Oleh Kusnady Dharmawan
Ini menjadi perjalanan wisata yang sungguh menyenangkan. Mengapa ? Karena jumlah peserta dalam grup kami dalam perjalanan wisata ke Jepang baru baru ini tidak banyak, hanya ber-18, sehingga sangat intens.
Kemudian kami dapat team leader dan guide yang benar bagus dan akrab. Pak Freddy sang pemilik biro travel menjadi tour leader. Sementara guide adalah pria asal Malang, Mas Khristian Agus Arianto.
Khristian ini sudah lama tinggal di Jepang, dan sudah sekitar 20 tahun ia menjadi guide. Istrinya orang Jepang, bekas muridnya di pencak silat. Kami peserta benar-benar nyaman dengan caranya berkomunikasi, pendekatannya familiar dan penuh guyon.
Bahkan ketika ada seorang teman yang sakit kakinya di perjalanan kami, Khristian langsung mencarikan kursi roda, dan mendorongnya untuk menikmati objek wisata. Oiya Khristian ini juga adalah Wakil Ketua PCINU di Jepang.
Sebenarnya awalnya kami hendak ber-50 orang, tetapi covid merebak di Jepang bulan Juli. Sehingga rombongan terpecah tiga. Serombongan nekad tetap berangkat karena sudah bayar, dan menjumpai Jepang dalam kondisi sepi.
Kemudian rombongan kedua, berangkat untuk wisata belanja dan kuliner. Lalu rombongan kami yang wisata makan, belanja, dan budaya. Di rombongan kami ini juga ada Dirut Graha Padma, Z. Hendro Setiadji, dan juga pemilik Semarang Contemporary Art Gallery, Chris Dharmawan.
Kami berangkat dari Jakarta pagi jam 07.00 dan sampai di Tokyo sekitar jam 16.00. Menginap di Hotel Metropolitan. Besoknya kami melakukan perjalanan ke Kyoto. Sempat berhenti di sebuah kota di kaki Gunung Fuji.
Kami menikmati atraksi di Kampung Nabana (Nabana No Sato). Ada beragam atraksi iluminasi seperti terowongan cahaya “Tunnel of Light” yang sangat populer di kalangan para pasangan, “Cloud of Lights” yang membuat kita seolah-olah diterangi oleh awan dengan cahaya yang cantik.
Tiap tahun, salah satu area taman utama diubah menjadi negeri dongeng penuh cahaya berkelap-kelip. Tema yang digunakan pada festival Nabana no Sato sebelumnya antara lain “Alam”, “Air Terjun”, “Aurora”, dan “Bunga-bunga”.
Kami juga menikmati keindahan Danau Kawaguchi, yang berada di bagian utara dari Lima Danau Fuji. Keindahan daun-daun merah (momiji) benar-benar memikat mata dan kamera kami.
Bayangkan kontras yang begitu indah antara warna daun yang memerah dengan danau dan langit yang biru, dipadu dengan latar belakang Fujiyama yang terkenal itu. Cuaca yang cerah memperlihatkan puncak Gunung Fuji yang ikonik itu. Benar-benar lanskap yang memanjakan mata.
Musim gugur adalah salah satu musim favorit bagi para turis untuk berkunjung ke Jepang. Tujuannya karena ingin melihat dan menikmati keindahan koyo. Koyo atau lebih dikenal dengan sebutan momiji adalah proses perubahan warna daun menjadi kemerahan, kuning, atau jingga saat musim gugur.
Kami juga mampir ke Nara, yang merupakan ibu kota Prefektur Nara. Kota ini terletak di bagian utara Prefektur Nara, dan berbatasan dengan Prefektur Kyoto. Nara merupakan salah satu kota wisata yang ramai di Jepang.
Kami menikmati juga makanan jenis rebusan di sebuah rumah makan tradisional, yang pemiliknya adalah seorang pegulat. Di situ dipajang celana jins miliknya, yang mana dua orang dengan berat normal bisa masuk ke dalam celana itu.
Di Kota Nara ini banyak rusa berkeliaran bebas dan sangat jinak. Wisatawan bisa memberi makan dan menyaksikan bagaimana mereka mengangguk-angguk jika disodori makanan.
Kami juga mengunjungi Todaiji yakni kuil Buddha yang terletak di kota Nara, Jepang. Letaknya di timur laut Taman Nara, dan merupakan kuil utama sekte Kegon. Kuil ini didirikan abad ke-8 oleh Kaisar Shomu.
Pintu masuk Todaiji dikenal dengan sebutan Nandaimon Gate yang dijaga oleh dua patung berwajah seram. Yang paling terkenal di kuil ini adalah Patung Budha raksasa yang terletak di dalam Daibutsuden Hall. Kompleks kuil ini sangat luas dan terdiri dari beberapa bangunan yang juga layak dikunjungi seperti Nigatsu-do dan Sangatsu-do .
Menikmati kuil yang sangat terpelihara dan berbagai ritual yang ada, terasa sekali budaya Jepang sangat kental. Budaya juga ada di makanan. Ketika menikmati makanan di rumah makan pun, bukan sekadar pada rasa, namun kami juga menikmati budaya penyajian makanan dengan indah. Piring dan mangkuk disajikan dengan tatanan yang artistik dan rapi.
Di Kyoto, rombongan lebih banyak menikmati kunjungan ke kuil-kuil. Ada Kuil Anjungan Emas (Kinkaku-ji Temple). Berlapis emas berkilauan, pemandangan kuil ini cantik sekali.
Kuil Kinkaku-ji merupakan kuil Buddha Zen yang dibangun pada akhir abad 14 sebagai villa tempat shogun Ashikaga Yoshimitsu menjalani masa pensiunnya. Setelah kematiannya di tahun 1408, villa ini diubah menjadi kuil Zen atas permintaannya.
Kuil yang tidak bisa dimasuki oleh umum ini memiliki tiga lantai yang merepresentasikan gaya arsitektur yang berbeda.Di lantai pertama terdapat patung Shaka Buddha dan Yoshimitsu dan memiliki gaya arsitektur Shinden. Dindingnya berwarna putih dan memiliki pilar kayu.
Di lantai kedua terdapat Kannon Bodhisattva yang dikelilingi oleh patung “Four Heavenly King” dan dibangun dengan gaya Bukke yang sering didapati di rumah samurai.
Sedangkan lantai ketiga dibangun seperti Chinese Zen Hall dengan burung phoenix emas di atapnya. Dari kejauhan tepatnya di seberang sisi danau, kuil ini begitu cantik terlihat dengan warna emas dari lapisan kertas emas di lantai 2 dan 3.
Di Kyoto juga ada Kuil Fushimi Inari dengan ciri khas tiang oranye bertulisan Jepang, kuil ini menjadi objek foto yang menarik. Kuil yang terkenal dengan gerbang torii-nya ini memiliki banyak patung rubah, jalur pendakian ke kuil yang di atas, dan banyak tempat makan di pintu keluar.
Rombongan juga berkunjung ke Kuil Kiyomizu yang merupakan kuil agama Budha yang berlokasi di Kiyomizu, distrik Higashi-yama, Kota Kyoto. Kuil ini tidak hanya terkenal di dalam Jepang tapi juga seluruh dunia. Kuil Kiyomizu terdaftar sebagai salah satu situs warisan budaya UNESCO pada Desember tahun 1994 dan menjadi tujuan wisata populer di Kyoto.
Selepas Kyoto, kami ke Osaka. Di kota inilah kami mengalami kejadian lucu dan menyenangkan. Di Osaka kami berkeinginan untuk menikmati steak daging sapi Kobe, yang terkenal lembut dan enak itu. Itu sebabnya mahal, seporsi mencapai 1,3 juta rupiah.
Rombongan kami merupakan yang pertama memakai sebuah ruangan di restoran itu, setelah selama dua tahun tidak digunakan karena pandemi. Mulailah makanan disajikan dan mulai dibakar, serta sebagian kami mulai mencicipi daging sapi itu.
Namun rupanya cerobong penyedot asap tidak berfungsi karena lama tidak dipakai. Maka penuhlah ruangan dengan asap. Sang manajer pun kebingungan dan minta-minta maaf dengan membungkuk sangat dalam.
Ia meminta kami pindah ruangan, kemudian daging sapinya diganti dengan yang baru, bahkan dia juga memberikan tambahan daging sebagai permintaan maaf. Kemudian, nah ini yang menyenangkan, dia mengatakan bahwa semua makanan yang disajikan kepada kami semua tadi gratis !
Itu juga katanya sebagai permintaan maaf dan tanda terima kasih kepada kami. Usut punya usut, ternyata denda yang dikenakan kepada rumah makan itu jika sampai alarm kebakaran berbunyi dan regu pemadam kebakaran datang, lebih besar dibandingkan dengan harga makanan kami yang digratiskan itu hahaha…
Terlepas dari itu kami benar benar menikmati cita rasa daging sapi Kobe yang luar biasa. Lemak sapi yang masuk di antara daging itu menjadikannya lembut dan gurih. Bahkan ada yang mengatakan, “lembutnya kayak makan tahu ya..”.
Di Osaka tentu saja kami tidak melewatkan kunjungan ke Istana Osaka (White Castle Osaka). Menara utama Istana Osaka yang menjulang tinggi merupakan simbol kota Osaka.
Istana Osaka yang ada sekarang terdiri dari menara utama yang dilindungi oleh dua lapis tembok tinggi yang dikelilingi oleh dua lapis parit, parit bagian dalam (Uchibori) dan parit bagian luar (Sotobori).
Tentu juga yang tidak terlewat adalah main ke pusat belanja Shinsaibashi yang terkenal itu. Bersebelahan dengan pusat perbelanjaan itu adalah Jalan Dotonbori yang juga terkenal. Di sini banyak dijual makanan tradisional Jepang.
Puas dengan wisata di Osaka, kami kembali ke Tokyo naik kereta peluru Shinkansen. Finishing touch yang bagus di Tokyo, yang kami pergunakan untuk berbelanja. Sambil menikmati patung Miss Liberty dan Jembatan Golden Gate versi Tokyo.
Perjalanan wisata selama sembilan hari itu kami merasakan bagaimana masyarakat Jepang yang sebenarnya. Selain disiplin, mereka juga sangat ramah. Terus di Jepang itu kayak pergi ke planet lain, semuanya terlihat serba bersih.
Kemudian kita juga melihat bagaimana kultur tradisional tetap dijaga dan dirawat. Masih banyak di jalan kita menemui generasi muda memakai kimono atau yukata. Di tengah gemerlap kemoderenannya, kultur tradisional tidak dilupakan.
(Penulis pemilik Tiffany Glass, dan penikmat wisata)