimana organisasi-organisasi mapan akan terganggu oleh yang baru saja datang karena model bisnisnya lebih efisien. Agar bertahan, organisasi lama harus berubah secara mendasar. Teori ini yang disesuaikan dengan kondisi perguruan tinggi, menjadi tema saat orasi pengukuhan guru besar Ridwan di tahun 2017.
Ketika nantinya pemerintah membuka akses mahasiswa untuk belajar kembali di kampus, Unika juga sudah menyiapkan protokolnya. Mahasiswa datang atau tidak datang ke kampus, tetap akan mendapatkan materi kuliah secara digital. Meski secara virtual, mahasiswa tidak hanya mendapat softcopy materi saja, melainkan “Mahasiswa seakan-akan berada di dalam kelas itu”. “Jika sukacita menjadi tujuan dan kita mau memperjuangkannya, maka segala kebaikan akan dapat dirasakan oleh banyak pihak. Kita akan dibuat merinding merasakan kebahagiaan mereka,” pungkas Ridwan menutup pembicaraan. Janjinya, semua inovasi di kampusnya punya tujuan itu dan semua pihak sepenuh hati memperjuangkannya. (bp)