SEPERTI biasa, senyumnya selalu merekah menyambut siapa pun. Saat datang siang itu, kami “dihadang” dengan rekahan senyum lebar oleh perupa Budi “Ubrux” Haryono di pintu gerbang studio. Tampak tulus senyumnya. Dengan lekas tetamu dipersilakan masuk di studionya yang luas. Sekitar 2.000 meter persegi areal tanahnya, dengan dua bangunan yang serupa bedeng—dan memang tidak diniatkan sebagai rumah tinggal.
Ada dapur dengan segala perkakas ala kadarnya di situ. Ada sebuah kolam kecil berikut benih-benih ikan gurameh yang ditabur di dalamnya—dan bunga-bunga padma yang terapung membentang di atasnya. Sementara rumah tinggal untuk keluarga berjarak sekitar 50 meter dari studio, sama-sama di bilangan Ngotho, Bantul—tak jauh dari persimpangan ringroad selatan dan Jalan Imogiri Barat, Yogyakarta.
Sosok Budi Ubrux adalah salah satu representasi seniman yang meniti kariernya dari titik dasar hingga kemudian meniti tangga-tangga pencapaian tertentu di atas. Mulai dari posisinya sebagai tukang gambar pada sebuah advertising lokal, hingga pada satu titik ketika sebentang karyanya bisa menjadi rebutan para kolektor meski harga karyanya tersebut telah terpatok dengan harga relatif mahal—hingga ratusan juta rupiah.
Ditempa Pengalaman
TAHUN 1988 Budi Ubrux lulus dari SMSR—setelah studi selama 4 tahun (di SMSR waktu itu memang belajar hingga 4 tahun). Seperti pada umumnya teman-teman dari sekolah tersebut, lazimnya mereka melanjutkan studi di FSRD ISI (Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia) Yogyakarta (sekarang namanya jadi FSR saja). Sang ayah menginginkan Budi untuk melanjutkan studi setinggi-tingginya. Namun justru Budi menolaknya. Kebetulan waktu itu ada seorang teman yang menjanjikan akan mengajaknya membuat mural (seni lukis dinding) di Australia. Sebuah tawaran yang menarik, tentu saja. Tapi, apa lacur, ternyata janji tersebut tidak terwujud. Tak ada kabar lanjutannya.
Karena sudah kadung tidak kuliah, dan belum ada aktivitas lain, maka tawaran yang mampir ke dirinya langsung disambar, yakni bekerja di Sanggar Seniman Merdeka, Yogyakarta. Ini adalah salah satu advertising yang salah satu spesialisasinya membuat baliho berukuran besar. Waktu itu penggarapan sebuah karya baliho dibuat secara manual. Pemilik advertising itu adalah Pak Gatot, guru Jurusan Seni Lukis di SMSR Yogyakarta. Dia memang dari awal sudah “mengincar” Budi Ubrux untuk bergabung dalam timnya. Gatot tentu tahu persis kemampuan teknis siswanya itu. Sejak studi di SMSR Budi memang sudah tampak jelas kepiawaian teknisnya dalam melukis yang relatif sudah di atas rata-rata.
Budi Ubrux muda begitu keras ditempa oleh pengalaman pada kurun ini. Sanggar Seniman Merdeka sering mendapat order dari Departemen Penerangan RI pusat untuk membuat baliho kira-kira sebesar lapangan tenis atau bahkan lebih besar lagi. Datangnya order pun tidak jarang mendadak, dan harus selekas mungkin jadi. Alhasil, Budi sebagai salah satu tim ikut mengarus pada ritme kerja yang ketat dan keras di situ. Suatu ketika, kisah Budi, mereka mendapat order melukis baliho di Monas, Jakarta.
“Ketika itu saya senang sekali melukis di halaman Monas yang suasananya panas. Tidak berpikir bagaimana capek, panas atau sakit karenanya. Saya nikmati pekerjaan itu. Saya sering ketiduran di tepi lapangan di halaman Monas di bawah pepohonan,” kenangnya. Pada kesempatan lain—masih bersama Sanggar Seniman Merdeka—Budi Ubrux juga mendapat order untuk membuat poster film yang berukuran tak kalah besarnya. Dia mengaku harus melukiskan figur-figur para aktor dan aktris dalam film yang diorder secara realistik. Waktu yang diberikan hanya 3 sampai 4 hari, dengan kapling berupa kain terpal seluas 5 m x 10 m. Betapa tidak mudahnya…
Uniknya, selang beberapa waktu berikutnya, anak Dlingo ini seperti workhaholic atau gila kerja. Selain bekerja di Sangar Seniman Merdeka, dia—tidak tanggung-tanggung—juga nyambi kerja di perusahaan iklan GMC (Gema Multi Creative) milik temannya, Gepeng atau yang bernama asli Minahul Bari, serta di advertising daVinci yang dikelola oleh anak seniman batik terkenal waktu itu, Amri Yahya. Bisa dibayangkan betapa banyak waktunya tersita di tempat kerja dalam sehari. “Dari pagi hingga siang bekerja di Sanggar Seniman Merdeka di kawasan selatan perempatan Wirobrajan. Siangnya pindah ke daVinci di sebelah timur-utara kampus FSR(D) ISI Yogyakarta di Gampingan. Dan sore hari melaju ke kawasan Sidoarum, Gamping, Sleman, Yogyakarta untuk kerja di GMC,” tutur Budi Ubrux.
Sebuah rutinitas yang begitu menyibukkan bagi Budi Ubrux di usia yang relatif masih muda waktu itu. Apakah dia puas bekerja di lahan itu—hingga di tiga tempat sekaligus? Kalau dalam hitung-hitungan ekonomis finansial relatif itu cukup memuaskannya. Tapi ada dimensi lain yang terasa belum nyambung dengan pengharapannya. Ya, idealismenya. Dia mengaku menghadapi hal yang kontradiktif yang cukup mengganggu ideologi berkeseniannya. Pada satu sisi dia melukis tokoh-tokoh politisi atau pejabat tertentu dalam baliho berukuran besar. Namun pada sisi lain, dalam realitas yang sesungguhnya dia menemukan dalam berbagai berita bahwa tokoh-tokoh yang dilukisnya itu hanya menjadi sosok pengumbar janji, penghisap keringat rakyat, dan sebagainya. Ini merisaukan nuraninya.
Tapi apa boleh buat, dia hanya menuruti perintah dan penugasan dari bosnya. Bukan melukis berdasarkan gagasan dari dalam dirinya. Maka, lewat pengalaman itulah dia berhasrat kuat menjadi seniman yang murni mengekspresikan semua gagasan dasarnya ke dalam kanvas atau karya seni lain tanpa intervensi ide dari pihak lain.
Pergi ke Eropa
SIASATNYA untuk menjadi seniman murni adalah masuk kuliah di FSR ISI Yogyakarta. Dia mengandaikan kelasnya akan naik dengan menempuh pendidikan di ISI terlebih dahulu. Namun ternyata itu tak mudah. Budi Ubrux mencoba mengikuti ujian masuk ISI, tapi gagal. Dalam sejarah pribadinya, dia mengikuti ujian masuk di FSR ISI Yogyakarta sebanyak 5 kali. Empat kali gagal, dan baru diterima pada upayanya yang kelima tahun 1999. Dia merasakan kurang kuat kemampuan teoritiknya sehingga tak mampu kalau harus, misalnya, banyak menghafal.
Jauh sebelum diterima masuk ISI Yogyakarta, Budi justru menimba banyak pengalaman yang dirasakannya banyak memberi input penting dalam perjalanan kreatifnya sebagai seniman. Tahun 1992 dia bertemu dengan seorang pengusaha muda Yogyakarta yang kelak juga menjadi politisi dan anggota DPRD DIY dari fraksi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yakni Cindelaras. Lewat dia, Budi dikenalkan Richard Schumaier, orang Swis yang memesan lukian di atas jaket kulit. Itu pengalaman berharga, maka dikerjakannya dengan sepenuh hati. Penuh ketelitian untuk menggarap detail gambar di atas jaket. Dampaknya pun positif. Richard membayar karya Budi dengan upah yang sangat bagus. Dan order itu pun berlanjut.
Bagi Budi, ini juga jalan untuk menemu siasat kreatif lain. Dengan melukis sesukanya, dia mendapat fee tinggi. Dan dengan fee itulah dia membeli peralatan melukis seperti kanvas, kuas, cat minyak dan lainnya. Maka, di sela rutinitas kerjanya di beberapa advertising, mulailah Budi Ubrux merintis sebagai seniman yang bergerak melukis secara bebas. Waktu itu dia banyak melukis obyek ayam dan kehidupan sehari-hari. Dia menikmati proses tersebut.
Belakangan, lukisan jaket yang diorder itu diminati oleh teman-teman Richard. Mereka adalah seorang desainer interior, yakni Andy Schmid, dan seorang manajer diskotik di kota Zurich, bernama Marcus Shanker. Rupanya ketertarikan mereka pada karya Budi itu begitu serius. Dia tampaknya melihat bakat artistik yang besar dari karya lukisnya di sebuah jaket. Tidak tanggung-tanggung, Marcus Shanker mengundang cah ndeso dari Mbantul itu menuju ke Zurich, Swiss, untuk melukis diskotiknya.
Budi tercengang dengan ajakan tersebut. Bukan main. Maka dia pun mengajak adik kelasnya, Budi Kustarto yang juga punya kemampuan teknis melukis bagus untuk ikut—karena Shanker juga membutuhkan 2 orang untuk mengatasi pekerjaan tersebut. Namun kesempatan emas itu hilang karena Budi Ubrux tiba-tiba membatalkan keberangkatannya ke Swis, dan memilih mengambil pekerjaan serupa di Papua (waktu itu Irian Jaya). Hanya Budi Kustarto yang berangkat. (Tak heran, sepulang dari Swiss, banyak teman-teman seniman memanggilnya sebagai “Budi Swiss”).
Namun keberuntungan, juga keajaiban rupanya masih berpihak pada Budi Ubrux. Tahun 1995, Marcus Shanker datang lagi ke Yogya. Kali ini bersama sang istri, Detty namanya. Mereka langsung “menodong”: “Budi Ubrux, besok kamu berangkat ke Swiss ya!” Dengan spontan ajakan itu diiyakan. Maka, untuk pertama kalinya Budi terbang ke luar negeri tahun 1995. Dia masih mengingat betul pesawat yang menerbangkannya dari maskapai Gulf Air, dan transit di banyak kota.
Tugas utama Budi Ubrux di sana sudah pasti melukis. Medianya tembok atau dinding penyekat. Diskotik SH milik Marcus Shanker dikonsep sebagai diskotik yang tematik dan terus berganti-ganti tiap 3 bulan. Ini untuk mendinamisasi situasi di tengah kompetisi antar-diskotik di Zurich. Maka, di sinilah seniman muda asal Yogyakarta ini dituntut untuk mampu ikut memberi ide dan mengeksekusi konsep tentang tema-tema tertentu untuk party—yang selalu harus ganti tiap tiga bulan.
Budi masih cukup hafal untuk mengenang pengalamannya bekerjasama dengan Marcus Shanker. Tema-tema yang pernah digarapnya antara lain: Egypt party (tentang nuansa Mesir), Cuba party, Tropical party, Valentine party, Mexico party, Cowboy party, dan lainnya.
Hal yang juga pasti dikenang adalah kesempatannya untuk tetap diberi peluang berkarya bebas di atas kanvas—di luar berkarya membuat dekorasi diskotik. Shanker menyediakan kanvas, cat minyak dan ubarampe lainnya untuk persiapan berkarya bagi Budi Ubrux. Aktivitas inipun juga tidak sekadarnya. Terbukti, setelah terkumpul sekian belas karya lukis yang siap pajang, pada tahun 1998, Budi Ubrux berpameran tunggal di sebuah ruang pameran di kota kecil Baden, tak jauh dari kota Zurich. Ubrux memberi tajuk pameran tunggal pertamanya itu: “Yellow Art: Seni yang Agung”.
Dampak Eksistensial
MERASA telah cukup mengenyam pengalaman di mancanegara, Budi Ubrux pun pulang kampung tahun 1998—beberapa waktu seusai pameran tunggal. Tak lama setelah pulkam, dia menikahi gadis pujaan: Rengganis Dewi Wisma Sari, namanya. Gadis ini adalah adik dari kakak kelasnya di SMSR, yakni Threeda Mayrayanti—istri pantomimer Jemek Supardi. Dari Rengganis tercinta, Budi Ubrux Haryono mendapatkan tiga anak: dua perempuan, dan satu laki-laki. Mereka adalah: Mode Juta Dewi Haryono (lahir tahun 1999), Titania Kiara Dewi Haryono (2003), dan Jalu Unggahono Pucuk Pol (2007).
Tahun itu seperti menjadi titik balik penting bagi proses kesenimanan seorang Budi Ubrux. Dia telah memutuskan seutuhnya sebagai seniman murni yang bekerja secara independen. Karya demi karya dikreasinya. Pameran demi pameran (kecil) diikutinya. Setelah mengikuti beberapa pameran, karyanya mulai dilirik oleh kolektor. Salah satunya adalah Sarjana Sumichan. Dia anak Raka Sumichan, salah satu kolektor utama karya-karya pelukis besar Affandi Kusuma.
Tapi, ah, Budi Ubrux masih tergoda untuk bekerja dan berkarya di Swiss. Maka, tahun itu pula dia kembali terbang untuk kembali bekerjasama dengan Marcus Shanker. Ubrux juga sekalian ingin menimba pengetahuan di sana. Tak pelak, kunjungan ke museum-museum atau artfair jadi agenda yang diikutinya bersama Marcus. Dia berkesempatan menyaksikan Art Basel. Juga menyimak karya-karya seniman besar dunia semacam Pablo Picasso, Rembrand van Rijn, Claude Monet, Marc Chagall, Vincent van Gogh, Paul Klee, dan sekian banyak nama lainnya.
Setahun kemudian, tahun 1999 Budi memutuskan kembali pulang. Pengalaman menetap yang cukup lama sebagai pekerja seni di Eropa membuatnya ingin menggali banyak hal yang dilihatnya kembali di tanah air. Dia merasa banyak persoalan yang bisa dijadikan sebagai subject matter (pokok soal) seperti halnya yang disaksikan pada karya-karya seniman Eropa di masa lalu dan era sekarang. Di Indonesia pun dia menduga banyak problem yang ada di realitas sehari-hari yang bisa diangkat sebagai sumber gagasan atas karya-karya seninya.
Maka waktu itu banyak jalan-jalanlah dia di seputar kota Yogya. Pasar Beringharjo salah satu poin menarik baginya. Di pasar terbesar di D.I. Yogyakarta, pada suatu siang, Budi duduk-duduk sembari menikmati lalu-lalang sekian banyak manusia di situ. Pandangan dan perhatiannya kemudian tertumbuk pada seorang ibu penjual bunga yang sedang berbincang dengan perempuan buruh gendong—yang menjual jasa untuk mengangkut barang (dagangan) di seputar pasar. Mereka berbincang tentang perkara social, ekonomi, dan politik. Ini mengejutkan seorang Ubrux—seniman muda yang merasa wawasannya terbatas. Dia memperhatikan bahwa di tangan si ibu buruh gendong itu tergenggam sebuah koran. Tampaknya beliau rajin membaca koran dan meng-update perkembangan dunia lewat sumber berita itu. Ubrux cukup takjub atas pemandangan tersebut. Dalam lintasan waktu yang cepat dia juga mengagumi para intelektual dan jurnalis jaman dulu yang berikhtiar membuat surat kabar untuk mencerahkan alam pikiran banyak manusia.
Seniman muda ini seperti menemukan ide. Koran! Ya, koran! Sumber berita itu mampu mengubah dunia dan menggeser perspektif banyak manusia (pada zamannya). Seketika itu juga dia ingin berkreasi tentang koran. Mungkin ide itu juga belum banyak digali di belahan dunia lain, pikir Budi. Melukislah ia kemudian dengan teknik kolase (collage), yakni menggunting koran dengan sengaja menyisakan judul-judul yang provokatif, yang ditempel di atas kanvas. Lalu diwarnailah medium kertas tersebut.
Namun eksperimentasi itu belum memuaskannya. Teknik itu tak menantang kemampuan teknisnya. Maka ditinggalkannyalah ikhtiar itu. Tahun 1999 itu, sepulang dari Swiss, dia mencoba mendaftarkan diri masuk FSR ISI Yogyakarta. Tak disangka-sangka, dia lulus ujian. Ah, jadi mahasiswa ISI Yogyakarta akhirnya setelah sebelumnya mendaftar hingga 4 kali! Memulai menjadi mahasiswa dalam keadaan sudah menikah, bahkan mulai punya anak—tentu memiliki tantangan yang berbeda. Baginya, posisi sebagai mahasiswa juga menguntungkan karena arus informasi yang mulai menderas banyak diterimanya ketika menjadi mahasiswa. Salah satu informasi itu adalah: kompetisi seni Philip Morris Indonesia Art Award 2000.
Demi kompetisi ini, Ubrux bersemangat ingin menunjukkan kemampuannya secara lebih serius. Dibuatlah sebuah karya berukuran 130 x 138 cm, dengan cat minyak. Diberinya tajuk “Imagologi”. Tajuk ini kurang lebih menarasikan tentang situasi zaman ini yang mulai memunculkan fenomena perihal citra atau image sebagai hal yang lebih penting ketimbang substansi. Merasa lebih penting sisi kulit daripada isi. Lukisan yang menggambarkan 20 sosok wajah manusia terbungkus koran dan menempati kotak-kotaknya sendiri itu tampak menawarkan estetika yang begitu simbolik dan bernas.
Karya itu diajukan pada panitia kompetisi seni rupa Philip Morris Indonesia Art Award 2000. Hasilnya mengejutkan: “Imagologi” meraih gelar pemenang utama, dengan menyingkirkan sekian ratus nama dan karya seniman lain se-Indonesia. Seperti tradisi sebelumnya pada kompetisi tersebut, karya “Imagologi” bersama 3 Besar Indonesia dikompetisikan lagi di level Asia Tenggara di SAM (Singapore Art Museum). Karya-karya itu “ditandingkan” dengan karya finalis Philip Morris dari Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Hasilnya, karya Ubrux masuk 3 Besar.
Pencapaian itu membawa nasib baik bagi karier kesenimanan Budi Ubrux. Karya-karyanya “mendadak” menjadi most wanted (banyak dicari) oleh para kolektor. Kebetulan pada kurun tahun itu masih “tersisa” booming pasar seni rupa setelah puncaknya terjadi tahun 1998-1999—ketika krisis moneter melanda banyak negara Asia, termasuk Indonesia. Banyak tawaran pameran, entah kelompok atau tunggal segera menyergap” anak Dlingo ini. Pameran tunggal “Ilusi Koran” berlangsung di Galeri Semarang pada tahun 2002. Di galeri yang didirikan oleh Hendra Setyadji, Chris Darmawan, dan Handoko meraup sukses besar secara finansial. Di sisi lain, pewacanaan tentang “estetika koran” yang disodorkan oleh Ubrux dianggap sebagai sebuah pencapaian artistik dan estetik yang relatif baru, segar, dan menarik. Artinya, ada upaya eksperimentasi yang berbeda, tidak mengarus pada pola mainstream yang sudah ada atas karya-karya Budi Ubrux. Kebaruan inilah yang dianggap menjanjikan dan kemudian diserap dengan baik oleh pasar.
Tak heran bila karya-karyanya diinginkan oleh banyak pihak untuk digelar. Maka, pameran tunggal dan kelompok terus mengalir pada Budi. Namun dia mengakui bahwa dirinya punya banyak keterbatasan yang tidak memungkinkan untuk bisa mengakomodasi semua undangan pameran. Pameran tunggal yang menyusul terjadi antara lain “Beyond the Headlines” yang dihelat di Singapura, “Togetherness” di Siena, Italia, juga pameran kolektif seperti “To Rusia With Art” di Moskow, Rusia, “Equatorial Head” di Sichuan, China, “Blindness and Insight” di Hongkong, “Up de Landsheer” di Brussel, Belgia, dan masih banyak pameran lain di berbagai kota dan negara.
Pameran-pameran tersebut, tentu, membawa banyak dampak bagi Budi Ubrux. Mulai dari dampak eksistensial, finansial, hingga material. Ini wajar dan tak terhindarkan.
Memanfaatkan Teman
APAKAH dampak dari pencapaian itu berimbas pada diri pribadi seniman yang relatif gagap bicara ini? Dugaan bisa saja bila belum mengenal sosok Ubrux dengan baik. Sebaliknya, sikap dan perilaku Budi Ubrux nyaris tidak berubah, antara yang tecermin hari ini dibandingkan dengan kurun sekitar 25 tahun lalu. Masih konsisten. Senyumnya selalu menghias ketika beradu bincang dengan lawan bicaranya—siapapun itu. Sesekali gelak tawanya meledak. Bicaranya pun relatif sama: ritmenya lambat, kadang tergagap, dan kata-kata “anu” atau “nganu” sering terlontar dari mulutnya.
Dalam bahasa Jawa, terminologi “anu” atau “nganu” acap diucapkan sebagai kata ganti untuk kata benda, kata kerja, kata sifat, atau untuk mengganti kata apa pun yang masih abstrak atau tak “layak” disebutkan secara transparan. Atau sebab lain, misalnya tergagap dan tak tangkas bicara. Budi Ubrux termasuk orang yang tidak cukup tangkas berbicara. Kata “anu” atau “nganu” adalah bagian dari kesehariannya yang acap terlontar di sela baasa tuturnya. Tak heran bila sebagian dari teman-temannya memanggilnya sebagai “Mister Anu”.
Pada dimensi lain, Budi Ubrux juga menerima julukan lain dari sesama kolega seniman. Ada yang menjulukinya sebagai “tukang talang”. Apakah dia pernah punya sejarah sebagai tukang yang memperbaiki talang? Tidak! Sebutan “tukang talang” disematkan oleh teman-temannya karena Budi sering dan dengan ringan tangan membantu para teman-temannya yang tengah mengalami kesulitan keuangan. “Tulung ditalangi sik, yo Bud!?” Tolong ditutup kekurangan keuanganku ya, Budi. Begitulah kira-kira dialog yang sesekali terjadi di rumahnya, atau di tempat yang nyaman tanpa diketahui oleh, misalnya, istri sang Budi Ubrux.
Salah satu sahabatnya, seniman Nasirun pernah bercerita tentang Budi Ubrux. Suatu ketika Ubrux bertandang ke rumah Nasirun. Saat ditawari makanan, dengan lekas ditolaknya, “Tak usah. Nganu je, lagi belajar puasa.” Padahal pada saat itu bukan bulan Ramadhan. “Serius kamu puasa?” desak Nasirun. “Emm, iya. Agar bisa menahan amarah pada anak saya,” jawab Ubrux.
Tak lama kemudian, satu-dua hari berikutnya, Nasirun kedatangan seorang teman lain. Dia mengaku bahwa beberapa hari sebelumnya ke tempat Ubrux untuk meminta bantuan keuangan, bahkan diduga memanfaatkan kebaikan Budi Ubrux. Dari keping-keping cerita ini Nasirun berkesimpulan bahwa orang sebaik dan selugu Budi Ubrux ternyata tak lepas dari gangguan orang-orang yang memanfaatkannya. Dan puasa yang dilakukan oleh Ubrux ternyata bukanlah upaya untuk sabar menghadapi anak-anaknya, tapi pada orang-orang yang kurang baik yang “dikirimkan” kepadanya.
Budi Ubrux memang sosok seniman yang relatif komplit pengalaman batinnya, juga menjadi pribadi yang pantas diteladani ketulusan dan kebaikan batinnya. Itulah sisi artistik dari kehidupan pribadinya. ***
Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa.