8 October 2024
Home / Top News / Goa Kreo Layak Dikunjungi sebagai Destinasi di Kota Semarang

Goa Kreo Layak Dikunjungi sebagai Destinasi di Kota Semarang

Goa Kreo adalah objek wisata yang terdapat di Kota Semarang. Goa Kreo adalah goa yang terbentuk oleh alam dan terletak di tengah-tengah Waduk Jatibarang, sebuah bendungan yang membendung Kali Kreo.

Di kawasan Goa Kreo hidup berkoloni kera ekor panjang. Berlokasi di kawasan Waduk Jatibarang, Gunungpati, Semarang, keberadaan Goa Kreo konon tidak terlepas dari kisah jejak wali yang melakukan syiar di Tanah Jawa.

Di Kerajaan Demak Bintoro pada era pemerintahan Raden Fatah, tengah dibangun masjid di daerah Glagah Wangi. Para wali yang mendapat mandat tugas itu adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga diminta mencari kayu ke arah selatan diikuti para santri. Di sebuah kawasan hutan, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati yang bisa bergerak dan berpindah tempat. Karena kejadian itu, kawasan tempat Sunan Kalijaga menemukan pohon jati dinamakan Jatingaleh.

Sunan Kalijaga dan para santrinya terus mengejar pohon jati yang berpindah ke arah barat daya. Pohon jati itu akhirnya ditemukan dan dilingkari agar tidak berpindah tempat lagi, dan lokasi itu diberi nama Jatikalangan.

Setelah ditebang, kayu jati itu dimasukkan ke dalam sungai agar hanyut sampai Kaligarang. Namun di tempat yang kini bernama Tunggak Jati Ombo, akar pohon yang tersisa melebar. Sehingga kayu jati itu tidak bisa hanyut.

Sunan Kalijaga memutuskan menepi dan naik ke atas pulau kecil di tengah sungai. Ternyata di pulau itu ada goanya. Dia memutuskan bersemedi dan memohon kepada Allah SWT agar diberi kemudahan. Di saat bersemedi itulah dia dibantu para santri dan empat ekor kera yang ”bergabung”. Empat ekor kera itu berwarna merah, putih, kuning, dan hitam.

Para kera juga berniat membantu Sunan Kalijaga membawa kayu jati itu ke Demak. Tetapi Sunan Kalijaga tak mengizinkannya. Mereka justru disuruh menjaga gua dan sungai yang ada. Sebagaimana kita ketahui, batang kayu itu dijadikan salah satu saka (tiang) utama di Masjid Agung Demak.

Kisah ini pun beredar secara turun-temurun. Kawasan ini kini tersohor dengan nama Goa Kreo. Goa Kreo terdiri dari dua kata yakni Goa dan Ngreha yang berarti goa yang dijaga.

Penjaganya adalah para kera yang bersetia mengikuti perintah Sunan Kalijaga untuk tinggal dan menjaga Goa Kreo. Untuk memperingati dan mengenang napak tilas Sunan Kalijaga, setiap tahun selepas hari raya Idul Fitri biasanya digelar ritual tradisi Sesaji Rewanda. Tradisi ini ditandai dengan sesaji gunungan buah-buahan untuk diberikan kepada kera-kera yang sampai saat ini menghuni Kawasan Goa Kreo.

Dikisahkan beberapa tahun kemudian, datang Mbah Pacul dan Nyai Pacul kawasan Goa Kreo. Mereka diyakini sebagai cikal bakal masyarakat di Dukuh Talun Kacang, Desa Kandri yang hingga kini beranak-pinak menjadi 5 RT dan 1 RW.

”Sebulan sekali kami ziarah ke makam Mbah Kyai dan Nyai Pacul yang berada di sekitar pintu masuk ke Goa Kreo yang masuk wilayah Dusun Talun Kacang, Desa Kandri, Gunungpati, Kota Semarang. Kami ziarah ke makam leluhur tiap Jumat Kliwon. Ya setiap selapan kami bersih-bersih makam kemudian tahlil bareng di makam,” kata Sawiyah (55), warga RT 03 yang dibenarkan Rodiyah (58), warga RT 04.

Tetap Diberi Makan

Dengan HTM Rp 6.500, kita bisa melihat ratusan kera yang ada di Goa Kreo. Bisa juga bersantai naik perahu mengelilingi Waduk Jatibarang.

Sayangnya saat Pandemi Covid-19, kawasan wisata alam itu tutup total sejak 26 Maret 2020. Mulai buka 10 Juli dan baru awal Agustus 2020 berdatangan pengunjung keluarga yang naik mobil-mobil pribadi.

”Saat pandemi, kera-kera tetap diberi makan dari Dinas Pariwisata Kota Semarang, pagi dan sore. Bahkan pada saat pandemi ini, mendapat bantuan dari objek wisata Tinjomoyo dan Taman Lele,” kata Sawiyah.

Awalnya, lanjut dia, monyet takut manusia. Kalau ada pengunjung, mereka hanya melihat dari kejauhan. Namun lama kelamaan mereka berani mendekat karena setiap pengunjung yang jajan atau membawa jajanan sebagian diberikan kepada monyet-monyet itu.

”Saat ini, monyet-monyet itu seakan tahu hari kapan libur, tidak hanya hari Minggu namun juga hari libur nasional lainnya. Banyak pengunjung beranggapan, sedekah dengan memberi makanan kepada monyet akan dibalas kebaikan oleh Allah SWT, Tuhan YME,” kata Rodiyah tetangga Sawiyah yang warung makannya berdempetan di pelataran parkir wisata Goa Kreo.

Rodiyah mengisahkan, pada tahun 2016, ada seorang ibu-ibu warga India datang ke Goa Kreo bersama anak perempuan dan menantunya. Katanya, tahun 2010 dia bermimpi bertemu dengan kera putih raksasa (rewondo seto) di sebuah pulau di tengah danau di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.

”Ibu-ibu dari India itu njajan di warung saya dan menceritakan hal itu. Sejak 2010 dia seperti termotivasi ke Goa Kreo Semarang. Dia menabung, layaknya nabung untuk pergi haji. Baru pada 2016 tabungannya cukup untuk ke Semarang,” jelas Rodiyah.

Tiga warga India itu menginap di Hotel Ungaran Cantik, karena akses ke Goa Krea via Gunungpati lebih dekat. Setelah sampai di Goa Kreo, wanita India itu memberikan nampan sesaji berisi 12 jenis buah-buahan. Nampan sesaji itu dimasukkan ke Goa Kreo.

”Katanya sih, di jembatan penghubung daratan dan pulau yang ada Goa Kreo-nya itu, ibu-ibu itu ditemui kera putih. Persis seperti dalam mimpinya.”

Hal aneh juga diceritakan Rodiyah dan Sawiyah. Ada pasangan suami istri datang ke Goa Kreo. Si istri rupanya hamil 2 bulan. Saat itu keduanya duduk di sekitar pelataran parkir sambil melihat puluhan kera yang mengharap ada makanan dari ratusan pengunjung.

”Si istri langsung mengajak pulang. Sebulan kemudian, pasutri itu datang lagi. Mereka langsung cerita ke saya. Katanya si istri, saat itu dia diajak dialog dengan salah satu monyet. Monyet itu bilang, ” hai cantik…hai cantik… Tentu saja si istri saat itu langsung ngajak suaminya pulang. Dia takut dan trauma. Sebulan kemudian dia datang lagi dan menceritakan hal itu,” kata Sawiyah.

Danu Kasno (55) juru kunci sekaligus Ketua RW di Dusun Talun Kacang, Kelurahan kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang menyatakan sore hari, di setiap tanggal 10 Dzulhijah, diadakan bersih-bersih di Goa Kreo. Paginya sholat Idul Adha.  ”Kegiatan Sesaji Rewanda itu dimulai tahun 1984. Penyelenggaranya masyarakat setempat”.

Sesaji Rewanda dilakukan 7 hari setelah Idul Fitri atau perayaan Syawalan. Kegiatan itu hanya wujud dari nguru-uri budaya dan wujud rasa syukur. Ada tiga jenis kesenian Ketoprak Langen Tri Budaya, wayang kulit, dan karawitan (tari-tarian).     

”Dalam acara Sesaji Rewondo itu diarak tumpeng buah-buahan dan palawija. Kemudian tumpeng itu dibawa ke pulau di tengah waduk yang ada goa-nya itu.” (Ali)