Sowan di Jl Puspowarno X/7 Semarang, tim redaksi Padmanews disambut hangat oleh sang empunya kediaman. Ia adalah salah satu pelukis Indonesia, Agus Sudarto. “Kita ini sudah janjian setahun yang lalu ya, tapi baru sekarang bisa berjumpa,” sapanya sembari tertawa dan mempersilakan kami duduk.
Ruang tamu khas seorang seniman. Ada patung, topeng-topeng berukuran sedang yang dipasang berjejer, aksesori unik, meja kursi jati antik, dan tak ketinggalan enam lukisan berukuran besar menghiasi dinding ruangan.
“Lukisan-lukisan yang ada di ruangan ini tidak semua karya saya lho,” ujarnya, sambil menunjuk salah satu karyanya yaitu tokoh Yasser Arafat yang berukuran paling besar dan menonjol di antara lima lukisan lainnya.
“Di era sekitar tahun 2000 sampai dengan 2006, saya pernah melukis tokoh-tokoh legendaris dan karismatik, di antaranya Bung Karno, Mahatma Gandi, Dalai Lama, Nelson Mandela, Mother Teresa, Lady Di, Fidel Castro dan lain-lain. Semua adalah tokoh yang saya kagumi,” ungkap pria kelahiran Purwodadi, 17 Agustus 1945 ini.
Agus lalu beralih menunjukkan lukisan lainnya karya kawan-kawan seniman, salah satunya yang dibuat oleh AS Kurnia dan Putut Wahyu Widodo (alm). “Saya senang dengan karya karya tersebut dan saya bisa merasakan dan menikmati lukisan dan karya seniman lain”.
Agus bahkan sering mengagumi seniman-seniman lain, baik yang senior maupun karya para seniman muda yang kreatif. “Menurut saya, seniman-seniman muda sekarang lebih inovatif, tidak monoton. Mereka lebih banyak referensi untuk berkesenian.
Menurut dia, perkembangan zaman atau teknologi lebih memudahkan segalanya untuk mengejar tahapan tahapan ke depan, yang tidak dimiliki masa-masa dirinya dulu. “Saya yakin kita akan sampai juga seperti di negara maju, seperti Amerika, China, dan Eropa walaupun kita tidak perlu menjadikan mereka tolok ukur bagi seni rupa kita. Yang penting jangan melupakan akar budaya yang kita miliki,” tuturnya.
Satu-satu, ia mengurai cerita dibalik lukisan-lukisan itu dengan runtut, hingga mengapa dirinya memajang di ruang utama rumahnya.
Sebuah sikap yang menunjukkan bahwa Agus Sudarto merupakan sosok rendah hati yang masih mau mengakui dan menghargai karya kawan-kawan seniman lainnya. Meski, ia telah memiliki nama besar dan mendunia.
Menggunakan Hati
Lukisan-lukisan Agus Sudarto memang memiliki pesona istimewa. Khalayak bakal terkesima dengan pancaran yang ada di dalamnya. Ada ruh yang bisa dirasakan, ada bobot, dan ada kesakralan yang seolah menyelubungi goresan-goresan tangannya. Sudah banyak orang yang mengakui akan hal itu, khususnya mereka para penikmat seni sejati.
Lalu, bagaimana cara Agus mampu membuat karyanya bisa menjadi sedemikian rupa?
“”Saya melukis mengalir saja. Jujur dengan keinginan dan imajinasi saya, yang ada di hati saya. Yang sangat diperlukan bagi seniman adalah semangat atau mood, karena kalau gak pas mood juga gak akan jadi karya yang diinginkan”. Dia berpikir semua seniman merasakan hal yang sama seperti dirinya. Selama melukis, otak tak pernah berhenti untuk berimajinasi.
Pesan buat seniman seniman muda adalah, “Tutup telinga saat mulai melukis, dan buka telinga saat mendapatkan masukan atau kritikan dari siapa pun. Baik dari pengamat seni, kurator, dan lain lain”.
“Walau kadang sangat menyakitkan, tapi kita perlu dengar. Anggap saja itu cambuk semangat untuk berusaha lebih maju dan lebih kreatif”, papar pria yang mengaku tidak pernah menyelesaikan studinya di ASRI Jogja ( sekarang berubah menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta – Red) ini.
Agus juga mengungkapkan, sejujurnya ia melukis dengan paradigma lama. Dari imajinasi ke kanvas melalui tahapan tahapan sketsa dulu secara langsung. “Seperti saat saat saya di ASRI Jogja dulu ada pelajaran sketsa, gambar bentuk, melukis model, ornamen, di samping pelajaran pelajaran lain seperti sejarah seninya, pengetahuan bahan dan warna, dan lain lain”.
Berbicara mengenai harus berapa lama lukisan-lukisan yang dibuat agar menjadi berbobot dan penuh makna, Agus menjawab baginya dalam hal waktu tidak ada patokan. Semua bergantung pada hati dan mood. “Satu lukisan bisa memakan waktu berhari-hari, berbulan-bulan. Semua tergantung pada kondisi hati saya,” jelas Agus.
Di ruang galeri yang berada di belakang, di situlah tempat di mana Agus Sudarto menghabiskan waktu untuk melukis. Di sana, tampak ada beberapa lukisan. “Lukisan-lukisan ini ada yang tinggal finishing dan ada yang masih memerlukan sentuhan di sana-sini,” ujarnya.
Agus lantas menunjuk salah satu lukisan sosok wanita bersanggul yang sedang duduk anggun, mengenakan busana pengantin Jawa lengkap memamerkan senyum manisnya. Ia menjelaskan, lukisan berdimensi 108 x 94 cm itu dibuatnya pada 2003.
“Ini saya beri judul ‘Manggarwangi’. Saya ambil dari nama anak perempuan saya, Arla Manggarwangi. Karena yang saya lukis ini memang anak saya. Sudah beberapa kali lukisan ini dipamerkan, seperti di pameran “Manifesto 2018” dan “The Future of History” Biennale Jawa Tengah 2018. Lukisan ini saya buat singkat, hanya 28 hari. Saat membuatnya, saya sedang semangat-semangatnya. Lukisan ini jadi satu satunya koleksi pribadi saya”.
Agus menunjukkan lagi dua lukisan lainnya yang masih dalam tahap penyelesaian, yaitu Laksamana Cheng Ho dan empat wayang golek.
Kemudian, satu yang sudah jadi yaitu lukisan wanita yang sedang menari lengkap dengan mengenakan busana tari Jawa, Bedaya Ketawang.
Nguri-Uri Budaya
Melalui lukisan, Agus selalu menyelipkan isi dan pesan tersirat yang ingin disampaikan. Bukan sekadar mengada-ada, Agus mengakui jika dirinya sangat mencintai kebudayaan Nusantara. Ia juga mendalami budaya Jawa.
Ia menyukai gamelan, tari-tarian, wayang, dan segala hal yang berhubungan dengan budaya.
Ia ingin budaya-budaya itu tetap terjaga dengan baik. Itulah mengapa di banyak lukisannya, Agus selalu mengangkat seni dan budaya, khususnya wayang sebagai ciri khas. Karena ia memang menyukai dan menikmati dunia pewayangan. Bahkan, ia pernah belajar menari Jawa dan kursus mendalang selama dua tahun, hingga memiliki gamelan dan wayang kulit sendiri. Bahkan Agus juga pernah mengadakan dan mementaskan pertunjukan wayang kulit juga.
“Budaya harus kita uri-uri atau dijaga. Jangan sampai terkikis. Karena ini adalah aset yang sangat berharga. Bagi saya, salah satu cara menjaga itu adalah dengan membuat karya tanpa harus kehilangan kenusantaraan kita. Saya bisa menari Jawa, jadi tahu cara berdiri dan kakinya harus bagaimana. Begitu pun dengan musik gamelan. Gamelan Bali, Sunda saya suka semuanya. Saya juga suka mendalang dan pernah belajar ndalang. Semua tentang wayang dan istilah-istilahnya, saya hafal. Dari sabetan, cerita Pandawa, Kurawa, dan lain-lain, saya cukup menguasai. Dari situ pula awal mula saya melukis wayang sebagai objek lukisan, khususnya wayang golek. Saya juga selalu menyelipkan isi dan pesan tersirat yang ingin disampaikan” kata ayah dari dua putra dan satu putri ini menjelaskan.
Agus menceritakan, kali pertama atau tepatnya pada 1986, awal mula dirinya melukis wayang. Waktu itu, yang dilukis adalah wayang kulit di atas kanvas. Agus memberinya nama “Bhagawad Gita”, bercerita mengenai perjalanan Begawan Kresna yang memberikan wejangan kepada Arjuna menjelang perang Bharatayuddha. Lukisan tersebut sukses mendapat perhatian saat dipamerkan di Mon Decor, Jakarta.
Lukisan-lukisan itu antara lain berjudul “Lumpang Kencono I”. Lukisan yang dibuat pada 2012 tersebut berisi gambar lima tokoh berwujud wayang golek dan seorang ibu yang sedang memegang lumpang.
Menurutnya, lukisan itu secara khusus memiliki makna mendalam, yaitu mengenai regenerasi atau tongkat estafet yang diserahkan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya. Ibu menyerahkan lumpang kencana atau usahanya agar diteruskan oleh anak-anaknya, dengan tetap mengedepankan bahwa keluarga nomor satu dan harus dijaga.
Kemudian karya berjudul “Mirror”, menggambarkan tokoh wayang golek China yang membawa cermin, dan di depannya wayang golek Sunda yang sedang menari diiringi orkestra China, yang mencoba menyindir secara satir tentang perkembangan seni di Indonesia.
Saat itu perkembangan seni di China benar benar hebat. Saat saat senimannya melepaskan diri dari kekangan kekangan dari pemerintah sebelumnya. Walaupun begitu maju senirupa mereka, tapi tetap tidak melepaskan budaya dan tradisi yang mereka miliki. “Ini perlu acungan jempol”.
Kemudian, karya Agus yang dibuat pada 2017 dengan nama “Unity in Diversity” atau “ Kesatuan dalam Keberagaman”. Lukisan ini menceritakan tentang indahnya keberagaman yang dimiliki Indonesia yang diwakili oleh tiga tokoh dari berbagai latar belakang, yaitu barongsai dari China, wayang dari Jawa, dan barong dari Bali.
”Menurut hemat saya perbedaan ras atau latar belakang, kepercayaan, budaya, dan atribut atribut lain tidaklah menghalangi kita sebagai seniman untuk berkarya yang sifatnya universal tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya itu sendiri”, tuturnya.
Lalu, ada “Bedaya Ketawang”, “Terpesona”, “Kolaborasi Budaya”, dan satu lagi yang unik, karya Agus yang bisa dinikmati di dalam air, yaitu “Mermaid”. Lukisan putri duyung yang dijadikan sebagai desain gambar di lantai dasar kolam renang di salah satu hotel berbintang 5, Hotel Tentrem Semarang.
Menjaga Api
Sebelum menekuni dunia lukis seutuhnya pada 2003, Agus Sudarto bekerja di salah satu perusahaan percetakan swasta ternama Jawa Tengah di Kota Semarang. Ia dipercaya memegang jabatan sebagai direktur operasional.
Bisa berada si puncak karier, Agus mengaku dirinya dulu bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa pun.
Lika-liku ia lalui. Perlahan ia mulai mengusai pekerjaan di percetakan. Hingga perjuangan panjang dengan banyak cerita dan peristiwa mengantarkannya ke posisi yang cukup diimpikan oleh banyak orang. Meski demikian, jiwa lain Agus di dunia lukis tidak pernah hilang. Setelah berada di zona nyaman, Agus tetap “menjaga api” tersebut. Marwahnya sebagai seorang seniman tetap tumbuh, tanpa kehilangan dedikasi dalam pekerjaannya.
Baginya berada di puncak karir dengan jabatan yang cukup tinggi merupakan bonus, dan memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hidupnya yang tidak bisa terlupakan. “Saya merasa harus mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir Budi Santoso”.
Namun kemudian dengan segala pertimbangan, akhirnya pada tahun 2003 ia mengundurkan diri meninggalkan zona nyaman itu. “Saya tinggalkan karena panggilan jiwa nurani kembali kepada keinginan menghabiskan sisa sisa waktu dalam berkesenian, khususnya seni rupa”, ucapnya. Walaupun awalnya pernah merasa terlambat saat itu di usia 58 tahun, tetapi dirinya tidak mau menjadi telat dan tidak ingin meredup
Adapun sejumlah pameran yang sudah diikutinya, antara lain The Jakarta International Fine Arts Exhibition di Jakarta (1994), pameran bersama “Figuratif” di Andy’s Gallery Jakarta (1995), The Asian Art Award 1995 Exhibition, pameran bersama dengan seniman-seniman Jepang di Kyoto (1996), pameran tunggal di Amsterdam didampingi Frans Euckelanes, guru seni rupa dari Belanda (2006), dan Shanghai Art Fair di China (2007), juga di London.
Seniman Muda
Agus berpesan buat seniman-seniman yang tinggal di luar jalur “peta seni” seperti Jakarta, Bandung, Jogja, dan Bali, adalah sangat tidak mudah untuk cepat berkembang dan dikenal dalam dunianya. Baik itu seniman seni rupa, musik, teater, tari, dan lain lain.
Wadah dan jaringan dalam berkesenian tidak semudah kota kota tersebut, sehingga banyak seniman dari daerah ‘gersang’ pindah ke daerah yang dianggap lebih mudah untuk eksis. “Dan ternyata banyak yang berhasil juga”.
Begitu juga peminat seni, yang lebih banyak melihat kegiatan kegiatan seni yang berlangsung di kota-kota tersebut, yang dianggap lebih berbobot, bergengsi, dan lebih mudah diakses. Juga unsur-unsur pendukung seperti galeri, kurator, panggung pameran, dan lain lain.
Sejujurnya, tambah dia, buat seniman-seniman akan lebih kreatif dan termotivasi, serta greget saat karya mereka dinikmati dan mendapat respon dari peminat dan masyarakat.
“Saya sangat berharap ke depan Kota Semarang tidak dipandang segersang dahulu dalam berkesenian”. Ia melihat sudah mulai nampak kegiatan kegiatan seni di Kota Semarang. Mulai dari galeri yang bermunculan, juga kelompok kelompok sketser. Karya mereka cukup bagus untuk dibanggakan.
Banyak seniman muda baik yang akademis, jebolan seni rupa Unnes ataupun yang otodidak yang benar-benar berbakat dan potensial untuk tampil dalam skala nasional setidaknya. Belum lagi banyak para kartunis yang malang melintang dan memenangkan lomba kartun di mancanegara.
“Semua itu perlu wadah, perlu publikasi, perlu perhatian khusus dari semua pemangku kepentingan. Tetapi yang lebih penting lagi adalah para seniman sendiri untuk bertahan dan berkarya sebaik mungkin,” tuturnya.
Karya yang baik, menurutnya, akan dinilai dan diperhatikan siapa pun yang berkepentingan, maupun pecinta seni. “Jadi kan Semarang bisa seperti oase di tengah padang pasir dalam hal berkesenian”. (Sasy)