Suhu udara mulai berjingkat naik Jumat pagi di ujung bulan Juni itu. Tim PadmaNews tiba di dusun Keloran, kelurahan Tirtonirmolo, kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul sesuai rencana. Kami janjian untuk bertemu dengan Bonaventura Gunawan, sosok pengusaha yang juga seniman. Atau sebaliknya, seniman yang pengusaha. Kami mengobrol banyak di lantai 2 gedung tersebut. Ini merupakan kantor CV. Raja Prima Sarana, sebuah perusahaan jasa konstruksi dan bangunan milik Gunawan dan istrinya, Chatarina Ardiani bersama adiknya. Di sinilah Gunawan dan Chatarina acap datang untuk mengecek pekerjaan anak buahnya, collecting material, di samping juga mengontrol kantor atau gudang di tempat lain di Yogyakarta dan Solo.
Di situ, sekitar dua jam kami ngobrol. Nyaris seharian penuh PadmaNews ”menguntit” aktivitas Gunawan. Setidaknya ada tiga tempat yang dikunjungi. Setelah kantor CV Raja Prima Sarana di Keloran, kami berlanjut mengobrol dan melihat karya-karya seni grafis Gunawan di calon rumah barunya (yang belum tuntas dibangun) di dusun Kanoman, Banyuraden, Gamping, Sleman. Dan terakhir kami tertambat obrolan cukup panjang di rumah yang kini jadi studio berkarya di Jalan Letjen Suprapto di Ngampilan, Yogyakarta. Gunawan sendiri menetap di perumahan Sawit Asri di bilangan Panggungharjo, Sewon, Bantul bersama istri dan anak semata wayangnya, Eugenia Paramasindu Mahayasi (sekarang 20 tahun). Namun sepertinya dia tak ingin membawa ruang privat itu untuk kepentingan perbincangan kami.
Ya, studio, rumah dan gedung kantor tersebut menjadi sisi lain wajah Gunawan, sekaligus cermin dari kisah sukses Gunawan-Chatarina dalam pergulatannya mengarungi medan bisnis yang telah berlangsung bertahun-tahun—yang dirintis dan diikhtiarkan tanpa lelah, dengan lelehan peluh, air mata dan darah. Tempat-tempat itu ada yang berawal dari aset keluarga yang diwariskan dan dikelolanya. Ada pula yang dibelinya sebagai aset baru setelah diperjuangkan dengan bisnis yang perlu waktu relatif panjang dengan keuletan dan kesabaran tersendiri.
Gunawan berkisah bahwa setelah lulus kuliah di FSR ISI Yogyakarta tahun 1992, lalu bertahun-tahun merantau sebagai karyawan advertising, atau sebagai bagian dari tim artistik media massa, dan product designer di Jakarta, dia merasa tuwuk (kenyang). Pengalaman hidup dan bekerja di Jakarta selama 12 tahun dengan kompetisi yang keras telah menempa dirinya. Dia merasa cukup untuk tidak lagi menetap di ibukota negara. Pulang ke Yogyakarta adalah pilihan yang menantang dengan berbekal pengalaman dan sejumput imajinasi untuk memulai membuat tantangan bagi diri dan keluarga kecilnya.
Mengawali perjuangan hidup kembali di Yogyakarta, Gunawan dan istrinya berikhtiar membuat bisnis kuliner. Mereka berdua bersepakat membuka warung tenda dengan menu utama pecel lele. Bisnis ini sebenarnya laris dan berjalan dengan baik. Namun di tengah jalan ada kendala karena persoalan tempat usaha. Lokasi keberadaan warung tenda tak bisa dipakai lagi karena dibeli oleh sebuah bank, dan pemilik waru tak mengijinkan halamannya untuk usaha pihak lain.
Berikutnya pasangan Gunawan-Chatarina beradu dengan nasib lewat bisnis pengadaan papan untuk bekisting atau pengecoran. Usaha itu hanya sebentar karena teknologi dengan bahan itu sudah ketinggalan jaman. Sempat juga pasangan yang menikah tahun 2003 itu berbisnis sandal kayu lukis. Tapi hanya bertahan setahun karena Gunawan tak bisa memenuhi banyaknya order akibat penanganan produksi dari hulu ke hilir ditangani sendiri. Usaha itu jauh dari ekspektasi.
Hingga kemudian mereka berpikir keras untuk nyebrang jauh dari ikhtiar-ikhtiar sebelumnya. Pilihan jatuh pada bisnis sewa dan jual scaffolding. Ini bisnis yang awalnya, seperti pada umunya orang bisnis, didahului antara spekulasi dan ekspektasi yang tinggi. Gunawan mengatakan bahwa ikhtiar kali ini seperti “pertaruhan terakhir” akan pengalaman masa lalu dan pengharapan di masa depan. Pasalnya, modal bisnisnya ini berasal dari tabungan pasangan itu saat mereka bekerja yang mereka wujudkan dalam bentuk aset tanah. Kalau salah perhitungan atau salah langkah dan kemudian merugi apalagi bangkrut tentu dampaknya akan banyak. Kehilangan aset sudah pasti. Kehilangan harapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik ya bisa jadi. Maka mulailah tahun 2007 itu mereka memperjuangkan bisnis tersebut. Karyawannya 1 orang yang masih kuliah dan bekerja secara pocokan (bukan pekerja tetap), modal scaffolding yang dimiliki sejumlah 600 unit.
Pelan tapi pasti Gunawan-Chatarina merunuti langkah. Tampaknya intuisi bisnis mereka tidak keliru. Yogyakarta dan sekitarnya setelah era reformasi bergerak pesat di semua lini, termasuk pembangunan fisik.
Seperti halnya di Indonesia secara umum, dimana-mana gairah orang untuk membangun terasa frekuensinya menanjak terus-menerus. Tak terkecuali Yogyakarta. Gejala ini nyambung dengan pilihan bisnis Gunawan yang menyediakan scaffolding untuk disewakan atau dibeli. Banyak kontraktor pembangunan yang tumbuh di sekujur Yogyakarta dan sudah pasti mereka membutuhkan scaffolding untuk membantu percepatan pembangunan fisik bangunan.
Bisnis Gunawan itu bertumbuh dengan cepat. Pencapaian finansial pun juga membubung tinggi dengan lekas. Supply and demand akan scaffolding seperti yang diharapkan. Laris. Penambahan karyawan pun tak terelakkan senyampang dengan pembelian aset tanah dan bangunan untuk kantor baru. Pendeknya, kisah sukses sudah diraih. Pengalaman dalam bertarung keras ketika di Jakarta telah diterapkan aspek kedisiplinan dan spirit kejuangannya saat berbisnis di Yogyakarta, dan terbilang berhasil. Tahun 2014 karyawannya 10 orang.
Hanya saja ketika Gunawan telah mulai mengenyam hasil pencapaiannya, gangguan fisik mulai menerpa. Sesekali dia jatuh sakit. Di usia yang telah beranjak menua barangkali itu biasa. Namun dia merasakan ada hal yang tak sewajarnya.
Karena gangguan kesehatan itu, di suatu petang, laki-laki kelahiran tahun 1964 itu pergi ke RSU PKU Muhammadiyah dan diperiksa oleh dokter Warih. Inilah salah satu titik penting dalam perjalanan hidupnya ketika berada di ruang periksa dokter tersebut. Kira-kira pertengahan tahun 2014 tubuhnya dirasakan begitu rentan terhadap rasa sakit, terhadap penyakit—bahkan pada penyakit yang relatif ringan. Tubuhnya seperti mudah merapuh, banyak kehilangan imunitas ketika menghadapi penyakit yang datang menyerang. Sulit tidur atau insomnia, irritable bowle syndrome, migraine, beser atau gampang buang air seni (inconsistensiae urine), dan ketajaman mata mulai berkurang ketimbang waktu-waktu sebelumnya—siksaan-siksaan seperti itu yang mulai mendera tubuhnya.
Sang dokter pun berucap, “Sepertinya ini ada masalah psikologis yang cukup akut. Tapi semuanya Anda biarkan. Anda abaikan. Pelan-pelan, dampaknya merembet pada kemampuan fisik Anda yang akan melemah,” kira-kira begitu ujar dokter yang memeriksanya kepada Gunawan kala itu.
Gunawan diam, menunggu penjelasan berikutnya dari dokter. “Anda mengalami vibromidigia. Itu adalah kelelahan fisik dan psikis yang datang berbarengan sekaligus. Saya menduga Anda punya hobi, kebiasaan, kemampuan atau keinginan yang tumbuh dari dalam bawah sadar, tapi telah lama sekali dipendam. Bahkan diabaikan. Itulah yang memicu munculnya insomnia dan sebagainya,” jelas sang dokter.
Diskusi dengan dokter petang itu menyadarkan kembali pada Gunawan bahwa dalam dirinya ada potongan hasrat, atau passion yang telah muncul sejak puluhan tahun lalu—bahkan datang sebagai bakat sejak lahir, namun dalam beberapa tahun terakhir ini mampat atau dimampatkan tanpa ada kanalisasi. Tak ada penyaluran. Ya, itu kira-kira terjadi ketika Gunawan memasuki tahun ke-7 sebagai pengusaha. Sejak tahun 2007, alumnus prodi Seni Grafis, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (FSR ISI) Yogyakarta ini memutuskan untuk semakin mantap meninggalkan pekerjaannya di Jakarta, dan berbisnis di Yogyakarta. Dan bisnis pengadaan scaffolding yang menjadi pilahannya ternyata merengkuh kesuksesan.
Dalam rentang waktu yang relatif tak lama bisnisnya berkembang. Secara finansial telah ada pencapaian yang sangat berarti. Tapi realitas ini ternyata menimbun ruang-ruang batin dirasakannya cenderung kering dan kosong. Jagat seni rupa yang telah “disembunyikannya” selama bertahun-tahun, kini hadir menagih porsi perhatian. Dan kini, seni sebagai kemungkinan bagi Gunawan untuk melakukan katarsis, pembersihan diri, kembali ditarik untuk melengkapi demi menyinergikan hidup.
***
Sabtu Wage malam, 12 Agustus 2017. Gedung Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) di Jalan Suroto nomor 4, Kotabaru, Yogyakarta tampak riuh dan gempita. Ratusan orang berkerumun di halaman dan di dalam gedung. Semuanya menyambut dengan antusias sebuah pameran tunggal seni grafis bertajuk kuratorial “Re-Public: Reminding of Existence”. Ya, itulah momentum kembalinya “si anak yang hilang”, Bonaventura Gunawan. Dia ingin membalikkan dugaan gangguan psikologis vibromidigia yang divoniskan oleh dokter Warih ke padanya beberapa tahun sebelumnya. Dan puluhan karya seni grafis yang dipamerkan menjadi artefak pembuktian bahwa memang karya-karya seni tersebut telah menjadi medan pelepasan beban psikolisnya sekaligus pembuktian bahwa dirinya masih mampu menunjukkan taring estetikanya di depan publik dan di usia yang tak lagi muda.
Pameran tunggal tersebut seperti laiknya “sebuah dentuman bom” yang dilempar oleh Gunawan pada publik seni rupa di Yogyakarta karena relatif mengejutkan. Pertama, karena sudah nyaris jarang ada pameran tunggal dengan materi seni grafis (printmaking) di tengah gempuran maraknya pameran seni lukis yang nyaris tanpa henti teragendakan nyaris tiap pekan. Kedua, secara fisik karya seni grafis yang dipamerkan Gunawan ada yang memberi kejutan dari aspek ukuran. Di antara puluhan karya tersebut ada satu karya yang berukuran gigantik, yakni 2,1 x 4,8 meter. Karya berjudul “Democracy is My Li(f)e” yang memesona itu mengisi satu bentang dinding yang memanjang dalam ruang pameran.
Karya grafis Gunawan memukau penonton karena semuanya dibuat dengan teknik kuno yang kini jarang seniman lain menekuninya, yakni menorehkan cukilan-cukilan manual di atas permukaan MDF (Medium Density Fibreboard, papan serupa hardboard yang sekarang jarang beredar di pasaran). Dalam dunia seni grafis (printmaking) semacam cetak-dalam ini tergolong memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Untuk menorehkan satu warna saja memerlukan proses pencukilan yang harus cermat dan teliti sesuai gagasan dasar seniman. Sementara karya Gunawan rata-rata dikreasi dengan sedikitnya 8 warna dan dengan ukuran besar. Tentu sangat njelimet, dan memerlukan ketelitian, ketelatenan dan kemampuan daya kreasi seni yang tinggi. Gunawan mampu melakukannya sekaligus menjawab tantangan untuk mengempaskan gangguan psikis vibromidigia yang mendera tubuhnya bertahun-tahun. Ada sisi lain yang mengherankan bahwa sebenarnya Gunawan mengalami kecelakaan saat olahraga badminton pada Oktober 2014. Kock hasil smash rekannya persis mengenai mata kiri hingga mengakibatkan kebutaan permanen.
Pameran tunggal dengan materi yang relatif sama kemudian diboyongnya di kota Solo beberapa bulan kemudian, persisnya 23 November hingga 2 Desember 2017 di Balai Soedjatmoko. Ini juga menyedot banyak perhatian publik seni rupa Solo kala itu. Setelah itu banyak pameran kolektif diikuti oleh Gunawan di beberapa kota dan kesempatan. Tak sedikit dia masuk dalam pameran penting, seperti pameran kompetisi Triennale Seni Grafis di Bentara Budaya Jakarta, pameran ulang tahun ke-80 kolektor seni Oei Hong Djien, pameran kompetisi seni UOB di Museum Nasional Jakarta, pameran besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pameran lustrum ISI Yogyakarta, dan sebagainya.
Momentum yang berpotensi bergaung panjang kembali dia buat ketika menghelat pameran seni grafis “Ratimaya: Bayangan Keindahan” pada 16 Januari-16 Maret 2022 di Sangkring Art Space di Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Ini pameran bertiga bersama perupa Edi Sunaryo dan Irwanto Lentho. Semua karya yang dieksibisikan berbasis kreatif sebagai karya seni grafis. Ini seperti “pameran tunggal bertiga” karena masing-masing seniman seperti mengeksplorasi kemampuan kreatifnya dan karya mereka dikelompokkan sendiri-sendiri dalam satu gedung. Mereka bersanding sekaligus bertanding.
PadmaNews tentu tak akan memberi judgment atas karya mereka bertiga. Namun dalam sebuah grup WA yang berisi para seniman dan kolektor seni yang relatif top dan berpengaruh, karya Gunawan menjadi perbincangan. Tidak kurang dari Tisna Sanjaya, perupa kontemporer yang (waktu itu) juga dosen senior di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB berkomentar bahwa, “Edan! Karya Gunawan gila detilnya!”
Kekaguman Tisna itu merujuk pada karya Gunawan yang bertajuk “Pantang Sambat”. Itu sebuah karya grafis hardboard cut di atas media kanvas dengan ukuran 2,1 x 6,1 meter. Secara substansial “Pantang Sambat” membincangkan perihal spirit hidup yang diidealkan tetap terus menyala di tengah gempuran Covid-19 yang kala itu mendera dunia, termasuk Indonesia. Gunawan sengaja mengekspresikan gagasan itu lewat karya monokrom atau satu warna (hitam-putih saja) untuk memberi efek dramatis atas drama Covid-19 yang berdampak pada semua orang. Dalam karya itu tampak sekali keberpihakan sang perupa pada rakyat kecil, termasuk kelompok pekerja seni (pertunjukan) yang tergerus keras secara ekonomi karena pandemi.
Komentar Tisna kiranya bisa menjadi jendela kecil yang relatif representatif bahwa sepak terjang Gunawan yang kembali bergegas masuk ke medan pertarungan seni rupa sudah langsung diakui jejak dan keberadaannya. Dia tidak sekadar mengarus ikut dalam gelombang besar para seniman (atau bergaya “seniman”) yang tiba-tiba membuat lukisan yang masih miskin karakter namun memaksakan diri untuk masuk di forum-forum para perupa—dengan berbagai cara. Gunawan memang menyimpan magma kreatif dan talenta seni yang besar yang sebelumnya sempat mampat karena kesibukannya di luar dunia seni. Lebih dari itu, Gunawan punya sejarah berkesenian (sekecil apapun itu) yang ditempanya dari bangku pendidikan formal seni rupa mulai dari SMSR dan berlanjut di Prodi Seni Grafis FSR ISI Yogyakarta.
***
Seperti meniti titian kecil di atas sungai, kini Gunawan telah sedikit demi sedikit melampaui tantangan dan risiko atas titian tersebut. Tahun 2024 scaffolding yang dimiliki telah melonjak jadi 150.000 unit. Karyawan tetapnya sudah mencapai 107 orang. Artinya, dia terbilang mampu mengelola dengan baik titian yang berujud bisnis yang sudah merengkuh banyak pencapaian. Pada sisi lain dia mulai masuk dalam debut seni rupa yang mendapatkan pengakuan pada keping sisi lainnya. Menjalankan kedua hal yang berbeda karakternya tentu tidak mudah.
Apa cukup sampai di situ? Ternyata tidak. Tantangan lain pun dicarinya yakni dengan mendirikan G-Printmaking Art Studio di Jalan Letjen Suprapto di bilangan Ngampilan, Yogyakarta. Itu sebuah rumah keluarga yang telah lama hanya difungsikan sebagai gudang dengan onggokan barang lama. Atas persetujuan keluarga, Gunawan membenahi rumah itu dan memfungsikannya sebagai sebagai galeri kecil. Ya, ruang pajang karya seni rupa. Orientasinya untuk memuarakan hasrat idealisme dalam seni yang belum banyak terwadahi. Gunawan mengandaikan bahwa G-Printmaking bisa dioptimalkan sebagai art space khusus bagi karya-karya seni grafis atau printmaking. Dia sadar, ruang seni yang banyak bertebaran di Yogyakarta lebih banyak untuk perhelatan pameran lukisan.
Idealisme awal memang begitu. Namun niatan itu tak bisa sepenuhnya terealisasi karena para penggiat seni grafis di Yogyakarta dan Indonesia tak banyak populasinya, ditambah lagi kurang produktif. Alhasil, sulit untuk bisa memamerkan khusus karya seni grafis secara periodik. Batas-batas idealisme pun lalu diluweskan dengan memposisikan ruang seninya itu khusus untuk anak muda dan tidak semata-mata demi kepentingan bisnis. Bukan ruang yang sekadar money oriented.
Ya, tidak sepenuhnya bisa ketat sesuai rencana. Sang pemilik ruang pun akhirnya juga fleksibel menjalankan agenda ruang seninya tersebut. Maka, kepentingannya jadi meluas. Misalnya menjadi ajang untuk pameran amal (charity exhibition) dari seorang seniman yang istrinya tengah sakit keras dan membutuhkan dana segar yang banyak. Spirit humanisme Gunawan tergugah bila sudah menghadapi problem seperti itu. Dan kiranya itu memulangkan kembali semua hal yang pernah dijalaninya puluhan tahun hidup sebagai manusia, bertahun-tahun bergulat dengan kerasnya kehidupan di Jakarta, dan bertahun-tahun beradu keberuntungan di Yogya, dengan memunculkan sebuah pertanyaan hakiki: kita hidup ini bisa berguna untuk apa, bagi siapa, dan bagaimana caranya? Mungkin Gunawan terus dan selalu mengingat namanya yang memakai kata “guna”.*** (kuss indarto)