Pemerintah Kota Semarang saat ini sedang bergiat untuk membenahi kota lama. Pada saat yang sama, pemerintah sedang berusaha mendaftarkan kota lama masuk World Heritage Center (WHC) UNESCO. Kota Semarang sudah berada di Grade A, karena ada di daftar tentatif UNESCO. Pemkot Semarang dan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BP2KL) juga sedang mengumpulkan data tentang jalur rempah di Kota Semarang. Diharapkan cerita kisah tersebut bisa untuk mengangkat potensi wisata di kota lama.
Pemerintah Pusat juga mendukung upaya Pemkot untuk mendaftarkan kawasan peninggalan Belanda tersebut sebagai jalur perdagangan rempah di Indonesia. Apalagi indikasinya jelas, adanya pelabuhan dan area Kota Lama tersebut. Area ini terdiri atas gedung, perkantoran, toko, dan gudang yang merupakan pusat perdagangan di masa lalu. Semarang merupakan salah satu pusat pelayaran niaga di masa kolonial. Juga ada jalur rel kereta api yang menghubungkan Kota Semarang dengan daerah lain.
Menurut arsitek senior Totok Roesmanto, pembenahan kota lama mungkin bisa dimulai dari sikap pentingnya mengeksplorasi potensi lokal. Dalam hal ini potensi lokal termasuk juga aset yg berwujud bangunan kuno dan arsitektur
“Setiap daerah, kota, kawasan, lingkungan memiliki kekhasan-nya yang tidak dijumpai di tempat lain. Kekhasan itu terwujud karena potensi lokal yang dimilikinya. Jadi, seharusnya setiap potensi lokal harus dijaga kekhasannya dan dilestarikan. Dalam kenyataannya, sering hal baru didatangkan dan dipasang begitu saja di suatu kota, kawasan, lingkungan yang punya potensi lokal-nya. Faktanya tidak semua memahami tentang potensi lokal itu,” kata Totok, yang juga Guru Besar di Universitas Diponegoro itu.
Padahal, tambahnya, pengajuan sebagai warisan dunia bisa dicabut jika ada pelanggaran. Oleh karena itu pihak-pihak yang punya hubungan dengan pembenahan kota lama perlu memahami makna “melestarikan”. Sehingga konservasi harus tetap dipertahankan.
Dia menunjuk salah satu gedung kuno yang sudah direnovasi dan dipergunakan sebagai kafe. “Orang awam tentu melihatnya bagus, tetapi kalau dicermati di bagian dalam ada bagian bangunan yang mereka hilangkan,” tuturnya.
Baca juga : Rumah Oei : Wisata ke Masa Silam
Namun ada contoh bagus pembenahan kembali gedung kuno, sebagai contoh adalah bangunan yang dulu milik pengusaha Oei Tiong Ham di Jalan Kiai Saleh Semarang yang kini diambil BI dan dipakai oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Cara mereka memperbaiki terlihat dengan mempelajari sejarah. Penambahan bangunan juga dengan meminta ijin dulu, sehingga bagus dan selaras.
Tumpang Tindih
Totok juga menyoroti ketumpangtindihan pengertian revitalisasi antara yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya dengan pengertian yang disebutkan dalam UU Cagar Budaya. Awam akan melihat pada bagaimana memfungsikan sebuah kawasan, sementara di UU Cagar Budaya dimaksudkan sebagai pelestarian bangunan kuno.
Yang dimaksud kawasan, di UU Cagar Budaya, adalah area yang di dalamnya ada sebuah bangunan kuno. “Jadi sebenarnya di kota lama itu ada beberapa kawasan,” jelasnya.
Memang melestarikan bangunan kuno membutuhkan kesadaran banyak pihak, termasuk di dalamnya adalah individu pemilik bangunan. Apalagi insentif dari pemerintah kepada pemilik juga tidak sepadan. “Seorang teman di Jogja mendapat Rp 250 ribu tiap bulan dan diambil tiap tiga bulan. Cuma Rp 750 ribu,” katanya.
Dicontohkan, warga Kampung Kauman di Solo justru mengeluh ketika daerahnya dijadikan kawasan cagar budaya. “Nanti pas bagi waris ya repot. Kalau dijual, si pembeli juga dirugikan jika tidak bisa memperoleh manfaat lebih”.
Totok melihat yang dilakukan terhadap Kota Lama Semarang adalah pengembangan sebuah area kota lama. Namun ia mengapresiasi yang sudah dilakukan Pemkot Semarang dalam memperbaiki saluran air dan juga penempatan lampu-lampu yang terang. “Meskipun dulu banci-banci di kota lama pada protes hahahaha”.
Dimintanya pula pembuatan saluran air harus dengan studi yang matang dan memperhatikan kemungkinan ada peninggalan kuno di dalam tanah.
Namun demikian ia tetap menekankan pentingnya pelestarian bangunan-bangunan kuno di kota lama tersebut. “Seharusnya target sebagai world heritage itulah yang dikejar. Nanti kan keramaian akan datang sendiri. Kemudian juga perlu ada agenda kegiatan yang berbasis pelestarian”. Diusulkannya pula perlunya ada buku lengkap tentang bangunan-bangunan kuno dan siapa arsiteknya. Kalau perlu bangun juga museum. Mungkin orang di Semarang tidak butuh museum, tetapi orang asing yang ke Semarang hampir selalu tanya soal museum. “Ini memang menunjukkan atensi terhadap budaya memang berbeda. Sayang, pemikiran orang-orang kita belum sampai ke situ,” tuturnya. (NUR, TW)