3 December 2024
Home / Art / ARTJOG MMXXII: Gairah Baru Seni Rupa Kontemporer Indonesia Pasca Pandemi

ARTJOG MMXXII: Gairah Baru Seni Rupa Kontemporer Indonesia Pasca Pandemi

Yogyakarta dikenal luas sebagai kota pelajar dan budaya. Banyak pelaku seni yang berdomisili di kota ini, sehingga tidak mengherankan apabila hampir di sepanjang tahun selalu tergelar aneka kegiatan budaya yang bermutu.

Uniknya, hanya di kota ini dikenal istilah ‘hari raya seni rupa’ yang merujuk pada puncak-puncak aktivitas dan pergelaran seni rupa di bulan Juni -Juli. Pada momentum ini kota Yogyakarta semarak oleh pameran-pameran seni rupa yang diselenggarakan baik oleh pihak galeri, kafe, atau bahkan open house di studio-studio milik perupa.

Salah satu lokomotif dan magnet utama fenomena tersebut adalah hadirnya ARTJOG. ARTJOG adalah festival, pameran, dan pasar seni rupa kontemporer terbesar di kawasan Asia tenggara yang digelar secara tahunan. Sebuah peristiwa seni yang berperan sebagai ruang pertemuan bagi gagasan-gagasan baru dalam kesenian dan kreativitas. Sekaligus juga memiliki fungsi sebagai ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman estetika serta perkembangan seni terbaru.

Perhelatan akbar seni rupa kontemporer ini pertama kali diadakan pada tahun 2008 dengan nama Jogja Art Fair yang merupakan bagian dari aneka rangkaian acara Festival Kesenian Yogyakarta XX. Lalu pada tahun 2009 terjadi perubahan yang cukup signifikan yaitu Jogja Art Fair berdiri sebagai event tersendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta. Puncaknya pada tahun 2010, Brand ‘Jogja Art Fair’ berubah namanya menjadi ARTJOG.

ARTJOG sendiri pertama kali digelar di lokasi Taman Budaya Yogyakarta (2008 sampai tahun 2015), dan melihat animo dan tanggapan masyarakat yang antusias maka sejak tahun 2016 event ini berpindah ke Jogja National Museum (JNM). Sebuah tempat seluas 1,4 hektar yang penuh aura seni yang hebat dan sarat dengan nilai sejarah karena di sini adalah bekas kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), cikal bakal Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Lokasi yang adem, strategis dan tentu saja keren.

ARTJOG pertama kali digagas dan dirintis oleh Heri Pemad, alumnus Seni Lukis ISI Yogyakarta dan seorang Art Manager yang handal. Saat ini ARTJOG dikelola secara profesional oleh Yayasan Hita Pranajiwa Mandaya, sebuah lembaga yang didirikannya dan berbasis di Yogyakarta.

ARTJOG MMXXII

Pada tahun ini ARTJOG kembali digelar 7 Juli – 4 September 2022. Mengambil tajuk ‘ARTJOG MMXXII: Arts in Common – Expanding Awareness’. Tim Padmanews menyempatkan diri bertandang untuk menonton dari dekat pameran ini ke Jogja National Museum (JNM) di Jl. Amri Yahya No. 1, Gampingan, Wirobrajan, Yogyakarta.

Kehadiran ARTJOG selama ini cukup fenomenal karena mampu menyedot pengunjung dalam jumlah cukup banyak. Selama ini publik selalu disuguhi wacana bahwa menonton sebuah pameran seni rupa itu gratis. Tetapi ARTJOG menjungkirbalikannya dengan menerapkan tiket masuk bagi pengunjung. Dan hasilnya? Tetap ramai pengunjung. Tim Padmanews yang berkunjung pada hari Rabu merasakan semarak pengunjung lintas generasi dan lintas daerah. Petugas jaga mengatakan bahwa puncak keramaian pengunjung ada pada akhir pekan.

Dengan mulai longgarnya aktivitas masyarakat setelah pandemi, kelihatan sekali grengseng masyarakat untuk menghadiri perhelatan akbar seni rupa kontemporer ini. Yang menggembirakan adalah hadirnya wajah-wajah belia generasi milenial memenuhi ruang-ruang pamer  di Jogja National Museum (JNM). Kehadiran mereka tentu saja merupakan kabar baik akan tumbuhnya generasi dengan apresiasi dan literasi seni yang baik.

ARTJOG MMXXII buka setiap hari antara pukul 10.00 – 21.00 WIB. Tiket masuk dapat dibeli langsung di lokasi dan hanya berlaku untuk satu hari. Harga tiket untuk dewasa adalah Rp 75.000,00, harga tiket untuk anak-anak (6-17 tahun) adalah Rp 50.000,00 dan gratis bagi anak-anak di bawah 6 tahun

ARTJOG MMXXII adalah edisi terakhir dari rangkaian festival Arts in Common dalam triplet tematik ‘ruang’, ‘waktu’ dan ‘kesadaran’. Menengok edisi sebelumnya, subtema ‘Common Space’ (2019) yang fokus pada isu-isu seputar ekologi, dengan menyajikan karya-karya yang mempersoalkan masalah ruang dan lingkungan secara kritis. Sementara ‘Time (to) Wonder’ (2021) mengkulik secara mendalam tentang waktu dalam perspektif sejarah, imajinasi dan ingatan, melalui karya-karya yang berbicara tentang dinamika masa lampau, sekarang dan masa depan.

Menurut trio kurator acara ini yaitu Agung Hujatnikajennong, Bambang ‘Toko’ Witjaksono dan Ignatia Nilu dalam tulisan pengantar yang terpampang di tembok gerbang ruang pamer Jogja National Museum (JNM), ARTJOG MMXXII menempatkan kesadaran sebagai muara kesenian yang dipraktikkan sebagai instrumen untuk bergerak melampaui batas-batas dari apa-apa yang kita pikirkan dan pahami saat ini.

Perubahan-perubahan besar yang diakibatkan oleh pandemi di berbagai penjuru dunia telah mengajarkan kita untuk terus menjaga semangat dan daya hidup bersama. Penyebaran virus yang tidak mengenal batas-batas negara telah menyingkap kenyataan: Meski kita hidup dalam ancaman yang sama—disrupsi teknologi, perubahan iklim, kesenjangan sosial dan ekonomi, konflik antargolongan, perang, masalah kesehatan khalayak, dsb.—umat manusia hari-hari ini sesungguhnya dipaksa bertahan dengan sumber daya yang tidak merata.

Dalam kerangka tematik ARTJOG kali ini, kesadaran (awareness) dimaknai sebagai suatu keadaan di mana individu atau sekelompok orang mengetahui dan memahami suatu fakta atau situasi. Kesadaran di sini terkait dengan kehadiran kita dalam ruang dan waktu. Ia bukan sekadar hasil refleksi kontemplatif atas realitas, tentang apa-apa yang sudah terjadi kemarin dan hari ini di lingkungan terdekat kita, tapi juga mencakup soal masa depan dan harapan-harapan yang harus diciptakan di dunia yang terlanjur serba terkoneksi.

ARTJOG percaya bahwa melalui kesenian, perluasan kesadaran dimungkinkan terjadi bukan melalui proses yang serba didaktik, linier dan searah, melainkan secara akumulatif dan resiprokal di antara seniman dan khalayak.

Peserta Pameran dan Karya

ARTJOG MMXXII kali ini menampilkan 61 seniman individu maupun kelompok lintas generasi serta dibarengi berbagai program edukasi lain yang akan diadakan secara rutin selama penyelenggaraan festival berlangsung. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia. Sebuah perpaduan apik dan menarik antara seniman junior dan senior.

Sebelum pandemi melanda dunia, ARTJOG pernah secara khusus menampilkan pula karya-karya special presentation artist dari pelaku seni asal luar negeri, seperti karya Yoko Ono (Jepang), Marina Abramovic (Amerika Serikat), Team Lab (Jepang), Stefan Sagmeister (Austria), Wim Delfoye (Belgia), dan Ashley Bickerton (Amerika Serikat). Walaupun tahun ini tidak diikuti karya special presentation artist dari luar negeri tetapi tidak mengurangi greget perhelatan akbar seni rupa kontemporer ini.

Yang menarik dari perhelatan ARTJOG ini adalah dirangkulnya seniman-seniman muda potensial melalui program Young Artist Award (YAA), Seperti dikutip dari situs resmi penyelenggara, ARTJOG membuka ruang akses dan kesempatan bagi seniman muda peserta terbaik yang berusia di bawah 35 tahun.

Program ini dirancang sebagai wujud penghargaan dan apresiasi atas kiprah mereka dalam berkarya. Sebagai sebuah upaya untuk menggali potensi dan wawasan seniman muda, serta memperluas jaringan dan lintasan karir mereka dalam berkesenian.

Program YAA digulirkan dengan dukungan dari Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Provinsi DIY. Sebanyak tiga dari 12 seniman muda peserta ARTJOG  berhasil meraih penghargaan YAA, yaitu Dzikra Afifah (Bandung), Rizka Azizah Hayati (Yogyakarta), dan Timoteus Anggawan Kusno (Yogyakarta). Tim juri YAA 2022 terdiri dari Titarubi, Hendro Wiyanto, dan tim kurator ARTJOG MMXXII.

ARTJOG MMXXII juga mengundang perupa Christine Ay Tjoe sebagai commissioned artist untuk menanggapi dan menganggit ulang tema Expanding Awareness (perluasan kesadaran) dalam bentuk karya instalasi yang gigantik. Christine Ay Tjoe dikenal publik pecinta seni tanah air sebagai seorang pelukis, tapi selain itu ia juga mengerjakan karya-karya instalasi tiga dimensi dan eksplorasi lain. Christine adalah alumnus studio Seni Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung pada 1997 dengan spesialisasi di teknik drypoint.

Christine Ay Tjoe mempersembahkan karya instalasi berjudul ‘Personal Denominator’.  Sebuah karya yang dapat diraba dan dipeluk oleh pengunjung agar mereka dapat merasakan seluruh tekstur dan pergerakan objek. Karya berukuran hampir tiga meter kubik ini terinspirasi dari Tardigrada, spesies mikroskopis berukuran 0,5mm yang memiliki kemampuan bertahan hidup dalam lingkungan ekstrem.

Bagi Christine, daya hidup Tardigrada mengingatkannya pada situasi masyarakat yang meski selama dua tahun terakhir ditimpa masa pandemi, tetap memiliki kemampuan bertahan hidup dengan cara-cara yang luar biasa. Christine ingin menekankan bahwa setiap aktivitas manusia sesederhana apapun harus terus berlanjut dan menunjukkan daya hidup.

Karya Christine ditempatkan khusus dalam bangunan berwarna coklat pastel tanpa ventilasi dan terletak persis di halaman depan Jogja National Museum (JNM) dengan latar tulisan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Inilah suguhan pertama bagi para pengunjung yang baru datang. Pengunjung akan diajak memasuki sebuah lorong dengan pencahayaan yang minim dan mendengarkan suara yang bersumber dari beberapa alat yang menopang kinerja karya instalasi berwujud mirip Tardigrada. Di lantai sekelilingnya tertanam belasan karya relief dinamika spesies unik tersebut yang turut berpadu padan bersama keremangan cahaya dan suara, ikut mendramatisir suasana.

Karya-karya peserta pameran ARTJOG MMXXII yang lain dipajang secara apik oleh penyelenggara di tiga lantai pada gedung tertua di JNM (Jogja National Museum) yaitu situs bekas ruang Jurusan Desain Komunikasi Visual di lantai satu, situs bekas ruang Administrasi Kemahasiswaan di lantai dua dan situs bekas ruang Jurusan Desain Interior, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Semua pengunjung tetap wajib menaati protokol kesehatan yang berlaku.

Impresi pertama memasuki area pameran adalah apresiasi untuk kinerja solid penyelenggara. Tampak bahwa penyelenggara ARTJOG cukup profesional dan mampu bersinergi baik dengan pihak pemerintah dan swasta selaku sponsor. Kondisi seperti ini tentu saja membawa angin segar bagi tumbuh kembangnya kesenian, pelaku seni dan pemangku kepentingan lainnya. Selain meningkatkan apresiasi seni juga turut menggerakkan roda perekonomian masyarakat.

Menjelajahi ruang demi ruang, ARTJOG nampaknya berupaya mendorong perluasan kesadaran tentang inklusivitas pada pengunjung. Kita akan disuguhi aneka karya seniman individu atau komunitas yang menarik. Seperti hadirnya program baru ARTJOG KIDS yang menampilkan 14 anak dengan karya terpilih, juga aneka karya dari kelompok JDA (Jogja Disability Arts) dan Sanggar Seni Komunitas Tuli Ba(Wa)yang.

Salah satu yang cukup menggelitik adalah karya instalasi dari sebuah brand fesyen lokal ‘Sejauh Mata Memandang” milik Chitra Soebiyakto yang berjudul ‘Kisah Punah Kita’.

Berdiri sejak 2014, Sejauh Mata Memandang dikenal fokus pada isu sustainable living (hidup berkelanjutan) dan menerapkan konsep fesyen lambat (slow fashion) untuk produk-produk yang dihasilkannya.

Fesyen lambat (slow fashion) menjadi sebuah pendekatan untuk melihat fesyen dari kaca mata baru dengan lebih berkesadaran (mindful). Sederhananya, fesyen lambat adalah kebalikan dari fesyen cepat. Jika fesyen cepat lebih menitikberatkan pada mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya dengan biaya produksi serendah-rendahnya, justru fesyen lambat ada di sisi yang berseberangan. Fokusnya adalah pada bagaimana menjadikan seluruh proses dari produksi hingga konsumsi menjadi berkelanjutan. Termasuk perlakuan kepada pekerjanya dan dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan sekitar.

“Kisah Punah Kita” adalah karya instalasi sebagai pengingat betapa dekatnya kita dengan kepunahan, namun hal tersebut sebenarnya masih bisa dicegah dengan melakukan hal-hal nyata. Instalasi ini dibuat dengan pendekatan sederhana dan memanfaatkan kain-kain bekas sebagai medium jitu untuk menyampaikan pesan.

Para pengunjung ‘Kisah Punah Kita’ diajak berinteraksi dan berkaca, serta akhirnya sadar bahwa kita adalah juga spesies yang terancam punah akibat perbuatan sembrono diri sendiri.

Dalam karya instalasi ini, ditunjukkan beberapa video yang mempertontonkankan berbagai binatang yang hampir punah, mulai dari orang utan, harimau, badak bercula satu dan beberapa binatang langka lainnya. Namun secara cerdas, unik, kreatif dan menarik karya instalasi ini secara perlahan tapi pasti akan menunjukkan spesias mana sebenarnya yang paling berbahaya di dunia ini dan berpotensi menyebabkan kepunahan.

Aneka karya yang tampil di ARTJOG.

Ada sebuah ruangan yang dipenuhi tempelan dan gantungan aneka potongan kain yang secara imajinatif membangun suasana hutan belantara. Penataannya cukup estetik dan menarik. Di situ pengunjung akan mendapati sebuah cermin besar sehingga memantik godaan untuk berfoto selfie maupun wefie dengan gadget di dalamnya. Saking asyiknya berselfie ria, pengunjung tidak menyadari bahwa sebenarnya cermin besar di hadapannya tersebut adalah cermin tembus pandang jika dilihat dari posisi di sebaliknya. Sementara di seberang ruang, dari cermin tembus pandang tersebut banyak pengunjung lain yang tertawa geli melihat homo sapiens yang bertingkah lucu dengan gadgetnya. Mereka yang menjadi obyek tontonan nampak sedikit canggung dan malu-malu saat dibidik lensa kamera HP yang ada di genggamannya sendiri. Cermin tersebut dibingkai dan diberi tajuk dengan huruf timbul menyala “Spesies Penyebab Kepunahan”. Cukup menohok dan satir.

Selain menyajikan karya-karya bermutu, di ARTJOG MMXXII juga terdapat ruang Artcare Indonesia. Artcare merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh komunitas Soboman 219, Yogyakarta. Komunitas ini dihadirkan sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama dari kalangan seniman. Artcare hadir dengan semangat kemanusiaan dan membantu sesama.

(*)