Ketika membuka gerbang Rumah Abu Tan Liang Hoo (TLH) milik keluarga Chris Dharmawan (61) di Desa Wanutengah, Parakan, Temanggung, ingatan saya langsung tertuju pada film Kungfu Hustle. Seolah-olah di
dalam Rumah Abu itu ada Stephen Chow, sang sutradara sekaligus pemeran utamanya.
Tak ingin luruh terbawa imaji film yang mengisahkan kekacauan di Kota Shanghai dan kiprah Geng Kapak Merah
yang ‘nggegirisi’, saya mencoba menerka berapa usia tiangtiang kayu, daun-daun pintu dan jendela yang cukup besar dan begitu kokoh itu.
‘’Tiang, daun pintu, jendela, dan kusen-kusen di rumah abu ini terbuat dari kayu jati,’’ jelas Chris, si pemilik, seolah mengerti pertanyaan yang ada di dalam benak saya.
Namun ada salah satu perabot kursi, bangku, dan meja kecil yang memakai kayu swanci. ‘’Kayukayu ini dibawa dari China ke Jawa sebelum tahun 1850.’’ Sebagaimana kita ketahui bersama, kayu swanci (zhitan wood) adalah kayu yang memiliki berat jenis sangat berat di banding kayu lain. Kayu jenis ini tidak mengambang namun tenggelam di air.
Rasa cinta dan hormat kepada orang tua dan leluhurnya diwujudkan Chris dengan membangun rumah abu itu khusus untuk mengadakan sembahyangan kepada leluhur. Dan, nama kakeknya, yakni Tan Liang Hoo (TLH) diabadikan sebagai nama untuk rumah abu tersebut.
Pemersatu Keluarga
Di Rumah Abu TLH, untuk menghormati leluhur tidak berhenti pada sebuah altar leluhur (kongpo), tetapi meliputi sebuah bangunan arsitektur sebesar rumah tinggal dengan pelataran cukup luas yang dikelilingi pagar tembok.
‘’Rumah abu ini sebenarnya bekas bangunan Kelenteng Hok Tek Tong Parakan yang didirikan pada tahun 1852. Bangunan kelenteng itu pernah direnovasi kakek saya yang hidup pada 1876-1956,’’ jelasnya.
Lebih jauh pria berkaca mata itu menambahkan bahwa bangunan kelenteng itu sebagai alat pemersatu keluarga. Sebab, Tan Lian Hoo memiliki dua orang istri yang masing-masing memiliki 10 anak. ‘’Ayah saya, Bambang Wisudha, adalah anak ke-7 dari istri kedua kakek Hoo. Ayah saya anggota Partai Nasional Indonesia tulen yang ikut berjuang untuk bangsa dan negara Indonesia.’’
Bagi Chris, Rumah Abu TLH itu adalah berkah tersendiri. Pada tahun 2012, para pengurus dan donatur Kelenteng Hok Tek Tong Parakan memutuskan mengganti joglo asli dengan yang baru, karena dianggap sudah tak layak. ereka meminta Chris untuk membuat yang baru.
Chris sendiri mencoba mengajak mereka untuk mengonservasi bangunan lama ketimbang menggantinya dengan yang baru.
Namun, keputusan sudah diambil. Dan ia pun melaksanakan permintaan mereka. Sampai bangunan joglo baru selesai dibangun, bongkaran kayu joglo lama masih teronggok termakan hujan dan panas.
Ia pun mengulang permintaannya untuk membeli kayu-kayu bongkaran joglo itu. Ia ingin memulihkan joglo itu lagi seperti semula, dengan cara mengonservasinya. ‘’Tak disangka, kayu-kayu itu malah diberikan kepada saya secara cuma-cuma. Ini benar-benar sebuah berkah,’’ kata Chris sambil tersenyum.
Berawal dari bongkaran kayu bangunan joglo tua itulah, Chris lalu mendesain suatu bangunan bergaya Tionghoa dengan arsitektur kelenteng. Bagian paling sulit adalah membuat lekukan atapnya agar tampak cantik dan luwes.
Pengalaman membangun Rumah Abu ini membuatnya angkat topi pada tukangtukang zaman dahulu. ‘’Untuk menautkan kusen pintu sebesar itu, cukup dengan pasak kayu. Tak ada paku. Daun pintunya juga tanpa engsel, meski pintu (bergaya kupu tarung) ini sangat berat bobotnya.’’