Lingkungan sekitarnya mengenal CEO Polytron Hariono sebagai pribadi yang berpembawaan kalem dan sederhana. Namun mereka juga tahu bahwa Hariono orang yang sangat ahli di bidang elektronik, memiliki sense of art yang tinggi, yang sangat berguna dalam desain produk meski dia sendiri mengaku tidak mampu menggambar dengan baik .
Selain itu dalam bisnis, Hariono juga dipandang memiliki ketepatan dalam
melihat pasar, memahami situasi ekonomi, dan cepat mengambil keputusan guna
mengambil langkah di internal
perusahaan dalam mengatasi masalah eksternal perusahaan.
Dalam sebuah kesempatan beberapa
waktu lalu Hariono berbincang tentang perjalanan dirinya dengan Tim
Padmanews di kantornya di Kudus. Dia didampingi oleh beberapa staf yang sudah cukup lama bekerjasama.
Lahir di Bojonegoro Jawa Timur 18 April 1953, Hariono mengenyam SD dan SMP di Bojonegoro, kemudian melanjutkan di
Surabaya di SMA Petra. Lulus SMA kemudian melanjutkan
di ITS mengambil jurusan elektronik.
Masuk elektronik itu karena saran guru Fisika waktu di SMA, karena dia dinilai kuat di matematika dan fisika. “Beliau meminta saya
melanjutkan di elektro, karena masa depan itu nantinya di elektronik”, terang Hariono.
Pada Tahun 1972 masuk ke Fakultas Teknik Elektro ITS , “Salah satu daya tarik saya masuk ITS karena saat itu FTE-ITS sudah berhasil membuat pemancar televisi hitam putih”.
Lulus tahun 1978, dia kemudian bekerja di sebuah perusahaan elektronik besar di Surabaya yang mempunyai karyawan sekitar 4000 orang dan memproduksi TV, audio, radio cassete, dan speaker. Di perusahaan itu Hariono bekerja sebagai asisten manajer di bagian televisi, yang merakit sebuah merek terkenal.
Setelah sekian waktu bekerja di bagian produksi bersama orang-orang Jepang, Hariono berpikir-pikir dan merasa ilmunya tidak dipakai secara optimal jika tetap berkutat di bagian produksi, padahal dia adalah technical engineer. Kalau ada problem minor pun di pabrik Surabaya itu, meski solusi sudah diketahui, tidak boleh ditangani langsung tetapi harus konsultasi ke kantor pusat di Jepang.
Kebetulan teman satu angkatan, Dwijaja Setiabudi
yang sudah terlebih dahulu bekerja di PT Hartono
Istana Teknologi yang
memproduksi Polytron mengajaknya pindah. “Dia bilang Polytron mau bikin divisi
riset dan
pengembangan (R&D). Itu yang membuat saya tertarik”, katanya. Setelah
setahun berkarya di perusahaan
elektronik besar di Surabaya, tepat pada bulan Mei 1979, Hariono pindah
ke PT Hartono
Istana Teknologi, Kudus.
Waktu itu PT HIT sudah merakit televisi dari Taiwan, namun karena problem teknis yakni warna yang sering hilang, maka produknya tidak bisa dijual.
“Jadi ketika masuk, saya dan teman-teman insinyur lain bertugas menyelesaikan
problem itu. Waktu itu
kalau kerja dari pagi sampai jam 22.00, setiap hari. Setelah 4 bulan problem
itu bisa diselesaikan. Sebenarnya kami
waktu itu juga mengundang desainernya dari Taiwan dan mereka tinggal sebulan di sini, tapi mereka ternyata
tidak bisa menyelesaikannya”.
Kemudian ketika membeli kit dari Philips, ternyata juga ada problem yang harus diatasi. Ketika power supply-nya rusak seluruh komponennya juga rusak. Kemudian Polytron dapat partner lagi, Nokia,
yang kemudian memproduksi televisi bermerek Salora.
“Saya dikirim ke Finlandia untuk belajar. Mereka sangat terbuka, dan kami
mendapat pelatihan
menyeluruh. Kemudian kerja sama berlanjut dengan pembelian peralatannya. Namun
karena mahal, akhirnya kami buat sendiri. Selain menjual produk Salora yang
sudah bagus, kami
juga mengembangkan produk sendiri”.
Menurutnya, karena Polytron perusahaan teknologi, maka R&D memegang peran penting untuk menciptakan berbagai inovasi. Contoh produk Polytron yang inovatif dan menjadi trend setter yang diikuti oleh merk lain diantaranya : sound bar ( speaker untuk LED TV ), kulkas dengan pintu kaca bermotif bunga
Tergantung Imajinasi
Mengenai kemampuannya dalam artistik produk, diakui oleh Hariono dirinya memang tidak mampu menggambar. Oleh karena itu semua ide hasil imajinasinya diwujudkan oleh para “art designer” yang tergabung dalam timnya.
“Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana memahami tentang artistik dan juga
kombinasi warna
produk. Namun yang jelas bisa merasakan sense-nya. Menurut saya dalam hal seni bukan masalah bisa atau tidak bisa menggambar, namun tergantung dari kemampuan
imajinasi. Meski
tidak bisa menggambar
tapi saya punya imajinasi, maka saya bisa meminta orang lain untuk memvisualisasikan imajinasi saya ke dalam gambar”.
Oleh karena itu ia kepada timnya selalu berpesan, kalau merekrut karyawan untuk bagian Industrial Design ( ID ) bukan yang
hanya bisa menggambar saja, tetapi yang tak kalah penting adalah kemampuan imajinasinya.
“Kadang kalau pas merenung keluar ide-ide, maka besoknya saya segera minta tim untuk memvisualisasikan gagasan itu.
Hariono merasakan bahwa passion-nya adalah di pekerjaan terutama design, sehingga tinggal dimana pun tidak
menjadi masalah,
katanya ketika dia ditanya mengapa lebih senang tinggal di Kudus. “Memang ketika pindah ke Kudus sempat ada
yang menanyakan, lho kamu sudah enak di sana perusahaan besar, kok malah pindah ke sini? Memang
pada waktu itu kondisi perusahaan
Polytron sedang kurang baik, karyawan
baru 300-an,
sementara di perusahaan elektronik terdahulu di Surabaya sudah 4000 lebih”.
“Saya melihat meski di Surabaya perusahaan besar, tapi merasa tidak punya
prospek. Jadi meskipun
saat itu ada yang bilang perusahaan di Kudus ini mau bangkrut, saya bilang
tidak apa-apa. Toh
saat itu saya masih muda. Jadi kalau pun perusahaan ini tutup, saya masih bisa mencari kerja di perusahaan lain”.
Sejak awal, sang pemilik perusahaan, Bapak Budi Hartono memang ingin membangun manufaktur, bukan hanya
pabrik perakit. Itulah mengapa divisi R&D-nya dibangun lengkap. Owner yakin jika hanya merakit dalam
jangka panjang tidak ada nilai tambahnya. Dan membangun sebuah
pabrik butuh upaya dan waktu, membangun sumber daya manusianya dulu, lalu
R&D. Itu semua
butuh waktu.
Menurutnya, kalau pemiliknya orang lain bisa jadi Polytron sudah ditutup sejak dahulu, karena meskipun sudah enam tahun berdiri Polytron masih mengalami kerugian. “Visi owner itulah yang membuat tim kami yakin dengan perusahaan ini”
Sesuai Passion
Hariono mengungkapkan kepuasan yang diperoleh setelah bekerja di Polytron adalah ketika bekerja sesuai dengan passion itu menjadi menyenangkan, tidak merasa capek, dan kemudian perusahaan juga memberikan kompensasi yang memadai. “Jadi kita tidak perlu lagi mikir untuk pindah ke tempat lain”.
Apalagi pemilik perusahaan juga memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada
karyawan yang
berpotensi untuk mengembangkan perusahaan. “Tentu saja dukungan shareholder
juga sangat penting”.
Tahun 1980 perusahaan mengurangi
karyawan sekitar 100-an orang, delapan
engineer yang baru direkrut bersamaan dengan Hariono langsung pergi semua, karena
menganggap perusahaan ini tidak punya
prospek.
Namun Hariono bertahan, karena yakin bahwa perusahaan ini akan bisa maju dan berkembang. Karakter ini yang membuat Hariono terlihat sebagai seorang “risk taker”, yang sekaligus juga visioner.
Sebagai pimpinan puncak, Hariono masih suka sharing dengan para staf dari
berbagai bidang. “Jangan
sampai pengetahuan dan pengalaman yang saya
punya ini saya bawa pergi begitu saja, kan sia-sia itu. Kalau bisa kan kita wariskan”, ucapnya.
Salah satu
staf, Enik Sukendri menambahkan, “Sampai kami tulis satu
modul/satu buku yang isinya
pengalaman dalam bernegosiasi beserta teknik- teknik nya, Pak
Hariono juga sangat piawai. Kami beruntung diwarisi banyak ilmu bernegosiasi. Selain tekun, visioner, Bapak itu juga lembut”.
Pada tahun 1998, ketika terjadi PHK besar-besaran karena krisis moneter, perusahaan merugi dan sales tinggal 10 persen. Ketika itu para karyawan dikumpulkan di halaman /area parkir yang luas, dan bagian HRD memberikan arahan dan pengertian kepada seluruh karyawan, untuk mengundurkan diri secara sukarela, untuk mengurangi beban perusahaan, agar perusahaan bisa survive. Pada saat itu Pak Hariono sempat meneteskan airmata karena tidak tega melihat 2000 karyawan yang diminta mundur, namun juga nasib keluarganya. “Waktu itu juga hanya ditawarkan, kalau tidak mau tidak apa ”, tutur Hariono.
( Red : salah satu pengarahan dari HRD adalah – pengurangan ini bersifat sementara – apabila situasi sudah normal kembali – karyawan diberi pilihan akan direkrut kembali )
Enik juga mengungkapkan, Hariono lebih
menyukai ruang kerja yang tanpa sekat. Ia lebih senang menyatu
dengan para staf dan karyawannya.
Setelah krisis tahun 1998 itu, seluruh jajaran kemudian bekerja keras. Dan
hasilnya pada tahun 2000
sudah bisa recovery. Thomas yang waktu itu merupakan Project Leader Audio menambahkan, justru pada saat krisis itulah muncul
ide-ide kreatif pada produk Audio Polytron – harga lebih hemat namun kualitas tetap bagus.
Hariono menetapkan bahwa R&D harus tetap hidup dan berinovasi supaya
perusahaan tetap berjalan.
Filosofi yang diterapkan kepada karyawan, jangan mengatakan tidak bisa sebelum sesuatu dicoba terlebih dahulu.
“Saya tidak suka kalau ada karyawan yang bilang tidak bisa, wong belum dicoba kok bilang tidak bisa.
Coba dulu, nanti dilihat apa saja kesulitannya, kan saya juga membantu”, ucapnya.
Hal lain yan dia terapkan
adalah berlaku seperti rekan kerja,
bukan antara atasan dan bawahan, hanya memang tanggung jawabnya yang berbeda. “Jadi kalau
misalnya kami berkunjung dan melihat pameran ke luar
negeri ya kami bareng-bareng.
Meskipun saya diberi fasilitas kelas bisnis di pesawat, tetapi tidak pernah
saya ambil”, katanya.
Enik menambahkan, Hariono juga mengajarkan kepada para staf untuk berani mengambil keputusan. “Kami diajari langsung oleh Bapak untuk segera mengambil keputusan jika ada masalah. Setelah itu Bapak akan bilang, oke kamu sudah tahu caranya, besok lagi lakukan sendiri”.
Hariono disebut Enik tak segan untuk mensuport para
staf. Misalnya ketika ada
kebutuhan untuk didukung
oleh Bagian Keuangan, Hariono mengajak staf
R&D ke pimpinan Bagian Keuangan dan bilang ada masalah begini dan butuh dukungan dari bagian keuangan sepenuhnya.
“Karena bisa memberikan alasan yang masuk akal, biasanya Pimpinan Bagian
Lain bisa mengerti dan setuju”.
Thomas juga menyebut, Hariono suka melakukan coaching. “Jadi ketika kami membuat sebuah produk, kami berdiskusi bersama tiap-tiap projek itu”.
Tantangan lain adalah ketika Hariono diangkat menjadi CEO pada tahun 2005. Terbiasa mengatur R&D yang lebih teknis, menjadi CEO mengharuskannya memahami tentang finance, sales & marketing, dan lain-lain. “itu merupakan tantangan yang sangat berat”.
Hariono kemudian bekerja sangat keras untuk belajar. Ia membaca buku dan mengikuti berbagai training soal marketing, keuangan, dan lain-lain. Sebagai CEO, Hariono merasa perlu memahami masalah finance, karena indikator perusahaan ada di keuangan ini.
Dari sejak diangkat
hingga fasih sebagai CEO memang diakuinya membutuhkan waktu cukup lama, karena perusahaan saat itu cukup stagnan dan juga ada
permasalahan human resources .
Kepada generasi baru di perusahaan, Hariono menyampaikan pesan tidak ada yang
diraih dengan instan, tetapi juga perlu menjalani proses.
“Saya dulu kan juga masuk ke perusahaan sebagai design engineer biasa. Terus menjadi kepala bagian desain,
lalu naik sebagai manajer R&D, dan seterusnya.
Jadi kalau nanti jadi pemimpin akan lebih matang dan melalui
proses yang alami”.
Komentar Sejawat
Beberapa sejawat secara terpisah memberikan kesaksian bahwa Hariono adalah
pribadi yang baik dan
pimpinan yang menyenangkan. Head of Cost Control Sutejo Cahyo yang masuk ke Polytron hampir bersamaan waktunya mengungkapkan, ketika
memberikan pekerjaan, Hariono
yakin yang
bersangkutan bisa.
Jika masih ada yang kurang, biasanya diberi training. Hariono dinilai bisa menakar kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan baru. “Meskipun kompetensinya bukan di situ, tapi beliau selalu ngajari, sehingga akhirnya staf yang diajari bisa”.
Cahyo juga menyebut Hariono luar biasa di angka. “Angka yang keliru pasti
ketahuan. Logikanya sangat kuat. Berani melakukan eksekusi pada hal-hal yang
orang lain mungkin tidak berani
memutuskan. Contoh, suatu ketika PT HIT membuat mould di luar negeri, mengalami delivery mundur. Jika terlambat satu bulan bisa dihitung “ lost
opportunity” yang nilai nya bisa miliaran . Lalu Pak Hariono bilang kalau mould ini dikirim menggunakan pesawat, (bukan menggunakan kapal)
dengan biaya yang sedikit lebih mahal, tetapi bisa datang lebih awal. Pak Hariono
bisa melakukan itu, karena memakai logika dan
ada hitungannya”.
“Keputusan itu dilakukan ketika Beliau masih sebagai Direktur R&D”, tambah Cahyo
Hariono itu juga dinilainya tahu makro sekaligus paham mikro. Misal bagaimana menghitung pembelian mesin injection dan bakal kembali berapa tahun. “Dan itu juga diajarkan ke kita – kita ini. Biasanya bos itu kan tahunya makro, dan minta orang di bawahnya untuk menerjemahkan ke mikro. Nah Pak Hariono ini sangat paham mikro, jadi soal angka sangat ahli. Yang jelas beliau tidak sembarangan memarahi orang. Saya yang puluhan tahun barengan tidak pernah dimarahi. Kalau ada yang keliru paling dikasih tahu”.
Sementara staff Art design Tony Djoko
Iriyanto mengungkapkan, Hariono ini pribadi yang
tidak membeda-bedakan. “Sama orang lain, termasuk kepada bawahan menghargai. Setiap tahun ketika menghadiri pameran elektronik di
China, Beliau itu ya
satu kamar sama saya. Tidak
mau ada perlakuan khusus”.
“Beliau juga memiliki tenggang-rasa ketika dalam bekerja, bisa menerima dan memahami perbedaan pendapat dan kebiasaan”.
Hal lain adalah sikapnya yang sangat peduli dan suka membantu orang lain. “Waktu di Jepang itu kan stasiun keretanya di bawah tanah,
Pak Hariono itu ya ikut mengangkat produk sampel misalnya televisi, speaker dan
lain-lain”.
Tony yang masuk Polytron tahun 1985 langsung di bawah Hariono. “Saya langsung
tahu bahwa dalam pekerjaan, Pak Hariono
itu teliti, care dan perfect. Orangnya itu detail banget, dan daya ingatnya luar biasa, bukan saja pada angka, bahkan soal warna berubah itu Beliau juga ingat. Ketika Beliau
berkunjung di salah satu Mall di Semarang, Beliau melihat salah satu produk kulkas yang menurut Beliau warnanya ada
perubahan. Beliau
bilang, Ton coba besok kamu cek warna ke Mall tersebut sambil bawa
sampel warnanya.”
Kami bersama tim produksi berangkat ke Semarang dan setelah melihat , hasilnya ternyata memang benar, warnanya “menyimpang. Bentuk berubah Beliau juga tahu. Jika ada perbedaan antara barang jadi dengan mock up yang pernah di-acc, Beliau juga tahu. Hal lain, adalah ketika saya dimarahi Pak Hariono, saya tidak pernah sakit hati karena saya pasti salah”.
Tony melihat loyalitas Hariono kepada perusahaan sangat tinggi. Pulang meeting
dari Jakarta, tiba di Kudus pukul 15.00, dia naruh tas terus pergi ke kantor.
Jadi gak pakai istirahat dulu, tetapi
langsung kerja sampai malam.
“Beliau juga orangnya blak-blakan apa adanya. Pak Hariono itu orangnya juga titis (tepat
& cermat) . Dalam
bisnis Beliau tahu bahwa
suatu saat akan ada penurunan.
Nah sebelum turun, Beliau akan membuat strategi bagaimana agar penjualan produk ini
menanjak kembali”.
Contoh kulkas ada penurunan penjualan, dicari kenapa sebabnya. Jika diketahui konsumen suka ukuran yang lebih besar, maka dibuatlah kulkas yang besar.
Hariono juga dinilai mencetuskan
banyak bahasa marketing untuk produk-produk Polytron. “Saya pernah bikin stiker kecil untuk mesin cuci
bertuliskan “membersihkan baju…”, dan ketika Pak
Hariono membaca, Beliau minta tulisan itu diganti
“membersihkan pakaian” atau “membersihkan
cucian”.
” Wah iya bener juga. Padahal saya
tidak terlalu memperhatikan,
beliau cermat terhadap itu. Kalau pakaian atau cucian kan berarti membersihkan
tidak hanya baju.
Padahal sebelumnya desain saya
itu sudah di-acc oleh bagian marketing”.
Pandangan senada dikemukakan oleh Project
Leader Moh Ibnu Tsabit, yang menilai Hariono itu orangnya jeli dan teliti. “Ketika saya masuk tahun
1985 beliau sudah manajer R&D. Selain ahli di
bidang elektronik, beliau itu memiliki sense of art yang tinggi, sensitif
terhadap bentuk-bentuk
model produk. Selama puluhan tahun dipercaya untuk menangani desain produk.
“Memang bagian art yang menerjemahkan, namun Pak Har yang memberikan rambu-rambu desain itu. Beliau paham banyak hal soal produk. Misal ketika pulang dari sebuah pameran, beliau mampu menangkap tren produk yang sedang terjadi. Rekan-rekan art designer yang diajak mengunjungi pameran saja belum tentu paham dan bisa menangkap tren produk”.
Selain itu sense of business Hariono
juga dinilai tinggi, paham dengan situasi ekonomi. Segera mengambil keputusan
ketika ada kecenderungan kenaikan harga-harga, kompetitor menurunkan harga atau
perubahan nilai tukar rupiah. Dia selalu menjadi yang pertama kali concerned dan
ambil tindakan karena dia tahu kondisi itu akan berpengaruh terhadap penjualan produk
perusahaan. Lalu segera mengambil langkah, misal melakukan desain ulang, mengurangi
biaya di komponen, dan lain-lain.
“Saya mengenalnya, dia itu apa adanya, sangat suka bekerja. Kalau mengajari
kami juga tidak terlalu
pakai teori yang muluk-muluk, sangat praktis. Sehingga kami yang diajari mudah menerima penjelasannya yang
memang praktis”. (BP)