Predikat sekolah besar adalah jika mampu membina perkembangan pribadi siswa secara utuh. Membina kaum muda menjadi pejuang-pejuang pembaharu dunia yang tidak hanya berkompeten. Namun juga berhati nurani benar, berkepedulian sosial, dan berkomitmen dengan menekankan pada keunggulan intelektual, budi pekerti luhur, humaniora serta kepekaan terhadap tanda-tanda zaman.
Sebagai sekolah yang memiliki predikat terbaik di Jawa Tengah, SMA Kolese Loyola Semarang terus berupaya membina para siswa menjadi pribadi utuh dan bermakna bagi sesama manusia. Melalui slogan yang dikembangkan, yaitu manajemen forming men and women for others, integritas pribadi siswa diarahkan pada Kompetensi (ilmu pengetahuan), Konsiens (hati nurani), Kompasion (welas asih), dan Komitmen. Nilai-nilai yang lebih dikenal dengan istilah 4C ini terus dihidupkan di SMA yang memiliki dua jurusan, IPA dan IPS.
Romo Antonius Vico Christiawan SJ MHum, kepala sekolah SMA Kolese Loyola mengatakan, para Jesuit termasuk dirinya terus mengimplementasikan atau menerapkan nilai-nilai para pendiri Loyola tersebut. Jesuit adalah anggota Serikat Yesus, yaitu sebuah ordo religious dalam Gereja Katolik yang beranggotakan sekitar 19 ribu orang (laki-laki) yang tersebar di 6 benua dan 124 negara di berbagai penjuru dunia. Anggota Serikat Yesus ini terdiri dari para imam, bruder ataupun skolastik (frater) yang sedang belajar dalam proses pendidikan imam.
“Kami juga memiliki buku panduan bagaimana cara bertindak di sebuah lembaga pendidikan. Ada dua buku yang menjadi babon sekolah kami. Salah satunya buku biru cara bertindak para pendidik, mulai rektor, kepala sekolah, siswa, para pendidik, para tenaga kependidikan, dan orang tua. Semua ada di buku itu. Sebagai contoh, bagaimana kepala sekolah bertugas untuk memastikan pendidikan di sekolah ini berjalan dengan baik menurut nilai-nilai yang sudah ditetapkan, yaitu 4C,” ungkap pria 44 tahun ini saat ditemui di SMA Kolese Loyola Jl Karanganyar No 37 Semarang.
Lebih lanjut Romo Vico, begitu ia biasa disapa, menguraikan satu per satu nilai-nilai yang menjadi dasar pengembangan siswa di Loyola, yaitu Competence, Consience, Compassion, dan Commitment.
“Nilai competence atau kompetensi adalah bagaimana mengembangkan intelektual siswa semaksimal mungkin. Kita ini punya akal budi, punya anugerah otak untuk berkembang, karena itu harus diasah,” ujarnya.
Pengetahuan, kata Romo Vico, tidak hanya dari para guru. Tapi bagaimana pengetahuan itu bisa didapatkan dari kegiatan-kegiatan humaniora atau kegiatan kepanitiaan.
“Misalnya, panitia kan harus membuat anggaran karena harus tahu pemasukan dan pengeluaran, kredit/debit, itu dari guru Ekonomi. Lalu cara membuat laporan yang baik, tata bahasa proposal, mengenai latar belakang, itu dari guru Bahasa Indonesia. Kemudian bagaimana cara bernegosiasi dengan pihak ketiga. Lalu merancang sebuah acara, mulai dari persiapan dan seterusnya, ini adalah soal kepala atau kompetensi. Nah, keterampilan-keterampilan inilah yang bisa didapat dan lahir dari mata pelajaran-mata pelajaran yang ada,” paparnya.
Jika anak-anak selama tiga tahun terlatih berorganisasi dan kepanitiaan, kata Romo Vico, sense-nya menjadi pemimpin akan cukup baik.
Sebab, mereka terbiasa berjuang menyiapkan kegiatan, rapat hingga tengah malam, beda pendapat dalam sebuah diskusi, selisih paham hingga menemui banyak permasalahan yang muncul dan harus bisa diselesaikan.
“ Latihan-latihan kecil seperti ini sebenarnya agar anak bisa terampil menjadi leader. Termasuk di dalamnya melatih meningkatkan kepercayaan diri dan mengatasi rasa malu,” ujarnya.
Keterampilan-keterampilan ini biasanya didapat di kelas 10. Di mana siswa dalam proses pengaderan atau sedang dikader. Mereka belajar untuk ngenger atau magang kerja, mencicipi kerasnya dunia kerja orang tua. Dengan demikian, anak bisa merasakan bahwa begitu berat orang tua mencari nafkah untuk membayar uang sekolah. Anak-anak diajari untuk menghargai jerih payah orang tuanya.
Hasil dari pengaderan itu, di kelas 10 biasanya mereka menjadi wakil anggota. Kemudian di kelas 11 sudah menjadi kepala atau koordinator-koordinator dan wakil ketua. Kelas 12 sebagai mentor, karena sudah berpengalaman di kantor.
Dari kompeten menuju Consience atau soal hati nurani. Mengasah hati nurani siswa agar menjadi pribadi yang peka pada keadaan. “Kalau kata Aristoteles, hidup yang tidak dimanfaatkan itu adalah hidup yang tidak berguna. Jadi, kita mengajarkan bagaimana memaknai hidup melalui refleksi. Siswa diajari peka pada perasaan. Caranya, di akhir pembelajaran siswa melakukan pemeriksaan selama lima menit. Guru memandu siswa untuk mengemukakan perasaannya, seharian ini apa yang dilakukan, apa yang dirasakan (sedih, senang, marah), apa yang paling dominan dilakukan di sekolah. Tulisan-tulisan itu dibuat dan dikumpulkan ke wali kelas, lalu dibacakan. Memang berat, karena itu dilakukan setiap hari dan selama tiga tahun. Wali kelas atau pamong berperan memonitoring. Di akhir Sabtu, catatan dari Senin hingga Jumat dibuat kesimpulan, dibuat judul dan disampaikan kepada Tuhan. Menuliskan perasaan atau pengalaman-pengalaman harian yang melibatkan rasa afeksi inilah yang bertujuan menyapa batiniah anak-anak yang sering terlewatkan. Dengan disapa maka batin menjadi tidak bergejolak,” beber Romo Vico.
Selanjutnya, Compassions (welas asih). Berbelarasa itu bukan sekadar simpati dan empati, tapi juga action/bertindak. Konkretnya, menyumbang. Mengasah hati dengan membantu anak-anak yang kurang mampu, anak-anak disabilitas, panti asuhan, dan panti jompo. Biasanya sekolah akan mengundang mereka atau lewat zoom untuk bercerita atau menyampaikan perjuangan hidupnya.
Dari mendengarkan cerita tersebut, anak-anak akan tersentuh hatinya, lalu bergerak untuk melakukan sesuatu agar bisa membantu atau memberikan sumbangan, tentunya sesuai dengan skala anak. Meski demikian, wali kelas selalu mengingatkan agar anak-anak membantu di lingkup terdekat lebih dahulu, yaitu teman sekolah apakah masih ada yang kekurangan atau tidak.
Terakhir Komitmen untuk tetap berbuat baik. Komitmen untuk tetap unggul di akademik. Meskipun memiliki kegiatan banyak, nilai akademik jangan sampai turun. Komitmen untuk mengelola waktu, komitmen untuk terus unggul dalam hal intelektual, pengembangan diri, dan terus menerus mengasah talenta-talenta yang ada.
Ngemong Anak Muda
Hingga saat ini SMA Kolese Loyola tetap besar dan terus mampu mempertahankan predikat sebagai sekolah terbaik di Jawa Tengah. Bahkan sekolah yang telah meluluskan banyak alumnus sukses ini terus mampu meningkatkan kualitasnya di tengah-tengah masa sulit pandemi.
“Kunci sekolah bisa laris sebenarnya cukup sederhana, anak-anak di-openi (diperhatikan). Para guru dan karyawan di sekolah mana pun dengan jumlah murid berapa pun, kalau muridnya benar-benar diperhatikan dan ditemani, tidak hanya knowledge-nya (pelajaran), tapi juga nilai-nilai kehidupan serta diberi pengertian, maka tidak akan kekurangan siswa. Karena itu kesaksian. Murid akan merasakan, ‘aku di sekolah ini dekat dengan guruku. Kalau salah ya dipanggil, diajari’. Guru atau pamong bisa jadi teman dan tidak ada jarak,” ungkapnya.
Selain itu, setiap siswa diberi tempat atau panggung. Karena setiap siswa pasti memiliki prestasi dan tidak harus juara kelas. Prestasi bisa juara apa pun. Menjadi ketua panitia itu juga prestasi, karena memiliki kelebihan dalam hal mengoordinir, prestasi bermain musik, menggambar, olah raga, dan lainnya.
“Di situlah kekuatan sekolah apa pun mereknya. Yang namanya guru ya jadilah guru yang momong anak-anak yang dititipkaan oleh orang tuanya. Kalau bahasa rohaninya dititipkan Tuhan untuk dirawat di masa remajanya,” ungkap Romo Vico.
Hal penting lainnya adalah menyinergikan alumni dengan sekolah. Menurut Romo Vico, sekolah tidak akan berkembang tanpa peran alumni. Alumni itu dari berbagai macam lintas ilmu. Karena itu, sekolah harus punya database alumni. Sekolah harus tetap menyediakan ruang-ruang alumni agar bisa kembali. Karena bagaimana pun alumni punya peran besar mengembangkan sekolah. Alumni merupakan tokoh siswa yang sukses belajar selama tiga tahun hingga lulus dan bisa menjadi role model.
Jika hubungan antara alumni dan sekolah terjalin secara baik, akan sangat membantu. Alumni pasti akan menyumbangkan sesuatu untuk almamaternya.
Dan dalam rangka membangun jejaring para alumni, Romo Vico mengusulkan ke yayasan terkait ada kerja sama siswa antarkolese atau sekolah di Asia Pasific meskipun hanya virtual. Hal ini sebagai salah satu membangun kebanggaan sebagai alumni Loyola. Di mana, ada jaringan alumni dari berbagai kota dan negara, sehingga anak-anak tidak hanya terikat di sekolah tersebut, tetapi juga secara internasional atau dunia.(Sasy)