Tepuk tangan penonton bergemuruh di Liem Liang Peng Theatre Sekolah Nasional Karangturi, ketika kelompok paduan suara Batavia Madrigal Singers (BMS) mengakhiri babak pertama pertunjukan dengan lagu Pal So Seong karya Hyo Won Woo dari Korea Selatan.
Lagu itu sendiri merupakan parodi tawa yang disajikan dengan sangat apik oleh Batavia Madrigal Singers, dipadu dengan koreografi, teatrikal, dan humor yang padu, mengetengahkan kelucuan. Penonton jadi ikut tertawa mendengar berbagai jenis tawa itu.
Sang konduktor Avip Priatna usai konser menjelaskan kepada Padmanews, di lagu itu ada delapan jenis tawa, ada yang sinis, nyinyir, ada pula yang centil. “Sebenarnya lagu itu cuma itu. Nah yang susah adalah gimana agar dapat lucunya. Lalu anak anak paduan suara saya ajak membawakan dengan ada ceritanya”, tuturnya.
Misal ada sosok yang lagi narsis, yang satu lagi nyari pacar, terus ada juga yang kecentilan, terus diledekin sama teman-temannya. “Terakhir mereka akhirnya ngeledekin konduktornya hahaha.. “.
Pada konser yang diiringi oleh pianis Hazim Suhadi ini, Batavia Madrigal Singers di babak pertama menampilkan lagu Gayatri karya Bagus S Utomo (1989), kemudian Petrus (Z Randall Stroope, 1953), Ave Maria (aransemen Vatara Artanta Silalahi, 1994), De Profundis (Levente Gyongyosi, 1975), Di Ambang Batas (Fero Aldiansya Stefanus (1988), Der Fruhlingswind atau Harukaze (Toyotaka Tsuchida, 1981), dan Pal So Seong (Hyo Won Woo, 1974).
Sementara di babak kedua disajikan Hentakan Jiwa (Ken Steven, 1993), I Love You / What A Wonderful World (Larry Norman & Randy Stonehill / George David Weiss & Bob Thiele, Arr. Craig Hella Johnson, 1962), Sixteen Tons ( Merie Travis, Kirby Shaw, 1942), Bahasa Kalbu (Titi DJ, Dorrie Kalmas & Andi Rianto, Andriano Alvin, 1978).
Kemudian lagu daerah Aceh, Bungong Jeumpa (Arr. Fero Aldiansya Stefanus, 1988), Merakit ( Yura Yunita, Andriano Alvin, 1978), lagu daerah Maluku Hela Rotan ( Ken Steven, 1993), dan lagu tradisional Spanyol La Cucaracha (Robert Sunda, 1942). Dan masih ada satu lagu bonus dari Queen berjudul Don’t Stop Me Now.
Sebagai pembuka konser, tampil Karangturi Choir dengan konduktor Petrus Wahyu. Mereka menampilkan Illumina le Tenebre (Joan Szymco) dan Jubilate (Martin Ramroth). Penampilan Karangturi Choir juga mendapatkan sambutan meriah dari penonton.
Avip Priatna sangat senang bisa tampil di Semarang. Ia melihat sambutan para penonton yang hangat banget dan antusias. “Artinya mereka enjoy dengan penampilan kami”, ucapnya.
Andika Wiratma, salah satu konduktor terkemuka Jawa Tengah saat ini mengungkapkan, konser Batavia Madrigal Singers adalah anugerah bagi pecinta paduan suara di daerah. “Malam ini sungguh luar biasa. Ternyata penonton tidak hanya dari Kota Semarang saja, tetapi juga dari berbagai kota lain. Tadi saya berjumpa dengan para penggiat paduan suara dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto dan bahkan Surabaya” katanya.
Lebih lanjut Andika mengatakan bahwa Batavia Madrigal Singers adalah kiblat dan panutan bagi para penggiat paduan suara tanah air, karena torehan prestasinya yang berkelas dunia.
“Kami bisa belajar secara multidimensional baik dari sisi teknik, artistik dan manajemen organisasi seni pertunjukan yang profesional. BMS menggarap semua genre dengan serius dan rapi. Mulai lagu “Petrus” yang sangat konservatif dan dalam corak paduan suaranya, folklore hingga pop. BMS adalah inspirasi bagi kaum muda dan semoga semakin sering tampil ke daerah-daerah di seluruh Indonesia”, tuturnya.
Bekas Mahasiswa
Pada kesempatan terpisah sebelum gladi bersih dua hari sebelumnya, Avip banyak bercerita tentang Batavia Madrigal Singers. Awalnya adalah kegelisahan sekelompok alumni dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, yang ketika masih mahasiswa gemar sekali bermusik dan tergabung dalam sebuah paduan suara.
Setelah lulus, kegemaran bernyanyi yang sudah terasah itu ternyata tidak bisa dipupus begitu saja. Mereka kemudian mendirikan paduan suara sendiri, yang anggotanya terdiri dari mantan mahasiswa Unpar. Akhirnya berdirilah PSBM Unpar, kependekan dari Paduan Suara Bekas Mahasiswa Unpar.
PSBM bahkan bersama PSM Unpar mengisi berbagai acara, juga ikut kompetisi paduan suara nasional dengan membawa nama Paduan Suara Universitas Katolik Parahyangan. Tak hanya rutin konser di dalam negeri, PSM Unpar kemudian mengikuti pertandingan paduan suara internasional di Arnhem, Belanda. “Memang ada sebagian anggota PSBM yang ikut”.
Tak dinyana, debutan internasional itu ternyata berhasil meraih juara pertama kategori paduan suara campuran. Selain itu juga berhasil mendapatkan penghargaan sebagai paduan suara dengan interpretasi Lagu Wajib Terbaik “Sonnet 43” karya komponis Belanda Juriaan Andriessen.
“Saat pengumuman, kami lagi jalan-jalan menikmati kota sambil gelisah menunggu keputusan dewan juri. Ketika tahu kalau kami juara, maka jingkrak jingkrak semua di tepi jalan”, kata Avip seperti dikutip dalam Buku Jelajah Selaka Warsa, 25 Batavia Madrigal Singers.
Avip mengisahkan, setelah kemenangan itu kegiatan berlatih dan keinginan tampil semakin besar. Beberapa personel mulai menggagas PSBM menjadi kelompok yang lebih mandiri dan umum. Tak hanya beranggotakan bekas mahasiswa Unpar, tetapi juga melibatkan bekas-bekas mahasiswa lain maupun personel lain yang memang punya visi dan kegemaran sama dengan mereka.
“Sejak dulu saya ingin sekali ada paduan suara yang bisa mewakili ibukota negara kita di dunia internasional”, kata Avip. Maka mulailah mereka mencari nama baru. Berbagai nama muncul, mulai dari Paduan Suara Jakarta, Paduan Suara Betawi, Paduan Suara Batavia.
Akhirnya pada 1996 di awal pembentukan itu beberapa sahabat yang sebagian besar terdiri dari anggota PSBM, yakni Avip Priatna, Teddy Panelewen, Maria Asumpta, Nuniek Ratnindyah, Mita Jasmine, Rilwan Hamzah, dan ditambah soprano lulusan UI Binu Sukaman, serta Lendi sang pianis menyepakati nama : Batavia Madrigal Singers.
Madrigal merupakan istilah dalam musik yang berarti salah satu bentuk komposisi musik dari jaman Renaissance dan Barok awal, yang biasanya dibawakan oleh kelompok penyanyi dalam jumlah kecil, dengan pembagian beberapa suara, dan kebanyakan dibawakan secara a cappella.
Repertoar musik yang dibawakan oleh BMS sangat luas, sehingga bisa menghapus anggapan bahwa musik paduan suara adalah musik gerejawi semata. BMS membawakan tidak melulu lagu-lagu misa klasik, tetapi juga lagu-lagu daerah dari berbagai negara termasuk Indonesia, lagu pop, musical, jazz, hingga moderen. Lagu-lagu itu merupakan medium, dan yang lebih penting bagaimana para penyanyi berproses untuk membuat lagu itu terdengar indah dan dapat dinikmati.
Di sisi lain BMS juga memiliki keberagaman anggota penyanyi, yang memiliki latar belakang berbeda-beda, dari berbagai suku dan berbagai agama di Indonesia. “Benar-benar mencerminkan Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap satu”, kata Avip.
Kualitas Profesional
Dalam perjalanannya, BMS menjadi paduan suara yang meskipun secara status amatir, namun profesional dalam kualitas. Selain mengikuti dan memenangi kompetisi dan festival paduan suara di luar negeri, orang luar mulai melirik BMS dan mengundang untuk berpartisipasi dalam ajang musik internasional.
Di antaranya adalah Festival Paduan Suara di Taipei, konser di Jepang dan Macau bersama orkes terkemuka di Jepang, Orchestra Ensemble Kazanawa. Selain itu juga membuat rekaman CD di bawah naungan label Warner Music Japan di tahun 2007.
BMS kemudian juga diminta khusus untuk membawakan lagu-lagu Barok dengan iringan alat musik otentik Barok di Konstanz, Baden-Wurttemberg, Jerman pada tahun 2010. “Bayangkan, mereka mempercayakan lagu Barok dibawakan oleh paduan suara dari Indonesia. Secara tidak langsung, mata dunia menjadi terbuka, di Indonesia ternyata ada paduan suara yang memiliki kelas yang ‘pantas untuk tampil’ di pentas dunia”.
Dalam perjalanannya, berbagai juara yang diraih di antaranya adalah juara umum di Tolosa Choral Contest di Spanyol pada 2016 dan 2019, tiga juara di Florilege Vocal de Tours, Prancis pada 2014 dan empat juara di 34th International May Choir Competition Prof. Georgi Dimitrov di Varna, Bulgaria. Kemudian juga juara umum tahun 2020 di European Grand Prix.
Semua kiprah dan perjalanan sukses BMS tentu tak lepas dari dukungan penuh para penyantun. Yang pertama adalah Ibu Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno (almh) , yang bagi anak-anak BMS layaknya ibu sendiri. Mereka akan mengenang Ibu Toeti sebagai sosok yang besar cintanya akan musik klasik hingga akhir hayat.
Perempuan penulis, pemerhati seni dan filsafat ini bertindak lebih dari pendukung finansial BMS. Ia juga memperhatikan program yang akan dibawakan, dan selalu menanyakan perkembangan persiapan setiap pertunjukan. Avip mengakui kehebatan Ibu Toeti yang membahas program secara mendalam dan detail.
Kemudian yang kedua adalah Ibu Giok Hartono. Dukungan penggiat seni ini sungguh luar biasa. Ia hadir hampir di semua konser BMS, bahkan di beberapa sesi latihan menjelang konser. Ketika BMS kesulitan tempat latihan tetap, Ibu Giok kemudian menawarkan tempat latihan tetap di Jalan Daksa V No 4 Kebayoran Baru, Jakarta.
Percaya dengan BMS, Ibu Giok kemudian memberikan fasilitas tempat latihan yang lebih besar dan juga tempat konser di Jalan Kertanegara. Ketika menjadi penyantun, Ibu Giok menyatakan, “bidang seni akan sulit berkembang tanpa dukungan finansial”. Sejak 2013, Ibu Giok selalu mendampingi BMS dalam berkompetisi.
Dengan semua pencapaian BMS ini, Avip tidak ingin nantinya BMS memudar ketika dirinya sudah tidak aktif lagi. ” Saya tidak mau BMS bernasib seperti paduan suara profesor saya di Austria, yang akhirnya bubar setelah beliau wafat”.
Itulah sebabnya Avip ingin BMS tetap menjadi sebuah paduan suara wakil Indonesia yang terus berkarya dan menggaungkan nama Indonesia di kancah internasional. (BP/WIN)