Lelaki berkumis itu begitu ramah menyambut kami. Senyumnya merekah. Tegur sapanya hangat, semanak, dan membuat kami sebagai tamu jadi betah. Ya, lelaki itu bernama Edi Sunaryo. Dia terbilang sebagai seniman senior dan pensiunan dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (FSR ISI Yogyakarta). Wajahnya masih segar sumringah meski usianya sudah hendak menjejak pada angka 69 di tahun ini (kelahiran 4 September 1951).
Kami diterima di rumah kedua Edi Sunaryo di kawasan Perumahan Sidoarum, Sidoagung, Sleman, Yogyakarta. Jarak antara rumah pertama dan kedua hanya sekitar 25 meter. “Kita ngobrol di sini saja ya. Lebih bebas kalau kita mau teriak atau tertawa keras-keras,” tuturnya sembari mengulas senyum. Rumah utama itu berupa pendapa berdinding yang telah dimodifikasi di sana-sini. Banyak karya seni seperti lukisan, grafis, patung dan lainnya bertebar di seantero bangunan. Rumah utama dihubungkan dengan bangunan lain, dua lantai, di bagian belakang. Ada kolam ikan kecil di dalam rumah itu. Semuanya berdiri di atas tanah seluas 230 meter persegi. Tanah itu sendiri dibelinya pada tahun 1998, cipratan rezeki dari larisnya penjualan karya seni saat ada booming seni rupa tahun-tahun itu.
Hidupnya dirasakan lebih santai setelah memasuki pensiun. Masa pensiun telah dijalani 4 tahun lalu, tahun 2016, setelah mengabdi sebagai dosen di almamaternya sejak tahun 1980—beberapa waktu serampung dia kuliah S1. Waktunya kini tetap dilimpahkan untuk berkarya seni. Dalam porsi waktu yang seimbang, tentu saja—bersama istri tercinta, Setyowati—momong cucu-cucunya dari ketiga putra-putrinya: Dona, Brian, dan Ajeng.
Menjadi seniman seni rupa, bagi Edi, adalah bagian dari imajinasinya sejak usia dini. Sang kakek, Mbah Sarpan—seorang penginjil dan petani ‘utun’—adalah salah satu sosok penting yang mengajarkan tentang relijiusitas Kristen sekaligus keindahan. Ayahnya, Insuwandi, seorang anggota polisi, langsung atau tak langsung mengajarkan tentang pentingnya kedisiplinan. Sementara sang ibunda, Sayekti, adalah seorang pendongeng yang selalu mengajarkan dan mengingatkan soal cinta kasih, dosa dan tabu. Dari situlah bibit-bibit yang mengantarkan Edi untuk mencintai keindahan, seni, hingga kelak—bertahun-tahun kemudian—memilih kuliah di seni rupa, dan akhirnya menjadi seniman hingga kini.
***
Atmosfir Idealisme
Sebagai tuan rumah, Edi Sunaryo adalah seorang pencerita yang baik dan hangat. Berbagai kisah, pahit dan manis, suka dan duka, ditebarkan nyaris tanpa tedheng aling-aling. Terbuka. Dan tugas redaksi Padmanews-lah yang mesti bijak untuk memilah untuk dinarasikan kembali.
Pilihan untuk menjadi seniman, tutur Edi, bukan hal mudah. Banyak proses dan pengalaman dilaluinya. Awalnya dia mendaftar masuk AKABRI. Tapi tidak diterima. Dia merasakan memang bukan di situ ruang yang cocok baginya. Maka, kemudian, masuklah Edi ke ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, kini bernama Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta). Namanya lolos sebagai mahasiswa ASRI angkatan (masuk) tahun 1972. Teman-teman seangkatannya antara lain seniman Nisan Kristiyanto, Godod Sutedja, Sutopo, dan lainnya.
Masa-masa kuliah di ASRI menjadi salah satu masa paling menyenangkan untuk dikenangnya. Kampus itu seperti “kawah Candradimuka” baginya untuk menggembleng dan menempa diri sebagai (calon) seniman dan manusia dengan berbagai dimensinya.
Para dosen yang mengajarnya dulu adalah mereka yang berkelas empu atau maestro dalam peta seni rupa Indonesia. Sebut saja misalnya Widayat, Fadjar Sidik, Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno hingga Suwadji, dan lainnya. Belum lagi maestro Affandi sesekali bertandang ke studio kampus lalu berdiskusi dengan dosen dan mahasiswa.
Pun dengan romo Dick Hartoko yang mengajar filsafat seni dan kebudayaan di ASRI. Juga ada romo de Bolt dan sastrawan Darmanto Jatman mengampu mata kuliah lainnya. Sosok-sosok tersebut memberi pembelajaran penting dalam dasar-dasar berseni rupa.
Masih dalam lingkungan kampus, Edi merasakan atmosfir penalaran dan kreativitas yang mengayakan dirinya. Kakak-kakak kelasnya turut memberi penguatan proses kreatifnya. “Hardi dan Nanik Mirna itu dua di antara kakak kelas yang paling sering mengritik habis karya-karya saya dan seangkatan saya. Kritik mereka keras. Bahkan terbilang sadis! Tapi itu sangat bermanfaat bagi proses perjalanan kreatif saya sebagai seniman dan dosen,” kenang Edi.
Hardi adalah salah satu seniman muda yang pada pertengahan dasawarsa 1970an ikut dalam GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru) yang menghebohkan jagat seni rupa kala itu. Karya monumental Hardi adalah karya serigrafi (sablon) yang bergambar potret diri Hardi yang dibubuhi tulisan besar “Presiden RI Tahun 2000”. Karya tersebut terbilang keras secara politis waktu itu, ketika rezim Soeharto tengah menguatkan kekuasaannya.
Iklim dan atmosfir kampus yang kondusif untuk dunia kreativitas itu menumbuhkan sosok Edi Sunaryo sebagai calon seniman yang menggenggam penuh idealisme. “Saya lahir dan tumbuh sebagai seniman di situasi yang tidak memikirkan pasar. Cita-cita saya waktu itu adalah menaklukkan TIM (Taman Ismail Marzuki),” kenang Edi.
Ya, pada kurun waktu 1970-an hingga akhir 1980-an situasi pasar seni rupa masih sepi. Belum hingar-bingar ketimbang dasawarsa berikutnya, hingga kemudian ada booming seni rupa ketika harga karya seni rupa meledak dan banyak bermunculan kolektor seni.
Unik juga bahwa berhasilnya seniman lolos seleksi untuk bisa berpameran (kelompok atau tunggal) di galeri TIM merupakan sebuah pencapaian dan prestasi besar kala itu. Realitas ini tak lepas dari keterbatasan situasi ketika Indonesia masih minim gedung-gedung untuk perhelatan seni rupa. Bisa berpameran di TIM jadi sangat prestisius.
Cita-cita Edi untuk berpameran di TIM dapat tercapai ketika menginjak di usia 26 tahun. Ketika itu, tahun 1977, dia terpilih untuk ikut Pameran Pelukis Muda. Pencapaian itu tidak lepas dari prestasi sebelumnya yang telah direngkuh. Pada tahun 1976 Edi meraih penghargaan Pratisara Affandi Karya, sebuah penghargaan yang diberikan oleh kampus ASRI bagi karya terbaik kreasi mahasiswa.
Penghargaan tersebut mulai ada tahun 1975. Selain tahun 1976, Edi juga mendapatkan (kembali) penghargaan serupa pada tahun 1980. Beda tahun-tahun sesudahnya, kala itu penerima penghargaan itu tidak mendapatkan hadiah berupa uang atau bentuk lain.
“Tapi saya sudah sangat senang. Saya merasa digdaya karena penghargaan itu terasa begitu prestisius…,” kenang Edi. Dia juga merasakan aura yang prestisius ketika ujian skripsi diuji oleh 11 orang dosen—di antaranya pelukis senior Aming Prayitno dan Soebroto Sm. Dia seperti dikeroyok. Sedang saat ujian doktor tahun 2011, Edi diuji oleh 9 orang penguji.
***
Seukuran Bajaj
Pengalaman pameran pertama kali di TIM ternyata menjadi tonggak penting bagi perjalanan kesenimanan Edi. Bukan saja untuk menanamkan reputasi, namun juga pada aspek yang lain, yakni pasar. Untuk pertama kalinya karyanya berpindah tangan ke kolektor.
Tidak tanggung-tanggung, karyanya dikoleksi oleh Alex Papadimitrou—kolektor seni top waktu itu. Alex juga seorang konsultan perbankan asal Yunani yang telah lama menetap di Indonesia. Proses pengkoleksian itu pun tidak mulus. Perkenalan dengan Alex dimediasi oleh sastrawan Ajip Rosidi dan pelukis Nashar yang lebih dulu kenal. Juga bersama Arfial Arsyad, seniman muda (kala itu) yang berpameran bersama Edi di TIM (kemudian menjadi dosen seni rupa di UNS).
Awal-awal pertemuan dengan Alex sangat mengesankan Edi. Ada nasihat yang menancap kuat dalam dokumentasi ingatannya. “Pemain piano yang baik kalau tidak bermain 4 jam saja pasti jari-jarinya kaku. Pelukis pun juga begitu. Kalau jarang melukis, pasti akan kaku. Maka rajinlah melukis. Kalau ada yang baik, kirimkanlah ke saya.” Kalimat yang menyemangati itu diingat betul hingga kini.
Dia terpacu untuk bersemangat dalam berkarya. Lalu, bila ada karya yang menurut Edi bagus, langsung dibawanya ke Jakarta untuk ditawarkan pada Alex. “Karena ada keterbatasan, maka ukuran karya yang saya bawa ya yang bisa masuk dalam bajaj, hahaha…” kenang Edi sembari tergelak.
Suatu ketika Edi membawa beberapa karya ke Jakarta. Dari Jogja naik kereta senja, dan tiba di stasiun Gambir, Jakarta, saat subuh. Pagi-pagi sekali. Secepatnya dia menumpang bajaj menuju ke kediaman Alex. Sampai di sana—karena terlalu pagi—pintu rumah masih ditutup.
Namun Edi tidak sendirian. Di depan rumah Alex, sepagi itu, sudah ada mobil yang membawa lukisan dan hendak ditawarkan pada sang tuan rumah. Mobil itu datang dari Bandung. Dan seniman yang membawa karya-karya itu adalah: Hendra Gunawan, salah satu seniman old master Indonesia. Edi kaget. Tapi juga gembira. Karena pagi itu bisa ngobrol banyak dan mendapat “kuliah subuh” tentang kesenian bersama seorang maestro seni rupa Indonesia. Dia jadi bisa belajar bahwa perjuangan untuk menjadi seniman besar pun sungguh tak mudah. Mereka ngobrol hingga kemudian pintu rumah Alex dibukakan persis pukul 07.00 WIB.
Bertahun-tahun kemudian Edi mendapatkan kebanggaan ketika suatu hari kembali bertandang ke rumah Alex. Pada salah satu tembok, matanya nanar menyaksikan lukisan karyanya berdampingan dengan karya Hendra Gunawan.
***
Ruang Kosong
Seiring alur waktu, perjalanan kreatif Edi Sunaryo begitu larut. Idealisme yang dikukuhinya saat mahasiswa lambat laun berbuah. Karyanya tidak sekadar diapresiasi dalam pewacanaan, namun juga dalam aspek pasar. Karya-karya menarik perhatian publik. Dan Citra Primitif menjadi salah satu tema dan serial karyanya yang paling dikenal para kritisi seni dan masyarakat. Para pecinta seni pun banyak berburu untuk mengoleksi karya serial ini.
Pencapaian atas tema ini muncul jauh setelah Edi menjadi dosen di almamaternya. Ketertarikannya pada citra primitif yang ada di Afrika, Papua, dan kawasan lain menjadi sumber gagasan awalnya. Dia kagum pada unsur titik, garis, meander, dan lainnya, yang dalam karya primitif menjadi simbol penuh makna.
Ketika menyaksikan unsur visual tersebut, Edi merasakan nilai relijiusitas dan spiritualitas pada karya primitif terasa tinggi. Edi pernah menyaksikan sebuah pameran seni di Indonesia dari karya para seniman China. Karya-karya itu mengagumkan baginya. “Saya merasakan aura karya itu ada dan dalam,” katanya. Itu juga dirasakannya bila mengamati relief dan ornamen di tubuh candi.
Begitulah. Karya bertema Citra Primitif itu ditekuninya hingga sekitar 10an tahun. Entah sudah berapa karya yang dihasilkannya dengan menggali serial itu. Ndilalah, kebetulan, respon publik dan pasar pun baik terhadap serial karya itu. Apapun karyanya yang dibuat, dengan segera bisa terkoleksi oleh pasar.
Pada situasi inilah Edi merasakan masuk di zona nyaman (comfort zone) secara ekonomi. Tapi pelan-pelan terasa menelusup di zona rawan secara kreatif. “Saya merasakan bahwa karya-karya saya itu kini sekadar hiasan. Kedalaman spiritualitasnya kurang. Hanya mengandalkan komposisi, tekstur, kerok dan lain-lain, yang berbau teknik saja,” kenangnya.
Edi merasakan kejenuhan. Di sisi lain, dia juga sedang merancang sebuah pameran tunggal. Dia ingin sesuatu yang berbeda. Sebagai salah satu langkah solusi, maka berkunjunglah bapak tiga anak ini ke kediaman dokter Oei Hong Djien, seorang kolektor seni ternama di Magelang. Namanya sering disingkat sebagai OHD. Edi lupa waktu persisnya, tapi kira-kira sebelum tahun 1998—sebelum booming seni rupa datang. Di samping berkonsultasi soal perkembangan karyanya, dia juga mulai melobi agar kelak pak OHD diharapkan bisa membuka pameran tunggalnya di Jakarta.
OHD mau membuka pameran Edi. Tapi ada syaratnya, yakni karya-karya Edi harus berubah. Permintaan ini seperti menampar mukanya. Ini sebuah kritik halus untuknya. OHD sebagai apresian, mungkin, merasakan kemandegan pada perkembangan karya Edi. Maka sang kolektor itu memberikan buku-buku seni rupa untuk sang seniman sebagai bahan referensi.
“Karyamu terlalu penuh, Ed. Aspek ruang kosong nyaris tidak ada. Perlu ruang kosong 30%, dan ruang padat penuh warna dan bentuk 70%,” tutur Edi menirukan kalimat OHD. Edi pun tergugah. Dia minta waktu sekitar 2 bulan untuk berproses dan mencoba bertransformasi.
***
“Menitipkan” Cat dan Kanvas
Pergolakan batin itu pun terjadi. Ibarat terbiasa makan nasi, sekarang tiba-tiba harus memamah kentang. Pasti tidak mudah. Namun zona nyaman harus diakhiri. Setelah 2 bulan, Edi mampu menuntaskan 5 karya. Dia datang kembali ke rumah OHD, tapi hanya 3 karya yang dibawanya. Kali ini didampingi anak dan istrinya. “Ini strategi, biar OHD terharu…,” ujarnya sambil tergelak keras. Dia mengingat cerita Hendra Gunawan puluhan tahun lalu yang sesekali membawa istri dan anaknya agar sang kolektor jatuh iba dan lalu mengoleksi karya. Ini diungkapkan Edi, antara serius dan bercanda.
“Whhaaaa… Ini beda, Ed! Apik, Ed! Ini yang saya inginkan” OHD tampak terkejut dan gembira dengan perubahan karya Edi. Tampaknya perjuangannya beberapa bulan itu berbuah. Apakah OHD merespons dengan mengoleksi karyanya waktu itu? Ya, lewat pertimbangan dan masukan dari anak OHD, kolektor itu lalu mengoleksi 1 karya Edi. “Itu juga berkat doa anak dan istri yang saya ajak untuk mendampingi…,” katanya sambil terkekeh. Satu karya terkoleksi, dan karya lainnya berusaha keras untuk disimpan. “Ini menjadi patokan atau barometer bagi perkembangan karya saya yang sesekali akan saya atau orang lain lihat.”
Sepulang dari kediaman OHD, Edi terasa memperoleh energi tambahan yang besar. Dia teruskan berkarya dengan tema dan pilihan kreatif berbeda dari serial sebelumnya, Citra Primitif. Enam bulan berlalu setelah tantangan OHD, Edi bertandang lagi. Kali ini 10 lukisan baru dibawanya. Edi siap menantang untuk berpameran tunggal, dan OHD ditagihnya kembali untuk membuka pameran tersebut.
Deal! Akhirnya dosen yang jadi panutan di almamaternya itu berpameran tunggal pada tahun 2000 di sebuah ruang pajang baru di kawasan perumahan elit, Pondok Indah, Jakarta. Moom Gallery namanya. Milik Cipto, seorang pecinta seni. Sebelum pameran itu, Cipto juga telah mengoleksi 4 karya Edi yang bertema Citra Primitif.
Pameran tunggal itu terbilang sukses. Pengaruh OHD sebagai patron kolektor seni rupa juga berimbas hingga pascapameran itu berakhir. Bangunan wacana yang terbentuk bahwa karya Edi berubah dan menarik telah menjadikannya dikejar banyak orang. Para pecinta seni atau kolektor generasi baru yang belajar mengoleksi seni pada OHD banyak berhamburan mendatangi rumah Edi di Godean.
Beberapa dari mereka bahkan ada yang membujuknya dengan cara agresif, yakni datang sembari “menitipkan” kanvas dan cat berkualitas bagus. “Kalau dituruti tanpa mempertimbangkan idealisme, saya bisa dengan gampang melukis sekadarnya, dan uang Rp 10 juta langsung ada di tangan,” kenangnya. Untung Edi mampu menjaga ruang kehormatan idealismenya dengan mengabaikan tawaran-tawaran tersebut.
***
Mem-branding Diri
Setelah puluhan tahun bergelut sebagai seniman atau perupa, pengalaman pun membentang panjang. Edi merasa bersyukur bahwa dirinya masih bisa berkarya dengan baik, ada imbas ekonomi yang sangat memadai karena pencapaian karyanya. Juga yang penting, mampu membangun jejaring pertemanan dan kekeluargaan dengan berbagai pihak, yang lintas wilayah, lintas sosial, lintas agama, dan lainnya.
Pengalaman itu mengajarkan banyak hal. Temuan atas tema atau serial baru dalam karya, misalnya, itu tidak dengan sendirinya akan menutup rapat pada tema lama. Dia sesekali akan hilir mudik kembali berkarya dengan tema lama. Ini juga bagian dari strategi kreatif untuk mengatasi kejumudan dalam berkarya. Pada soal ini, Edi mengaku banyak belajar pada adik kelasnya, seniman Ivan Sagita, yang mampu mengulang-alik tema dan medium karya sebagai alternatif mengatasi kejenuhan.
Di sisi lain Edi juga belajar banyak dari “kekurangan” teman seniman lain. Teman Edi itu, sebut saja Mr. X, punya cita-cita ingin menaklukkan dinding OHD. Dia ingin karya-karyanya bertengger di sana. Suatu ketika ada seorang kolektor dari Jakarta datang ke tempat Edi. Sang kolektor juga ingin diajak ke rumah Mr. X. Setelah sampai di tempat, tanggapan pelukis tadi kurang menarik. Dingin. Sang kolektor yang belum cukup dikenal itu kurang direwes (dipedulikan). Maka kolektor itu batal mengoleksi karya.
“Saya itu bukan hanya beli lukisan, tapi juga ‘mengoleksi’ pribadi seseorang. Kalau saya membeli lukisan dengan respons yg menarik dari pelukis, maka saya akan mengingat-ingat terus karya itu dengan baik. Begitu juga sebaliknya,” gerutu sang kolektor seperti ditirukan Edi. Maka sang kolektor hari itu juga langsung pulang ke Jakarta dengan hati kecewa.
Perca pengalaman itu, bagi Edi, mengingatkan pada ‘kotbah’ dari para ahli marketing, yakni betapa pentingnya seniman mem-branding dan menjadi PR (public relation) bagi dirinya sendiri. Ketika di dalam studio dan bergelut menciptakan karya, maka egoisme seniman sangat diperlukan untuk membangun kekuatan orisinalitas karya yang khas si seniman bersangkutan. Namun ketika berhadapan dengan penonton dan pecinta karya seni, maka tugas seniman untuk meluluhkan egoisme diri dan dituntut untuk mampu mengomunikasikan karyanya dengan bahasa yang secair mungkin. Itulah yang coba terus dilakukan Edi. ***
( Catatan Kuss Indarto )