Dari perusahaan yang dahulu sempat hampir bangkrut, PT Hartono Istana Teknologi yang memproduksi produk-produk elektronik merek Polytron, secara pasti melangkah menjadi salah satu market leader.

Divisi Riset dan Pengembangan (R&D) memiliki posisi sentral dalam membuat inovasi produk secara terus menerus. Menangkap local needs menjadi acuan Polytron untuk menghadirkan produk yang memang dibutuhkan konsumen.
CEO Polytron Hariono mengungkapkan perjalanan panjang Polytron menjadi merek yang dikenal kepada tim Padmanews, di kantornya di Kudus baru-baru ini. Ikut mendampingi beberapa orang staf yang sudah cukup lama bekerjasama dengannya.
Hariono menjelaskan, pendiri Polytron Budi Hartono ingin berkontribusi memproduksi produk-produk elektronik rumah tangga yang berkelas internasional. Karena di era tahun 1980-an itu yang ada adalah produk-produk merek Jepang, Eropa dan Amerika.
Yang pertama dibuat adalah produk televisi. “Memang waktu itu hanya merakit, karena memang kami harus belajar dulu. Saat itu bekerja sama dengan Philips, juga Nokia yang dulu punya televisi dengan merek Salora”.
Pada saat yang sama Polytron juga mulai belajar untuk membuat sendiri, karena dengan kerja sama itu juga terjadi transfer teknologi. Tahun 1979 didirikan divisi R&D. “Saya masuk Mei 1979 dan diminta untuk bekerja di divisi R&D ini”.

Tahun 1980 mulailah pengembangan produk, dan pada tahun 1983 meluncurkan produk hasil design sendiri. Pada saat itu jaringan listrik belum merata, sehingga bagi warga di daerah yang ingin menikmati siaran televisi berwarna harus memakai aki.
“Kami kemudian berpikir untuk membuat produk televisi berwarna yang hemat listrik sekaligus bisa pakai aki. TV yang bermerek Polytron itu diluncurkan dan direspon sangat positif oleh market”.
Hariono menambahkan, peluncuran produk itu juga didukung oleh marketing communication yang baik. Iklan digencarkan, sehingga orang tahu ada televisi ini.
Perkembangan selanjutnya ada feedback dari konsumen, bahwa banyak televisi yang disambar petir. Kemudian Polytron mengembangkan produk televisi yang ada pengaman antipetir pada tahun 1985. Ini juga didukung oleh promosi yang bagus.
Produk Audio
Tahun itu selain membuat televisi, Polytron juga mengembangkan produk audio. “Kami pelajari selera orang Indonesia itu seperti apa ketika mendengarkan musik Ternyata mereka itu suka yang suara bass-nya kuat, trebel-nya tinggi. Ini tentu berbeda dengan produk luar yang cenderung “response” nya flat”.
Setelah diluncurkan, produk tape compo Polytron langsung sukses, bahkan berhasil mengambil alih posisi ” raja compo” waktu itu, sebuah merek nasional dan merek merek Jepang lainnya. Polytron menjadi market leader produk-produk audio sampai sekarang.
Polytron memang harus mencari posisi market yang unik. Apalagi produk luar juga tidak mungkin hanya memproduksi khusus untuk pasar Indonesia. Mereka merupakan merek global, sehingga sekali buat produk untuk seluruh dunia.
Pada saat bersamaan sebenarnya Polytron juga terus mengembangkan produk televisinya. Pernah membuat televisi yang bisa mengatasi pantulan gambar, karena sinyalnya terhalang banyak gedung tinggi. “Tapi kurang berhasil di pasaran karena biaya pembuatannya tinggi, sementara pasar maunya produk baik harga murah”.
Kemudian Polytron juga berinovasi membuat televisi yang bisa terkoneksi ke Bursa Efek Jakarta (BEJ), karena pada waktu itu orang sudah mulai bertransaksi saham.
Lalu teknologi televisi beralih ke LCD. Dengan layar televisi yang semakin tipis, maka tidak bisa lagi menempatkan perangkat audio yang memiliki suara bass kuat. “Kami lalu berinovasi dengan menambah speaker tower di luar. Sebenarnya sederhana, perusahaan lain juga bisa buat. Yang tidak bisa adalah membuat produk dengan biaya murah”.
Untuk televisi dengan speaker tower itu, konsumen hanya menambah biaya Rp 75 ribu. “Inovasi ini kemudian ditiru oleh kompetitor empat tahun kemudian, namun tidak berhasil di pasar, karena suara bass-nya kurang, dan harga tidak semurah produk Polytron”.
Saat itu inovasi juga dilakukan melalui marketing communication. Pada waktu itu 90 persen komponen penting televisi LCD adalah di panel. Kalau panel rusak, biasanya unit televisinya harus dibuang. Nah lalu keluar ide untuk memberikan garansi selama lima tahun.
“Kalau kita berani menggaransi selama itu, dan karena waktu itu belum ada yang berani, maka konsumen akan pilih Polytron”, katanya.
Benar saja ketika program itu diluncurkan, tanggapan pasar positif. “Daripada kami turun harga, mending pakai marketing communication. Itu juga sukses dan ditiru banyak kompetitor”, tambahnya.
Menurut Hariono, produk speaker tower dan juga garansi lima tahun itu langsung meningkatkan sales. “Garansi all risk, termasuk komponen panel, yang berlaku sampai sekarang “.
Polytron kemudian berinovasi lagi dengan membuat TV LCD yang dilengkapi soundbar. Ini untuk memenuhi keinginan konsumen Indonesia yang suka menonton televisi secara ramai-ramai seperti nonton di bioskop.
” Kalau perangkat seperti itu di merek-merek luar negeri yang terkenal seharga Rp 1,7 juta, Polytron cuma harus menambah Rp 250 ribu saja. Produk itu juga kemudian melejit penjualannya”, tuturnya.

Lemari Es
Kemudian Polytron juga melakukan diversifikasi dengan memproduksi lemari es. Sebenarnya rencana itu sudah dimulai tahun 1998, namun terhalang oleh krisis moneter. Bingung juga waktu itu, jelasnya, karena sudah membeli mesin-mesin dalam dolar AS.

Krismon menjadikan utang berlipat karena kurs naik dari Rp2400/US$ menjadi Rp16.000/US$. Sudah dicoba untuk menjual kembali mesin-mesin itu tetapi tak ada yang beli. Perusahaan waktu itu juga mengurangi karyawan besar-besaran.
“Saat itu Polytron yang dipimpin oleh Pak Chandra Adisusanto menerapkan strategi menahan stock material yang dibeli saat kurs masih rendah dan dijual saat kurs tinggi, strategi ini berhasil menyelamatkan Polytron dari kebangkrutan”.
Upaya lain mengatasi krisis waktu itu, bagian R&D bekerja keras, dan melakukan cost down dengan re-engineering produk televisi dan juga audio. Spesifikasi produk disesuaikan dengan kemampuan daya beli konsumen, power dikurangi, namun tetap memperhatikan kualitas yang diinginkan konsumen.
Ini untuk menyesuaikan situasi pasar yang sudah berbeda, karena dolar sudah tidak bisa kembali lagi ke Rp 2.400. Perlahan pada tahun 2000, Polytron sudah mulai take off lagi dan mulai mendapatkan untung.
Hariono menambahkan, sejak 1994 sebenarnya Polytron juga sudah mengekspor televisi ke Eropa, ke Belanda, Belgia, Prancis, Jerman dan beberapa negara lain. “Kami dapat fasilitas GSP, sehingga terbantu karena produk kami yang masuk ke negara itu tidak dikenai bea masuk”. Waktu itu jumlah ekspor 70 ribu unit per bulan.
Setelah recovery dari krisis, pabrik kulkas kemudian dilanjutkan lagi. Lalu mulai dicari fitur apa yang sesuai dengan selera pasar. Yang pertama diluncurkan adalah kulkas ramah lingkungan.
Kulkas itu pakai refrigeran R600, yang dinginnya lebih cepat, hemat listrik dan ramah lingkungan.

Kemudian meluncurkan lagi produk kulkas hot and cool. Kompartemen di atas bisa digunakan untuk menghangatkan makanan, dengan memakai energi panas yang dilepas oleh proses pendinginan kulkas.
Respon pasar juga sangat bagus, terutama di saat puasa dan Lebaran. “Bisa dipakai manasi opor”, ucapnya. Kulkas hot and cool ini bahkan kemudian mendapatkan penghargaan dari MURI.
Untuk kulkas kemudian Polytron juga membuat yang pintunya dari kaca, sehingga bisa diberi gambar apa saja. Produk ini sangat sukses, sehingga market share kulkas satu pintu bisa meraih 40 persen.
Kulkas ini memiliki tampilan yang menarik, glossy, dan indah serta bisa untuk bercermin juga. “Yang beli kulkas itu biasanya ibu-ibu yang memang suka yang indah-indah, misal gambar bunga atau yang lainnya”.
Di produk kulkas juga ada inovasi produk dimana ada vacuum kompartemennya, agar makanan bisa awet.
Tanggung Jawab R&D
Inovasi terus menerus ini memang menjadi tanggung jawab dan peran bagian R&D, untuk memberikan solusi terhadap produk-produk yang kemungkinan ada masalah. Juga untuk menjawab kebutuhan konsumen.
Misal televisi berwarna yang butuh energi besar yang sulit pakai aki, maka R&D harus bisa memberikan solusi terhadap masalah ini.
Diversifikasi lain adalah mesin cuci pada tahun 2005. Polytron meluncurkan mesin cuci hemat energi, yang didukung dengan marketing communication, “sekali cuci listriknya cuma butuh Rp 25 per kg cucian”. Sebagai pendatang baru, mesin cuci ini direspon pasar cukup bagus.
Selain inovasi, marketing communication, Polytron juga mendirikan pusat-pusat servis hingga ke daerah-daerah. Ini yang juga mendukung penjualan produknya.
Selanjutnya dibuatlah mesin cuci otomatis yang single tube. “Kami melihat bahwa mesin cuci otomatis ini punya kelemahan, kalau tekanan air kecil tidak bisa jalan. Padahal ketika itu tekanan air PAM tidak kuat, sehingga orang harus beli pompa air. Lalu kami membuat mesin cuci yang meskipun tekanan air kecil bisa tetap jalan”.


Mengenai ide tentang inovasi produk, di Polytron ada wadahnya, yakni 3I, (Invention, Innovation, dan Improvement). Invention adalah penemuan produk baru, Innovation adalah perubahan fitur atau proses yang signifikan, sedangkan Improvement adalah perubahan-perubahan yang meskipun kecil namun mempunyai nilai yang cukup berarti untuk menaikkan kualitas produk, menghemat / memperlancar proses, bahkan juga menurunkan biaya material / produksi.
Program ini digagas oleh Dwidjaja yang waktu itu sebagai Komisaris PT HIT. Untuk menyemangati para karyawan, perusahaan memberikan perghargaan kepada mereka yang berprestasi dalam usulan 3I dengan besaran yang berbeda sesuai bobot manfaat bagi perusahaan.
“Semua karyawan tanpa memandang jabatan boleh menyampaikan ide-ide dalam inovasi produk ini. Salah satu ide yang mendapat penghargaan adalah kulkas hot and cool. Hadiah bagi karyawan itu bisa berupa jalan-jalan ke Jepang, pergi umroh, dll. Kemudian ada karyawan yang usulannya diwujudkan , kemudian dia meninggal, ayahnya yang diberangkatkan umroh oleh perusahaan “.
Mengenai persaingan dengan produk-produk China yang dijual dengan harga murah, Hariono menegaskan tidak perlu mengikuti permainan harga murah itu. ” Polytron itu kan sudah punya brand image yang baik. Nah mestinya ada trust dari pasar terhadap produk kami”. Apalagi ditambah dengan kemudahan dalam pelayanan servis.


Itu dibuktikan oleh survey GFK, dimana market share Polytron itu nomor dua secara nasional, untuk TV LED , dan kulkas satu pintu.
Inovasi lain yang dirambah kemudian adalah produk dispenser dan juga showcase yang cepat dingin. “Setiap produk kami usahakan memiliki keunikan, supaya marketing-nya gampang”.
Untuk showcase ini Polytron, menurut Hariono, menjadi nomor satu dalam market share. Sementara untuk dispenser, dibuat dengan galon di bawah yang dipermudah dengan adanya tatakan beroda . Jadi orang tak perlu lagi menggeser untuk memasukkan galon air. “Ini memudahkan ibu-ibu mengganti sendiri galon air”.
Polytron kemudian masuk ke produk handphone. Pada awalnya handphone dengan fitur standar yang waktu itu sudah cukup lumayan penjualannya. Sayangnya pada saat bersamaan masuk Xiaomi, yang melakukan penjualan dengan harga dumping.
“Karena tidak bisa bersaing, akhirnya kami give up pada tahun 2018, setelah masuk pertama ke pasar handphone ini pada tahun 2012. Bukan hanya persoalan harga, namun juga perkembangan teknologinya cepat sekali. Kami terus terang tidak bisa mengikuti”, tuturnya.
Polytron kemudian juga masuk ke produk air conditioner (AC). Tapi memang tidak mudah masuk ke pasar ini. Beda dengan audio, AC kalau sudah dibeli dan kemudian diinstal tak bisa dikembalikan.
Di produk ini sebenarnya Polytron membuat AC yang cepat dingin. Bahkan pernah ada demo dibandingkan merek lain untuk kecepatan dinginnya. Ini pun disertai dengan garansi, “tidak dingin uang kembali ” dan servis yang baik. Ada sekitar 60 service center yang didirikan untuk produk-produk Polytron.
Kemudian juga membuat AC yang bisa dikontrol dengan handphone. “Jadi selama perjalanan pulang ke rumah, AC di kamar bisa dihidupkan lebih dulu”.
Produk lain adalah rice cooker, oven, dan bahkan masker pun juga pernah dirambah Polytron. Tetapi masker berhenti produksi, karena orang sudah tidak terlalu butuh.
Disrupsi
Di masa disrupsi ini, teknologi berkembang cepat, satu teknologi baru menggantikan bahkan mematikan teknologi yang sebelumnya. Produk audio juga mulai tergerus oleh handphone. Kamera juga mati oleh teknologi baru yang disematkan di handphone.
Hariono mengungkapkan bahwa perkembangan seperti itu harus diantisipasi oleh Polytron. “Kita harus melihat bisnis apa saja di masa depan yang masih bisa jalan dan panjang umurnya”. Tidak bisa lagi mengandalkan produk saat ini yang pasarnya cenderung stagnan, selain itu harga produk China yang dijual lebih murah dari televisi Polytron menambah persaingan yang lebih berat di bisnis ini.
Oleh karena itu tahun 2019 Hariono mengusulkan kepada pemilik untuk masuk ke bisnis masa depan yang lebih prospektif seperti electric vehicle atau kendaraan listrik”.
Menyambut kemungkinan pembatasan produksi kendaraan berbahan bakar bensin, dan juga karena butuh waktu untuk membangun brand di bidang EV, maka Polytron mulai memproduksi sepeda motor listrik.
“Sepeda motor kami ini unik. Biasanya Motor listrik itu yang mahal baterenya , sehingga supaya di pasar bisa bersaing, Polytron menjual motor tanpa batere , sementara baterenya disewakan dengan ongkos sewa yang reasonable”.
Dengan sistem sewa ini pemilik motor listrik bisa lebih menghemat dibandingkan jika pakai motor bensin. Dalam hitungannya, biaya energi motor listrik per km butuh Rp 40, sementara motor bensin Rp 200. Jadi ada perbedaan Rp 160. “Kalau sebulan pakai 1000 km, kan sudah Rp 160.000”, tambahnya.
Selain itu motor listrik juga lebih murah dalam maintenance. ” Kan tidak perlu oli mesin segala. Kalau dihitung savingnya bisa Rp 60.000 per bulan. Kumulatif bisa menghemat Rp 220.000. Sewa batere Rp 200.000″, tutur Hariono. Semakin banyak dipakai, penghematan semakin besar seperti untuk ojol.
Motor Polytron juga merupakan smart EV, yang memiliki connectivity, dan ada GPS-nya. “Kalau diambil orang bisa diketahui posisinya. Tapi baru mau nyuri juga susah karena ada pengamannya . Motor ini kalau digerakkan saat dilock oleh pemiliknya akan mengunci dan alarmnya berbunyi. Jadi kalau yang membuka kuncinya bukan yang punya ya tidak bisa”, jelasnya.
Dan harganya cukup murah. Sebagai perbandingan, merek lain dengan spesifikasi yang sama dijual seharga Rp 50 juta, motor Polytron ini hanya Rp 18.5 juta order off the road. “Dan ini bukan seperti motor lain, yang Fox-R sekelas Yamaha N-Max itu powernya 3000 watt, kecepatan maksimum 90km/H dan jarak tempuh maksimum sekali charge adalah 130km. Kemudian yang gede, Trax itu kecepatan maksimum bisa 130 km per jam”.
Semua capaian Polytron itu diraih dengan core value yang selama ini dikembangkan di dalam perusahaan. Yang pertama, adalah fokus kepada pelanggan. “Kepuasan pelanggan kami utamakan, karena pelanggan lah yang memberikan penghasilan untuk perusahaan”.
Nilai-nilai lain adalah profesionalisme, sebagai sebuah keluarga, dan memiliki kepedulian sosial pada lingkungan yang diwujudkan dalam CSR untuk bantuan bencana, bea siswa pendidikan, dan lain-lain, yang disalurkan lewat Djarum Foundation.
Polytron juga mengembangkan organisasi yang terus belajar. Mulai dari rekrutmen dari perguruan-perguruan tinggi, seperti UGM, BINUS, ITS, dll . Mereka mengirimkan mahasiswanya untuk magang 6 bulan atau satu tahun di Polytron.
Dari situ bisa dipantau mana yang memang pantas untuk direkrut sebagai karyawan. Hal ini tentu berbeda hasilnya jika dilakukan dengan pelamar datang dan dites. “Setelah direkrut tentu ada pelatihan-pelatihan. Kami ada Polytron Learning Centre. Yang paling penting adalah mengenalkan budaya perusahaan, agar ke depan sesuai dengan budaya perusahaan”.
Ketiga, adalah kemauan untuk berubah, karena lingkungan bisnis selalu berubah. “Kami harus beradaptasi dengan perubahan. Misal toko-toko yang berubah, tadinya cuma toko tradisional yang dijaga pemiliknya, lalu jadi besar dan jadi modern outlet dan kemudian juga berubah menjadi transaksi online”.
Keempat, selalu mengikuti perubahan teknologi, misalnya, produk audio yang tadinya pakai kaset berubah menjadi CD, kemudian sekarang berubah menjadi flash disk atau pakai HP lewat bluetooth.
Lalu Kelima, mengembangkan kreativitas dalam marketing communications, agar tepat sasaran dalam mengenalkan produk kepada konsumen. Dan Keenam, adalah pendirian jaringan customer service yang mudah dijangkau oleh konsumen.
Di akhir pembicaraan, Hariono menegaskan bahwa kunci sukses Polytron adalah inovasi yang disesuaikan dengan local needs. Kecepatan merealisasikan inovasi tersebut juga sangat dibutuhkan. (BP)