“Jika Sudah Sir-siran, Harga pun Tutup Mata”
Berderet benda-benda “djadul” tertata rapi di etalase-etalase milik sekumpulan pedagang antikan pasar klithikan Asemkawak, Kawasan Kota Lama, Semarang. Memasuki pintu area, terdengar alunan shalawat Nariyah, seolah menyambut kedatangan pengunjung dari berbagai penjuru untuk mengajak mereka bernostalgia, mengenang kembali ke masa lampau lewat sebuah benda. Klithikan, dulu orang menyebutnya seperti itu. Filosofinya, karena bisa memilih sambil ndodok (duduk), barang yang ditata klithik-klithik atau kecil-kecil, dan tentunya menyenangkan.
Di pasar klithikan yang bertempat di Gedung Industri Kreatif Jl Garuda No 1 tersebut, para pecinta bisa melihat, memilih sekaligus membeli berbagai macam benda antik atau lawasan yang masih terawat dengan bagus sembari menikmati shalawat yang mendayu-dayu menghanyutkan. Begitu syahdu, menenangkan hati namun juga sangat mengasyikkan!
Ada berbagai macam jenis barang kuno yang dijual di sana, mulai dari keramik, patung-patung, guci, artefak, furniture, reklame, pusaka hingga batu candi relief. Bahkan, koin dan gundu pun tersedia. Itu baru secuilnya, karena masih ada banyak lagi macam dan jenisnya. Jumlahnya, ratusan atau ribuan, bahkan mungkin tak terhitung karena begitu banyaknya.
“Hampir seluruh pedagang ataupun pecinta kolektor benda-benda lawasan di Indonesia, jika berburu dan berbelanja barang-barang kuno, yang dituju adalah pasar klithikan Kota Lama, Semarang. Karena di sini, barang-barang yang dijual sangat lengkap dan memiliki keuggulan tersendiri. Artis-artis seperti Ahmad Dani dan Krisna Mukti sering mencari barang antik di sini,” ungkap Achmad Arifin atau biasa disapa Mas Pino, salah seorang pedagang antikan di pasar klithikan Asemkawak Kota Lama, Semarang.
Pemilik “Pino Art Gallery” sekaligus ketua paguyuban pedagang antikan Asemkawak itu mengungkapkan, bagi pecinta benda-benda kuno, pasar klithikan Asemkawak Kota Lama, Semarang sudah tidak asing lagi. Di kawasan ini, berbagai barang lawasan atau bekas tersedia begitu lengkap, bagus, murah, dan semuanya ori/asli. Belum lagi, hampir seluruh pedagang antikan di Kota Lama, Semarang mempunyai kekhasan tersendiri.
Bagi Pino dan pedagang-pedagang lainnya, juga khususnya penggemar serta pecinta kolektor benda-benda antik, meskipun bekas, barang-barang tersebut sangat berharga dan mempunyai nilai histori yang tinggi. Sebab, memiliki ataupun mengoleksi benda lawasan adalah suatu keistimewaan dan menghadirkan kepuasan hati tersendiri yang tidak bisa dinilai oleh apa pun. Di situ ada banyak cerita yang disimpan. Entah sejarah, masa lalu, budaya, seni, kenangan atau lainnya. Apalagi jika berusia semakin tua, nilainya pun semakin tinggi.
Di pasar klithikan Asemkawak, menurut Pino, barang-barang lawasan yang dijual umumnya dikategorikan menjadi tiga, yaitu kuno, antik, dan djadulan. Semuanya memiliki peminat masing-masing.
“Namun seiring berjalannya perkembangan, sekarang ada tambahan kategori vintage’s,” ujar pria kelahiran 1979 itu.
Dia menyebutkan, kategori kuno biasanya barang-barang era Kerajaan dan Dinasti. Barang-barang tersebut banyak berupa temuan, baik di laut maupun di darat. Seperti artefak, guci, keramik, batu candi relief dan patung-patung, serta benda-benda pusaka tosan aji dan besi aji lainnya.
Lalu, kategori antik yaitu barang lawas yang sudah sangat jarang dijumpai atau sulit didapatkan. “Barang-barang ini ada pada masa/era kolonial, peradaban etnis Tionghoa/pecinan. Jadi biasanya barang-barang antik yang sering kita jumpai berupa bangunan rumah, furniture, perabot makan, reklame, dan lampu-lampu,” papar Pino.
Selanjutnya kategori djadulan, yaitu barang-barang yang pernah ada di era menjelang kemerdekaan atau sesudahnya, atau sering disebut era 60-an. “Biasanya barangnya masih sering kita jumpai dan kita masih bisa mengingat-ingat benda ini pernah ada, dulu pernah punya. Seperti, ‘dulu ada lho setrika kayak gini di rumah.’, ‘Dulu eyang pakai teko blirik ini lho’, biasanya djadulan seperti itu,” tuturnya.
Adapun barangnya biasanya berupa perabot rumah tangga, ceret blirik, piring enamel, setrika jago, lampu strongkin/petromaks, reklame, dan lain-lain.
Sementara yang berbau vintage, pecinta biasanya mencari tak sekadar untuk koleksi, tetapi juga untuk keperluan bisnis sebagai “daya tarik”. Salah satunya pemanis dan pelengkap ruangan, seperti dipasang atau diletakkan di hotel, kafe, restoran, dan lainnya.
Pino sendiri awalnya hanya pehobi yang bermula dari kencintaan pada sepeda onthel. Namun, semakin ke sini semakin jatuh hati dengan berbagai barang antik. Hingga akhirnya menjadi bakul antik sampai sekarang.
Pino menuturkan, di pasar klithikan Asemkawak, pembeli bisa sepuasnya mencari barang sesuai dengan yang diinginkan. Mereka dapat bertransaksi langsung dengan pedagang, bisa bertanya-tanya secara leluasa, saling tawar-menawar hingga dicapai kesepakatan.
“Sistem jual-beli di sini bermacam-macam. Ada yang murni jual-beli, ada juga barter-barteran, yakni antara pecinta dengan pecinta saling sir-siran barang. Artinya, bisa dibayar dengan saling bertukar barang. Yang penting rasa ijole tidak ilang. Di sisi lain, soal harga terkadang memang tidak masuk akal. Bisa jadi, satu benda semisal botol antik yang di luar sana ditendang-tendang tidak ada harganya, jika sudah masuk ke sini bisa seharga satu mobil mahal keluaran terbaru. Itu hal biasa, karena jika sudah suka, cocok, dan sepakat, harga menjadi tidak masalah,” beber Pino.
Salah satu pedagang antik lainnya, Koesnan Hoesi menambahkan, membeli barang-barang antik atau kuno juga harus datang langsung ke lokasi, supaya bisa melihat secara jelas barangnya, bisa memegang, dan memilih serta memilah.
“Tidak bisa kita membeli barang antik hanya dengan melihat dari foto atau gambar. Karena bisa jadi antara foto dan aslinya tidak sesuai. Di foto lebih bagus, tapi ketika dilihat secara langsung berbeda jauh. Apalagi, foto itu ada efek pencahayaan dan lain-lain. Sementara, benda-benda kuno kebanyakan sudah tidak mulus lagi. Mungkin ada coel-nya, ada bekas guratan atau sedikit retak di bagian tertentu,” ungkapnya.
Karena itu, baik Pino maupun Koesnan Hoesi menyarankan, jika ingin membeli barang antik harus datang langsung ke lokasi, agar barang yang didapatkan benar-benar ori dan bagus.
Selain itu, pembeli bisa sekaligus saling berkenalan dan bertukar pengetahuan dengan para bakul. Jika sudah saling kenal, akan tumbuh kedekatan, saling jujur dan percaya, sehingga pembeli lebih mudah untuk memperoleh barang-barang yang diinginkan.
Di pasar klithikan, para pedagang juga memiliki beberapa tingkatan. Pedagang-pedagang yang agak kaya biasanya punya prinsip ojo dolan nang klithikan (jangan datang ke klithikan). Mereka cukup nongkrong, menunggu makelar yang datang mengantarkan barang.
Makelar-makelar ini pun ada pengepulnya. Di tengah pengepul, ada pedagang yang agak besar, lalu besar, dan di atasnya lebih besar lagi pedagang kelas galeri. Masing-masing mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri dan tingkat kepercayaan. Bisa jadi barang dengan jenis dan kualitas yang sama, antara yang ada di pasar klithikan dan di galeri harganya terpaut jauh. Tentunya, harga barang yang ditawarkan di galeri lebih tinggi dibandingkan ketika membeli di pasar klithikan. Selisihnya bisa berlipat-lipat.
Bermacam Dinamika
Dalam perkembangannya, pasar klithikan Asemkawak Kota Lama, Semarang telah mengalami berbagai macam dinamika. Pino bercerita, pasar klithikan Asemkawak Kota Lama Semarang berawal pada 2014 silam. Di mana para pehobi seperti dirinya dan pedagang-pedagang antikan lainnya mengadakan semacam pameran di Taman Srigunting setiap bulan pada minggu kedua di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Pino bersama teman-temannya membuka dengan nama Koka Kola, kepanjangan dari Komunitas Klithikan Antik Kota Lama. Saat itu, pedagang berasal dari berbagai daerah, seperti Solo, Surabaya, Kediri, dan Pekalongan.
Para pedagang ini mendapatkan barang-barang antik dengan berburu atau mencari ke pasar-pasar loak, atau ketika di suatu daerah ada pasaran seperti Leginan dan Kliwonan, mereka mendatangi. Istilahnya, penjual-penjual ini adalah tukang mayeng (suka melancong).
Dalam perjalanannya, kegiatan yang mereka adakan tersebut semakin berkembang. Jumlah pedagang bertambah banyak, hingga tempat tidak memadai lagi. Akhirnya, pedagang-pedagang ini terbagi di dua lokasi, yaitu di Taman Srigunting dengan nama “Padangrani” dan di tempat eks Hotel Jansen dengan nama “Koka Kola”.
“Dua tahun kemudian atau pada 2016, kita difasilitasi oleh pemerintah di bawah naungan Disperind, diberi gedung. Semua pedagang, baik Koka Kola maupun Padangrani lebur menjadi satu menjelma menjadi Asemkawak, kepanjangan dari Antikan Semarang Kawasan Kota Lama,” kata Pino yang mengoleksi barang antik sejak 1997.
Pino melanjutkan, sebelum di gedung yang baru ditempati sekitar dua bulan ini, semula Asemkawak difasilitasi tempat satu gedung penuh.
Setiap pedagang diberi lapak cukup luas dan pengunjung sangat merasa nyaman untuk bertransaksi, memilih, dan memilah barang dagangan.
Hingga awal November 2020, mulai ada perubahan serta renovasi dari Kementrian, sehingga para pedagang yang berjumlah 36 ini harus geser ke gedung tengah.
“Gedung yang sekarang kita tempati ini dengan pembagian 1/3 dibuat antikan, 1/3 untuk furniture, dan 1/3 lagi ruang kolaborasi (kalau ada kegiatan-kegiatan di sini). Jadi yang awalnya satu gedung, sekarang kita menempati 1/3 luas gedung,” ungkapnya.
Bagi Pino dan 36 pedagang lainnya, sangat susah untuk mendisplay serta membikin “apik” tempat antikan agar lebih nyeni dan berkarakter. Keterbatasan ruang adalah kendalanya. Karena itu, Pino dan pedagang-pedagang antikan berharap ke depan bisa kembali menempati satu gedung seperti dulu, sehingga bisa memaksimalkan untuk menata serta membikin daya tarik pariwisata di Kota Lama.
“Kami sangat memimpikan ada pasar antik di Semarang seperti Triwindu Ngarsopuro di Solo, Pakuncen empat lantai di Yogyakarta, Pasar Nostalgia Bratang, dan Jl Surabaya di Jakarta yang kios-kiosnya permanen, sehingga pedagang tinggal buka-tutup dengan aman. Kami berharap di Kota Lama Semarang juga ada seperti itu. Setidaknya, kita tidak berpindah-pindah tempat agar barang-barang tidak rusak dan tidak membuat bingung orang yang akan menjujuk,” tandasnya.
Meskipun demikian, Pino dan kawan-kawan tetap bersyukur karena masih bisa eksis dan diberi tempat. Dan, jika suatu saat pemerintah memberikan area yang sesuai dengan harapan, mereka bersiap untuk menata dan meramaikannya agar menjadi salah satu tujuan wisata yang digandrungi.
Perlu Dukungan Penuh
Pasar klithikan Asemkawak Kota Lama, Semarang memang sudah sepatutnya dibesarkan. Di sini, banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan. Tujuannya, sebagai daya tarik magnet destinasi wisata. Tentu tak berlebihan, karena pasar klithikan ini telah memiliki pangsa pasar tersendiri dengan jumlah peminat yang begitu besar dan dari segala penjuru.
Di pasar ini, hampir setiap hari disambangi 50 sampai 100 pengunjung dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Bahkan sebelum pandemi, dari manca pun berbondong-bondong untuk datang. Durasi kunjungan di pasar klithikan Asemkawak sebelum Covid-19, hampir 24 jam, karena mereka memang sudah terlatih. Sementara saat ini, pasar klithikan Asemkawak dibuka pukul 09.00 hingga 21.00 WIB. Tentunya, standar protokol kesehatan juga dijaga ketat.
Salah satu potensi yang dapat digali di pasar klithikan Asemkawak Kota Lama, Semarang ini adalah sebagai tempat perputaran ekonomi yang nantinya bisa menjadi pusat magnet. Jika pusat magnet ini berkembang kuat, otomatis memunculkan daya jual yang tinggi.
Turunannya pun akan mengikuti, seperti kuliner, fashion, tempat berkreasi masyarakat, dan masih banyak lagi. Hingga pada akhirnya, Pasar Klithikan Asemkawak di Kawasan Kota Lama, Semarang tak sekadar menjadi destinasi wisata menarik, tetapi keberadaannya juga bisa menghidupi banyak orang di sekelilingnya.(Sasy)