8 October 2024
Home / Art / ARTJOG MMXIX, Art Fair Rasa Festival

ARTJOG MMXIX, Art Fair Rasa Festival

KAMIS malam itu, 25 Juli 2019, nyaris semua halaman gedung JNM (Jogja National Museum) penuh sesak oleh manusia. Mobil-mobil yang hendak masuk ke tempat seluas 1,4 hektar tersebut selepas pukul 19.00 WIB sudah tak dapat tempat parkir. Orang-orang harus sibuk mencari tempat parkir mobil di jejalanan sekitar JNM.

Lautan manusia itu punya agenda yang sama: menonton pembukaan ARTJOG MMXIX atau ARTJOG 2019. Ini salah sebuah perhelatan seni rupa besar di Indonesia yang berlangsung annual atau tiap tahun. Malam itu ARTJOG mendapat kehormatan karena Menteri Keuangan Dr. Sri Mulyani berkenan membuka resmi. Lautan manusia, terutama didominasi oleh anak-anak muda, menyemut mendekati pintu masuk di bagian utara gedung. Mungkin ada lebih dari 5.000 orang berkerumun di halaman JNM. Ya, perhelatan seni rupa ini tiap kali pembukaan selalu dijejali oleh banyak manusia—sudah seperti perhelatan musik.

Keriuhan penonton itu terus berlanjut di hari-hari setelah pembukaan. Sepanjang pameran ARTJOG yang berlangsung selama sebulan, tiap hari selalu dipadati oleh pengunjung—mulai dibuka pukul 10.00 hingga ditutup pukul 21.30 WIB. Padatnya penonton itu kisarannya sekitar 3.000 orang lebih tiap hari. Padahal, panita ARTJOG memberlakukan keharusan untuk membayar tiket masuk sebesar Rp 50.000,-. Kenyataan ini menggembirakan, dan menerbitkan dugaan bahwa secara pelahan kesadaran seni pada publik sudah mulai tertanam. ARTJOG menjadi salah satu pemicu untuk kesadaran tersebut.

Tahun 2019 ini ARTJOG menggelar kembali agenda pamerannya untuk yang ke-12 kalinya. Awalnya, pada tahun 2008 perintisnya, Heri Pemad menamai perhelatan ini dengan nama Jogja Art Fair atau JAF. Dua tahun kemudian, tahun 2010 sebutannya diganti menjadi ARTJOG. Pola ini mengikuti gaya art fair lain di belahan dunia lain yang lebih populer dan lebih dulu ada seperti Art Basel di Basel, Swiss, Art Madrid di kota Madrid, Spanyol, ArtStage di Singapura, Art Hongkong di Hongkong, China, dan sebagainya. Namun ada sisi keunikan ARTJOG ketimbang art fair yang lain di dunia, yakni dari kepesertaannya. Art fair yang lain biasanya mengundang keterlibatan berbagai galeri atau art space untuk menyewa booth-booth yang disediakannya. Tentu dengan uang sewa yang mahal untuk durasi hanya 3-4 hari. Galeri atau art space itu kemudian mengisi booth yang disewanya dengan karya-karya seniman yang menjadi pilihannya. Atau seniman yang telah menjalin kerjasama atau kontrak kerja.

Sementara ARTJOG unik. Panitia tidak mengundang galeri atau art space, tetapi seniman. Pola rekruitmen seniman pesertanya ada dua pilahan, yakni dengan undangan (invitation), dan open application atau aplikasi terbuka. Pada pilahan kedua ini berbagai seniman bebas untuk mengajukan proposal dan karya kepada panitia. Tentu ada seleksi untuk menentukan para seniman itu bisa masuk berpameran di ARTJOG.

Tahun 2019 ini ARTJOG mengetengahkan 40 perupa dan kelompok perupa. Sebagian besar adalah para seniman yang mengajukan aplikasi terbuka. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia, dan dari beberapa negara. Sisanya, 5 perupa dan kelompok perupa merupakan undangan. Ke-5 seniman undangan itu adalah: Handiwirman, Sunaryo bersama komunitas Wot Watu-nya, Piramida Gerilya, Riri Riza, dan Teguh Ostenrik. Biasanya, para perupa undangan itu diperlakukan khusus, yakni membuat karya yang relatif kolosal dari aspek ukuran, dan mereka masing-masing diberi insentif dana untuk memproduksi karya. Tak heran bila kemudian mereka seperti berkompetisi satu sama lain untuk membuat karya yang meyedot perhatian publik penonton.

            Bubu raksasa hasil kreasi perupa Sunaryo dan komunitasnya menjadi salah satu karya paling menonjol. Karya ini berada berupa bubu atau “jaring” untuk menangkap ikan dengan bahan dasar bambu. Konsep dasar bubu itu adalah adanya pintu masuk untuk menggiring ikan atau sasaran masuk dalam “perut” bubu, dan sekian banyak jeruji di ujung “pintu keluar”. Karya bertajuk “Bubu Waktu” itu memang tepat ditempatkan sebagai lorong besar di pintu akhir sebelum penonton keluar luar ruangan. Begitu seorang penonton keluar dari bubu, dia tidak bisa masuk kembali ke dalam ruangan lewat pintu itu. Karya ini seperti memberi cermin kepada penonton bahwa konsep waktu yang dilalui oleh manusia hanya bisa dilewati sekali. Tak ada pengulangan. Tidak akan bisa masuk lagi ke dalam lorong waktu yang lampau.

ARTJOG MMXIX kali ini mengetengahkan tajuk kuratorial Common|space”. Tajuk ini dipilih untuk mendekatkan ARTJOG pada pengertian pameran atau festival sebagai sebuah “ruang bersama”—sebagaimana arsitektur, urbanisme atau planologi, menggunakan istilah itu untuk menjelaskan ruang atau area fisik yang dirancang untuk digunakan oleh banyak orang—seperti taman, lobby, atau ruang baca perpustakaan dan sebagainya.

Tema Common|space ini dihasratkan untuk menekankan perihal “ruang” dan “ruang bersama” yang lebih luas ke dalam wacana yang menggandeng berbagai perspektif ekologis. Ini selaras dengan pengertian awal “common” sebagai khasanah sumber daya alam bersama (air, oksigen, lautan, sungai, dan lainnya), Common|space dalam konteks ini adalah juga metaphor bagi lingkungan sosial, bumi, dan alam semesta.

Lebih jauh lagi ARTJOG ingin mempertemukan para praktisi seni dengan praktisi dari bidang kreatif lain dalam sebuah ruang penciptaan bersama. Sejumlah perupa diundang untuk memasukkan gagasan karya kolaboratifnya. Sebagai sebuah strategi artistik, kolaborasi adalah praktik yang sangat relevan dengan pengertian the commons. Dalam bingkai kerja yang modernis, kolaborasi dianggap sebagai terobosan metodologis berdaya cipta (inventive) yang mampu menghasilkan kebaruan estetik. Pada kurun termutakhir, para sejarawan telah mendiskusikan kolaborasi sebagai cara baru untuk meredefinisi praktik seni, sekaligus sebagai untuk memproyeksikan identitas baru tentang seniman yang telanjur dikonstruksikan sebagai sosok yang terisolasi dan penyendiri. Secara umum, pemahaman tentang kolaborasi adalah sebuah perwujudan dari semangat keterbukaan dan mencairnya subjektivitas ‘seniman’.

Gagasan dasar tersebut kemudian dibumikan dengan mengundang para seniman lintas disiplin. Misalnya sutradara film Riri Riza yang menampilkan karya seni instalasi dengan film sebagai salah satu unsur utama karyanya. Ada kelompok Piramida Gerilya yang beragam isinya: ada disainer grafs, disainer produk, aktivis LSM, yang kali ini bergerak lewat karya seni instalasinya yang memenuhi salah satu ruangan luas di JNM.

Menarik pula karya Mary Magic yang berjudul “Decolonize (Mendekolonisasi)”. Peneliti masalah sampah dan terlibat dalam JRP (Jogja River Project) menampilkan sebuah karya seni instalasi dalam sebuah ruangan cukup besar. Ada miniatur sungai yang berkelok dari bahan bambu berikut endapan sampah plastic tempat persemaian mikroorganisma yang biasa ditemui oleh Mary di Sungai Code, Yogyakarta. Mary sudah sejak 2012 membuat proyek penelitian tentang sungai dengan inisiatif dari lembaga Lifepatch. Karyanya yang dibawa dalam ruang pameran ini terdiri dari banyak sampah plastik yang digantung di dinding—di samping ada pula video art. Ruang tempat karya Mary berada ini baunya menyengat.

Di samping karya-karya yang menarik perhatian, panitia ARTJOG juga memberikan penghargaan kepada 3 perupa muda yang menjadi peserta pameran. Ini sudah menjadi tradisi beberapa tahun terakhir. Penghargaan itu bernama “Young Artist Award”. Tim jurinya untuk tahun ini tidak tangung-tangung. Mereka sebagian adalah adalah sosok kuat dalam jagat seni rupa kontemporer di Asia Pasifik dewasa ini. Ada Fumio Nanjo (Direktur Mori Art Museum, Tokyo), Aaron Seeto (Direktur Museum MACAN, Jakarta), dan Natasha Sidharta dari IndoArtNow. Para perupa muda yang mendapatkan penghargaan kali ini adalah: Andrita Yuniza dari Bandung dengan karyanya “Whirlwind of Time”, Enka Komariah (Yogyakarta, “Juxtapose #1”), dan Natasha Tontey dari Jakarta (dengan karya “Hama Memberkati/Pest to Power”).

            Mulai tahun 2019 ARTJOG dikonsepkan oleh tim kerjanya sebagai “festival seni rupa kontemporer Yogyakarta” atau “Yogyakarta International Contemporary Art Festival”. ARTJOG ingin terus mempertahankan aspek kemeriahan atau festivity yang begitu heboh. Jauh lebih heboh ketimbang art fair di negara-negara lain yang penduduknya minim. Inilah kelebihan yang disadari dan digarap jauh lebih serius oleh ARTJOG ke depan. Publik seni rupa Indonesia sekarang juga sadar bahwa setiap kali ARTJOG berlangsung, ada puluhan bahkan ratusan perhelaan dan peristiwa seni (rupa) yang mengikutinya. Mereka menjadi satelit penting bagi ARTJOG—yang bergerak bersama geliat ARTJOG. Ada pameran di art space atau galeri, bahkan kamar kos atau rumah kontrakan dengan menampilkan karya para seniman lintas zaman, usia, bahkan hingga lintas segmentasi pasarnya.

            Apakah boom seni rupa yang terakhir terjadi di Indonesia sekitar tahun 2006-2007 lalu telah digantikan dengan “booming halus” yang tidak terasa hebohnya namun merayap perlahan dampaknya bagi seniman dan publik seni? Coba lihat saja. ***

            Kuss Indarto, kurator dan penulis seni rupa