Bayangkanlah ini. Baru pertama kali kenal dan langsung diajak sarapan bersama oleh Tatang Budiono, pemilik teh Tong Tji. Dengan kalem dia kemudian mengambil piring lalu mengelapnya dengan tisu. Dia juga mengambil sendok garpu, dan juga mengelapnya dengan tisu. Kemudian nasi campur bungkus daun pisang itu disajikan di atas piring beserta sendok garpu tadi kepada tamunya.
Alih alih menugaskan office boy, Direktur Utama PT Tong Tji Tea Indonesia ini melakukan sendiri penyajian makanan kepada tamu yang baru berkenalan. Tentu saja apa yang dilakukan Tatang memberikan kesan luar biasa mendalam bagi tamunya.
Dan nampaknya adab melayani tamu dengan baik ini menular kepada jajaran manajemen maupun kepada putera puterinya. Mereka adalah Thomas Tjahajanto, Jessica Febrina, Stella Mariss, dan Timothy Dimas, yang sekarang aktif mengelola perusahaan.
Dalam sebuah kesempatan sebelum wawancara, Stella menawarkan minuman. Ia pun tidak memanggil office boy untuk membuatkan teh. Stella keluar ruang kantornya, kemudian ke pantry mengambil cangkir, mengambil teh celup, menuju dispenser, dan menyajikan sendiri teh itu kepada tamunya.
Bagi Tatang, memiliki sikap baik merupakan keharusan. “Jika kita bersikap baik terhadap siapa pun, maka orang lain akan bersikap baik kepada kita. Sebaliknya kalau kita tidak baik, orang lain pasti juga tidak baik sama kita”, katanya kepada Padmanews, di kantor dan pabriknya yang baru di Jalan Raya Tegal-Pemalang, Kabupaten Tegal, baru baru ini.
Prinsipnya, imbuh dia, bagaimana kita menghargai orang lain yang dengan begitu orang tersebut akan menghargai kita. “Dengan karyawan pun kita harus bersikap baik. Anak-anak memahami betul sikap ini”, katanya.
Menurut Tatang, jadi orang jangan yang susah. “Yang gampang, tapi bukan gampangan. Supaya orang lebih suka berhubungan dengan kita. Kita ini yang mau diandalkan apa? Sebab kalau kita sombong, kan orang tidak mau mendekat kepada kita”, tuturnya.
Sikap Tatang itu ternyata juga banyak memberikan dampak positif dalam membangun dan menjalankan perusahaan. Manajemen dengan sikap persuasi ternyata justru bisa merengkuh karyawan untuk bekerja dengan lebih baik.
“Tentu saja masih ada keterbatasan untuk memenuhi keinginan semua karyawan. Tapi paling tidak, kami berusaha untuk memberikan yang terbaik. Sehingga ketika perusahaan sedang menghadapi masalah, karyawan lebih bisa diajak bicara. Biasanya mereka maklum dan memahami situasinya”.
Ditambahkannya, “Kalau lagi susah kita omong, karena keterbukaan itu penting. Apalagi ini kan menyangkut mangkok nasi bersama. Namun wajar saja kalau masih ada satu dua yang belum terpuaskan”. Dari awal memegang dan mengembangkan perusahaan, sikap persuasi itu teguh dijalankan oleh Tatang.
Menerima Tanggung Jawab
Tatang memulai tanggung jawab pengelolaan perusahaan itu ketika ayahnya, Tjia Swan Liang, meninggal. Ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Arsitektur Universitas Parahyangan.
Dia merasa tidak mungkin meminta kakaknya, Christine Yuyanti, yang kuliah di kedokteran UGM untuk berhenti dan meneruskan usaha orang tua. Sedangkan adiknya, Iking Trisna, juga baru masuk kelas 1 SMA. Dan si bungsu Agus Setyono juga masih kecil, baru berusia 10 tahun.
Tentu menjadi awal yang tidak mudah bagi Tatang untuk memasarkan teh Tong Tji (dulu masih menggunakan nama Teh Tjap 2 Burung) di tengah persaingan para raksasa teh saat itu. Menegakkan dan menjadikan perusahaan agar sehat jadi langkah pertama. Kemudian mulai memperbaiki pasar teh kering di Tegal, Pemalang, Tanjung, Losari, Ketanggungan, dan Ciledug.
Saat itu tak mungkin menggunakan strategi menurunkan harga, sehingga akhirnya Tong Tji lebih berkonsentrasi meningkatkan kualitas. Pemasaran pun dimassifkan. Selain dukungan Hong Lie, istrinya, Tatang juga mendapat bantuan andal dari Tan Ping Ho (Josia Soeharto) dan Tjan Djie Tiong (Hidayat Kuntjoro). Demikian juga semua saudara, ibunya, mertua, adik, kakak ikut memberikan dukungan.
Sempat juga membagi bagi minuman teh secara gratis di mal-mal dalam rangka promosi, Tatang pada akhirnya berpikir itu bukan cara yang tepat untuk mengedukasi masyarakat minum teh. Ketika mengantar dan menengok Thomas yang kuliah di Singapura, Tatang dan Hong Lie melihat warga di sana sangat keranjingan minum bubble tea.
Tatang kemudian mulai menjual es teh dalam cup. “Banyak yang menertawakan. Mereka bilang, Tang apa kamu gak salah? Es teh gelas kok dijual, padahal teh produsen lainnya dibagi gratis”, tuturnya.
Namun Tatang bergeming dengan strategi pemasarannya itu. Awalnya sehari cuma lima orang saja yang beli. Namun Tong Tji akhirnya bisa meyakinkan konsumen, bahwa Tong Tji selalu disajikan dengan gelas baru, gula bagus, dan air yang bersih. “Ketika akhirnya Tong Tji laku, yang lain akhirnya meniru jualan juga”.
Image kombinasi teh yang enak, berkualitas, dan sehat membuat Tong Tji mampu bertahan di harga yang lebih tinggi dibandingkan pesaing. Ketika para pesaing menjual teh gelas Rp 500, Tong Tji menjual teh Rp 1.500 per gelas. Pada saat bersamaan Tong Tji juga mengembangkan dan memasarkan kembali teh premiumnya.
Persaingan penjualan minuman teh yang sengit, membuat Tatang memikirkan inovasi lagi. Lalu lahirlah tea bar, yang menjual apa pun yang bisa dinikmati bersama teh. Di tea bar ini, Tong Tji menjual mendoan, pisang goreng, dan ketela goreng.
Dalam perkembangannya, makan camilan saja dianggap tidak cukup. Muncullah tea house, yang merupakan restoran yang juga tetap menjual teh. Kemudian juga lahir es krim khas Tong Tji. Gerai-gerai Tong Tji pun kemudian merambah berbagai kota besar di seluruh Indonesia.
Diminta Rukun
Tatang merasa bersyukur dengan apa yang sudah diperolehnya dan apa yang dicapai oleh Tong Tji sebagai sebuah perusahaan. “Saya bersyukur karena apa yang sudah diraih Tong Tji sekarang sungguh luar biasa”, katanya.
Ia juga menegaskan secara bertahap dia akan mundur dari perusahaan, dan menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada putera puterinya. “Sebenarnya sekarang pun kalau saya lepas, 90 persen mereka sudah bisa. Kita tinggal mengingatkan saja hal hal penting yang barangkali mereka luput”, tambahnya.
Itulah sebabnya Tatang selalu menekankan kepada anak-anaknya agar terus rukun supaya sebagai tim bisa semakin mengembangkan perusahaan. Dan ia yakin mereka pasti bisa. Apalagi ditunjang kemampuan IT, yang membuat bekerja lebih efisien dan paperless, serta speed yang lebih kencang.
Ia juga meyakini bahwa anak-anaknya tidak punya kebiasaan hidup bermewah-mewah. Dan itu hal yang baik. “Saya malah kadang yang mereka rem. Waktu bikin kantor dan pabrik baru ini, mereka selalu menanyakan kenapa harus pakai ini, kenapa pakai itu, intinya supaya tidak keluar anggaran besar. Padahal menurut saya ini untuk mendukung image juga”.
Menurutnya, pabrik otomatis, higienis, SDM terdidik dan bersih akan menghasilkan produk yang terpercaya. “Memang saya selalu menekankan kami bukan memproduksi barang yang murah, tetapi produk yang bagus. Jika produknya bagus, mereka akan mengulangi konsumsinya”, tuturnya.
Tatang sekarang juga banyak menggunakan waktunya untuk kegiatan sosial, aktif di gereja untuk penggalangan dana, dan lain lain. Diyakininya “tangan Tuhan” lah yang mengantar dirinya ke posisi sekarang ini. Ia merasa tenang regenerasi di Tong Tji berjalan dengan baik. Tidak hanya mewariskan perusahaan dan manajerial yang baik, tetapi juga melestarikan adab dan budi pekerti yang baik, kepada anak-anaknya maupun sivitas perusahaan lain.
Tentu saja itu adalah buah keteladanan yang dicontohkan Tatang dalam kehidupan sehari-hari. Dan itulah yang dipersaksikan oleh putera puterinya. Thomas mengatakan, “Yang perlu dicontoh dari Papi adalah bagaimana perlakuannya terhadap seseorang, sehingga orang itu mau berkorban dan mau berjuang bersama membangun perusahaan”.
Model mengajar Papi, tambah Jessica, selalu menunjukkan contoh, sehingga kami jadi tidak enak sendiri. “Kalau kami malas atau tidak mau mengerjakan sesuatu, jadi tidak enak, karena Papi sendiri memberi contoh mengerjakan itu. Keteladanan ini lebih efektif buat pendidikan kami daripada dengan cara marah misalnya”.
Menurut Stella, Papinya itu selalu memberi contoh bagaimana menjadi pemimpin yang bisa memberikan solusi kepada bawahan. Juga menjadi pemimpin yang care, kepada karyawan, keluarga, maupun sesama. “Dia jarang marah, juga kepada karyawan. Kalaupun marah, pasti karena orangnya atau masalahnya memang sudah keterlaluan”, ucapnya.
Dimas merasakan sendiri bagaimana dia dididik oleh ayahnya sejak kecil dengan contoh-contoh langsung. Dia sendiri waktu itu cuma merasakan seperti sedang bermain di perusahaan. Tapi praktik praktik menimbang bunga melati, memasukkan data ke buku, memperbaiki kemasan ternyata sangat bermanfaat ketika ikut menangani langsung perusahaan. Demikian juga yang dirasakan Josia. Dalam pandangannya, Tatang sangat menghargai orang lain. “Sedikit sekali bos yang mau mengambilkan nasi untuk bawahan. Pak Tatang lain. Kalau pas makan makan, dia tak segan mengambilkan nasi atau menyiapkan sendok dan garpu. Itu yang saya tiru sampai sekarang. Kalau saya mengajak makan orang, saya tak segan untuk meladeni. Bahkan kalau kita belanja banyak barang di pasar, dia pun tak segan ikut membawakan”. (Bp)