8 October 2024
Home / Education / Elisabeth Philip, Sosok di Balik SMK Bagimu Negeriku yang Gratiskan Semua Siswa

Elisabeth Philip, Sosok di Balik SMK Bagimu Negeriku yang Gratiskan Semua Siswa

SMK Bagimu Negeriku di Palirraya, Kedungpane, Semarang memang salah satu sekolah kejuruan yang luar biasa. Sekolah ini mendidik siswa miskin supaya terampil dan langsung bisa kerja, dan yang luar biasa semua siswa tidak membayar alias gratis. Baik biaya sekolah, tempat tinggal di asrama maupun untuk konsumsi sehari-hari.

Kepala sekolah Christianus Dwi Estafianto mengungkapkan, SMK yang dikelola di bawah Yayasan Perhimpunan Bagimu Negeriku, Semarang, Jawa Tengah ini menerima siswa kurang mampu, tanpa mengenal suku, golongan maupun agama. Para siswa berasal dari sejumlah daerah di Indonesia.

SMK Bagimu Negeriku memiliki 5 program pendidikan, meliputi keahlian teknik kendaraan ringan, teknik multi media, teknik rekayasa perangkat lunak, teknik konstruksi batu beton, serta jasa boga.

Selain guru-guru reguler, sekolah ini juga mendatangkan guru-guru tamu yang ahli di bidangnya. Saat tim Padmanews berkunjung ke SMK itu, pemenang MasterChef Indonesia Musim Kedua Desi Trisnawati sedang mengajar siswa tata boga.

Tak hanya mengajarkan cara memasak, Desi juga mengajari bagaimana cara dan biaya yang seefisien mungkin dari setiap resep masakan. Ini sangat penting, mengingat para siswa nantinya diharapkan bisa berbisnis kuliner dengan benar dan sukses. Tentu kehadiran Desi bermanfaat besar dan para siswa terlihat sangat intens menyimak pengajarannya.

Jajaran pimpinan SMK Bagimu Negeriku
Studi praktik adalah kawah Candradimuka siswa SMK Bagimu Negeriku di jurusan BKP (Bisnis Konstruksi & Properti).
Fasilitas yang lengkap dan mumpuni jurusan Multimedia.

SMK ini juga melengkapi aktivitas siswa dengan fasilitas dapur yang setara restoran berkelas. Kemudian ada bengkel untuk pekerjaan konstruksi beton, bengkel mobil, dan laboratorium multimedia media yang dilengkapi dengan perangkat komputer terkini. Selain tentu saja bangunan sekolah dan asrama untuk para siswa.

Sosok Pendiri

Di balik semua sumbangsih dan kinerja SMK Bagimu Negeriku itu sebenarnya ada sosok wanita yang menginspirasi, menjadi pendiri dan kemudian menjadi pengampu sekolah tersebut. Dia adalah Elisabeth Philip. Berpembawaan riang, bercerita dengan runtut, orang tak akan sadar sedang berbicara dengan wanita yang kehilangan penglihatannya.

Elisabeth mengisahkan, dirinya dulu anak keluarga miskin dan tidak mampu sekolah. Namun ketika sudah mulai bekerja dan punya uang, ia kemudian menyekolahkan anak tukang jual kelapa, kopyor dan siwalan yang lewat di kampungnya di Peterongan Sari, Semarang. Juga anak tukang jual kacang ijo.

Kemudian karena pekerjaannya, Elis pergi ke banyak pelosok di Indonesia, di antaranya Dumai, Riau, Papua, Jambi dan masuk ke pedalaman, ke Kupang, Kalimantan dan sebagainya. Kalau ketemu anak di pedalaman, mereka sering mengeluh, “Bu Elisabeth, apa yang bisa sekolah itu hanya anak kota dan orang kaya saja? terus nasib kami yang di pedalaman bagaimana? Kami juga ingin bersekolah”.

Hati Elis tergerak, ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar memberi berkah-Nya atas keinginan mendirikan sekolah guna menampung anak anak miskin dari pedalaman.

Sejak awal memang itulah misi Elisabeth, sehingga ketika di kemudian hari ada yang mengusulkan supaya sekolah punya dana perlu subsidi silang dan memberi kesempatan anak anak orang kaya ikut belajar di sekolah itu, Elisabeth tidak setuju.

“Kalau kita berikan ijin anak kaya ikut sekolah, padahal setiap angkatan kita cuma terima 150 anak dan berarti cuma 30 anak tiap kelas, bagaimana kita segera mengentaskan anak- anak dari pedalaman?”

Elisabeth kemudian tetap bertahan, meski bantuan dari donatur mepet dan hanya bisa untuk menggaji guru, karyawan, serta memberi makan 400 anak, sehari tiga kali. Sehingga tidak ada kelebihan untuk upgrade peralatan di sekolah, terutama komputer.

Yang penting, tambahnya, karakter para siswa itu terbentuk lebih dahulu. Dan ternyata kemudian sekolah mulai memenangi banyak lomba, misal lomba paduan suara. “Anak anak daerah dari Sabang sampai Merauke itu suaranya kayak malaikat, bagus bagus. Jadi kalau lomba selalu menang”.

Olah raga pun berprestasi, baik di lari maupun lompat. Anak anak Papua sangat aktif, sehingga biasa menghabiskan energi dengan keliling banyak kali di perumahan BSB.

Kemudian dalam bidang komputer, juga meraih berbagai penghargaan. Dengan peralatan komputer yang sudah ketinggalan meraih juara harapan. Pernah pula anak anak angkatan pertama  juara kedua dalam lomba website di Universitas Gadjah Mada.

Dikatakannya, anak dari Lampung bisa membangun tembok secara lurus, padahal tidak memakai alat. Jurinya sampai bilang, “Kamu bisa bikin tembok lurus walau tidak pakai alat. Kalau pakai alat tentu kamu lebih hebat”.

Sebenarnya di awal awal para guru sempat putus asa menghadapi para siswa ini. Lalu dikatakan oleh Elisabeth, kalau kalian mengajari siswa yang sudah pandai dan keluar menjadi pandai, yang hebat bukan gurunya tetapi karena memang siswa itu sudah pandai. Murid bagaikan batu hitam bisa jadi batu permata yang indah, itu baru gurunya hebat danTuhan dipermuliakan.

Pembantu Tuhan

Elisabeth mengisahkan di awal ia membeli lahan sekolah seluas hampir 1,4 hektare, masih tersisa uang Rp 10 juta. Dengan uang 10 juta itu, Elisabeth dan suami mulai membangun sekolah, dan ternyata uang 10 juta itu gak kemana-mana. Untuk menguruk tanah dan pagar bumi saja tidak cukup.

Siswa sedang praktik di jurusan TKRO ( Teknik Kendaraan Ringan Otomotif )

“Tapi Tuhan itu luar biasa. Saya berprinsip begini, Tuhan itu majikan kita. Tidak ada ceritanya pembantu mencarikan uang buat majikan. Jadi kalau Tuhan izinkan aku membangun sekolah ini, berarti Tuhan yang menyediakan uang buat saya”.

Elisabeth menegaskan dirinya tak pernah meminta, tidak pernah bikin proposal, dan uang datang lewat donasi. “Tuhan memang luar biasa. Sekarang saya kalau duduk di sekolah ini masih bengong, akhirnya jadi lho Rp 49 miliar (sekolah ini)”, tuturnya.

Mendapatkan uang Rp 50 ribu dia belikan semen, dapat Rp 100 ribu dibelikan pasir dan seterusnya setiap ada uang donasi datang ia belikan kebutuhan pembangunan. Akhirnya jadi juga sekolah itu. “Yang ngasi 100 juta ada, 300 juta ada, yang ngasi satu miliar juga ada. Tapi yang ngasi 50 ribu 100 ribu memang buaanyak banget hahaha”.

Kenapa memakai nama SMK Bagimu Negeriku? Karena menurut Elisabeth ia dilahirkan di Indonesia dan kedua, sudah menjadi kewajibannya pula untuk menyejahterakan kota tempat dia tinggal. Ia juga tidak berkeinginan untuk menggunakan nama sekolah Kristen, karena ia menerima semua anak miskin dari semua suku dan agama.

“Saya juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa anak anak negeri ini juga pintar pintar”, tambahnya. Terbukti lulusan sekolah ini ada yang dapat bea siswa di Beijing yakni siswa dari Timika, lalu ada dari Sorong yang dapat lisence untuk sepak bola FIFA di Finlandia, ada yang kerja di Spanyol, ada juga 13 anak yang kerja di Jepang dan kemudian mendapat bea siswa.

Elisabeth tak menyangka bahwa anak anak yang pernah sekolah di SMK Bagimu Negeriku akhirnya tersebar ke berbagai penjuru dunia. Padahal semula dianggap di kelas ada anak yang plonga plongo, tapi ternyata kemudian menjadi berprestasi hingga diincar Korea Selatan dan Singapura.

Lalu ada anak datang berpenyakit TBC, yang tadinya disarankan untuk dipulangkan. Namun Elisabeth berkeras untuk mengasuh sendiri anak itu. Ia lalu memotivasi anak tersebut bahwa dirinya bisa sembuh dan memiliki hari esok yang penuh pengharapan. “Sekarang anak itu jadi guru dansa yang hebat di Jayapura untuk cheerleader”, tuturnya.

Elisabeth mengungkapkan, melihat kerja dia kepada anak anak ini ada saja yang datang menyumbang, baik perorangan, perusahaan, maupun institusi. Setiap tahun perusahaan sepatu menyumbang sepatu buat anak anak, demikian juga perusahaan sandal. “Seragam sekolah itu juga ada yang menyumbang”.

Namun ia juga tegas menolak jika ada sumbangan yang persyaratannya tak sesuai. Pernah Freeport mengirim sepuluh anak, namun perusahaan itu minta setiap setengah tahun kesepuluh anak itu dibelikan baju dan sepatu baru. “Terpaksa saya tolak, karena kan kasihan anak anak yang lain kalau yang dibelikan cuma sepuluh anak ini”.

Elisabeth merasakan betul selama mengelola sekolah ini bantuan Tuhan selalu datang. Itulah sebabnya ia berkeyakinan pantang untuk meminta. Pernah kedatangan tamu Primadi dari Djarum yang menanyakan butuh apa? Elisabeth hanya bisa tertawa. Rekan rekan sampai menegur dia, ditawari kok malah gak mau minta. “Namun ketika mau pulang Pak Primadi bilang, Bu Elis saya percaya sekolah ini satu kali pasti berhasil”.

Siswa-siswa sedang praktik di jurusan RPL (Rekayasa Perangkat Lunak)

Dalam proses pembangunan suatu kali ada tagihan Rp 1 miliar, Elisabeth dengan tenang mengatakan kepada suaminya, “Uangnya masih dalam perjalanan, Senin nanti ya. Jumat sore ada telepon dari bank, Bu Elis ada transfer masuk Rp 1 miliar. Senin saya sama kontraktor sekolah, Bu Linda ke bank, dan uang saya serahkan dia”.

Berulangkali peristiwa membuatnya yakin akan bantuan Tuhan. Pernah ketika anak anak sudah berdatangan, sekolah belum rampung. Ada kebutuhan untuk membuat wastafel. Elisabeth hanya tenang dan yakin bahwa bantuan Tuhan akan datang.

“Siang hari ada telepon dari bank mengabarkan, ‘Bu Elis, ada transfer masuk Rp 214 juta’. Saya ambil Rp 200 juta dan saya kasi suami sama pemborong untuk beli wastafel. Sementara sisanya untuk bayar tukang”.

Suatu ketika sekolah ingin melengkapi komputer dengan yang terbaru. Setelah dihitung kebutuhan semua sekitar Rp 2 miliar. Bingung duitnya darimana, seorang pengurus yayasan bilang ke Elisabeth, “Tante, apa kita kredit ke bank ya? Saya bilang oh tidak. Sekolah ini berdiri bukan karena kekuatan manusia, tetapi karena anugerah Tuhan. Saya tak pernah meminjam uang”.

Elisabeth kemudian mengajak mereka berdoa. Ia kemudian juga memulai membeli dengan uangnya sendiri dua komputer yang seharga Rp 35 juta. Adiknya ikut menyumbang dua unit, kemudian teman teman lain ikut. Pada akhirnya sekarang terpenuhi komputer yang Rp 35 juta 25 unit, yang Rp 15 juta ada 16 unit.

Ada cerita di balik terpenuhinya kebutuhan komputer itu. Seorang anak kecil datang ke Elisabeth dan memberikan uang Rp 100 ribu sambil bilang, “Oma ini aku punya uang seratus ribu bisa dipakai Oma ya”.

Batin Elisabeth waktu itu, dia butuh Rp 2 miliar tapi yang dia terima kok cuma 100 ribu rupiah. Namun Elisabeth tetap mengucapkan syukur atas rejeki dari anak kecil itu, dan kemudian ternyata kebutuhan untuk pembelian komputer terpenuhi, bahkan lebih dari cukup.

Elisabeth mengisahkan kenapa ia tetap mensyukuri uang dari anak kecil. Ketika tahun 1992 ia buta karena terjatuh, Elisabeth hendak dibawa berobat ke Jerman. Butuh setidaknya Rp 100 juta untuk berobat ke sana. Seorang anak kecil datang ke Elisabeth dan bilang, “Oma ini Indira punya uang Rp 50 ribu buat sangu Oma ya”.

Siswa-siswa sedang praktik di jurusan TB (Tata Boga)

Dalam hati Elisabeth muncul suara untuk mensyukuri uang sedikit yang diberikan anak itu. Dan ternyata berkat kemudian datang, uang terkumpul Rp 100 juta lebih. Maka tahun 1993 berangkatlah Elisabeth diantar suami dan beberapa teman.

Ternyata dokter tidak mengoperasi, karena dianggap berbahaya. Dikatakan bola mata Elisabeth bakal mengering, bahkan diprediksi umur Elisabeth hanya tinggal lima tahun saja.

Elisabeth hanya senyum senyum saja. “Saya pikir profesor juga manusia. Dan ternyata kemudian teman saya yang mengantar meninggal duluan. Suami saya juga meninggal karena jatuh. Saya sampai saat ini baik baik saja”, ucapnya.

Pernah terjadi tidak ada dana di kas yayasan, sehingga tidak dimungkinkan sekolah untuk memberi gaji ke-13 menjelang Lebaran. Para guru dan karyawan pun sudah ikhlas, karena selama pandemi sekolah memang tidak memotong gaji mereka.

Elisabeth yang merasa kasihan kepada mereka  kemudian berdoa, dan ternyata kemudian ada dana masuk. Semula para pengurus yayasan tidak berniat membagikan mengingat para karyawan sudah ikhlas. Namun di hati Elisabeth muncul suara supaya tidak menahan hak orang. Ketika pengurus yayasan masih khawatir soal kas buat gaji buat bulan depan, di hati Elisabeth muncul lagi pengingat, “kesusahan sehari cukup sehari, bulan depan ada urusannya sendiri”.

Akhirnya semua bersuka cita karena THR jadi dibagikan. Elisabeth meyakini kalau sekarang Tuhan membantu, maka di waktu mendatang juga akan dibantu. “Dan ternyata benar, kami dapat CSR dari sebuah perusahaan sebesar Rp 1,8 miliar”.

Di sinilah Elisabeth merasakan kebaikan Tuhan, yang selalu membantu dirinya. “Bagi banyak orang kayaknya ini impossible, tapi nyatanya yang tidak bisa menjadi bisa”. Itulah sebabnya Elisabeth selalu bersyukur, karena dengan bersyukur hal itu mendatangkan berkat Tuhan. (bp)