Pembukaan (grand opening) resto Sentosa Live Seafood Graha Padma Semarang pada Sabtu 20 Januari 2024 disambut antusiasme para pengunjung. Sejak sore hingga malam sudah full booked.
Pengunjung memenuhi semua ruangan tempat makan di resto yang memiliki kapasitas 420-an tempat duduk itu. Bahkan, sampai perlu mengeluarkan meja dan kursi cadangan untuk menampung pengunjung yang terus berdatangan.
Resto Sentosa ini terletak di area The Club Perumahan Graha Padma Semarang. Didirikan dengan model bangunan simple dan menyatu dengan fasilitas lain di The Club. Di antaranya adalah berdekatan dengan kolam renang. Area untuk parkir kendaraan juga sangat luas.
Baik di dinding dalam maupun luar terpasang sejumlah karya seni rupa kontemporer, sehingga menjadikannya seperti galeri lukisan juga. Selain merasakan sajian makanan seafood yang lezat, mereka juga bisa menikmati berbagai koleksi seni grafis yang dipajang.
Beberapa yang nampak menonjol adalah beberapa karya Syahrizal Pahlevi, founder dari Teras Print Studio Yogyakarta dan Devy Ferdianto, co-founder dari Black Hand Gang, sebuah studio grafis di Ubud, Bali.
Mengingat makanan disajikan dari kondisi hidup, maka para pengunjung bisa langsung memilih ikan, udang, kepiting maupun lainnya dari kolam-kolam penampungan, yang kemudian diolah di dapur dan disajikan kepada para tamu itu menjadi masakan yang lezat.
Resto ini memiliki menu andalan, di antaranya Kepiting Saus Padang, Ikan Stim Nyonya, Kerang Saus Tiram, dan Ikan goreng Sentosa, serta masih banyak yang lain.
Chris Dharmawan, salah seorang pemilik Sentosa Live Seafood Graha Padma Semarang menegaskan, tidak ada perbedaan penyajian makanan Sentosa di Semarang dengan resto-resto Sentosa lain. “Karena bumbu masaknya dikirim dari pusat, demikian juga juru masak juga dari sana”, katanya kepada Tim Padmanews.
Yang membedakan antara Sentosa di Semarang dan di Jakarta adalah target market-nya. Ia menilai market di Semarang kalau soal makan agak gampang-gampang susah. “Jadi sebelum buka Sentosa di Semarang saya sudah survei dulu ke Jakarta”.
Dari situ diketahui kunci sukses membuka tempat makan. ” Pertama, begitu buka harus ramai. Kedua, masakan harus enak. Ketiga, harganya tidak boleh mahal-mahal”.
Kemudian kecenderungan konsumen untuk mendapat diskon juga perlu dipertimbangkan. “Maka untuk promo kami memberikan potongan 25 persen, dan ini efeknya cukup gede buat menarik konsumen”, kata Chris yang juga seorang arsitek dan pemilik Semarang Contemporary Art Gallery.
Bagi Chris pribadi membuka galeri juga bukannya lebih gampang dari membuka usaha kuliner yang ia akui tidak ada pengalaman sebelumnya. Namun pengalamannya dalam bidang manajemen, konstruksi, desain arsitektur dan art dirasa cukup untuk bisa menjalankan usaha kuliner ini.
Apalagi dengan latar belakangnya itu, Chris mendesain tempat makan di Semarang dimana konsumen juga bisa menikmati ruangan. Ini tentu saja berbeda dengan resto-resto Sentosa di Jakarta yang dikelola murni oleh orang-orang bisnis.
“Mereka hanya menitikberatkan pada masakan enak pasti laris. Dan bener, memang Sentosa di Jakarta sangat laris. Jadi semua resto Sentosa memang sukses”.
Ditambahkannya, bahwa minusnya dirinya belum pernah berbisnis kuliner, namun plusnya adalah dirinya bisa menambahkan bidang-bidang lain yang Sentosa di Jakarta tidak miliki. Ia memajang banyak lukisan baik di luar maupun dalam ruangan makan.
Chris mengakui bahwa lokasi resto di dalam perumahan Graha Padma memang menjadi tantangan tersendiri. Banyak pengunjung mengeluhkan lokasi yang dirasakan jauh dari pusat kota.
“Jadi bagaimana caranya menarik orang Semarang yang merupakan target pertama untuk datang ke sini (lokasi Graha Padma, red). Kedua, sebenarnya lokasi ini mudah bagi orang dari Jakarta yang hendak ke arah timur. Mereka bisa keluar tol dulu terus langsung belok”.
Menurutnya, menjadi tugas marketing untuk menginformasikan bahwa Sentosa juga ada di Semarang, sehingga diharapkan orang-orang dari Jakarta bisa mampir jika sedang melintas lewat tol.
Marketing diperkuat dengan medsos, kerja sama dengan biro travel, perusahaan angkutan, persewaan mobil untuk bisa mendatangkan konsumen ke Sentosa di Graha Padma. Manajemen juga akan anjang sana ke lembaga-lembaga pemerintahan juga perusahaan swasta, menawarkan Sentosa sebagai tempat meeting atau makan makan.
Dia cukup optimistis mengingat semua orang bilang masakan di Sentosa yang di Jakarta itu enak. “Apalagi harga makan yang sekitar 150 ribu rupiah per orang masih dianggap tidak mahal. Konsumen di Jakarta bukan hanya segmen tertentu, tapi semua kalangan masuk”.
“Jadi ketika saya bagikan informasi kehadiran Sentosa di Semarang di medsos, langsung informasinya tersebar. Sak Semarang ngerti kabeh… “.
Mengenai penambahan menu lokal, Chris menjelaskan bahwa pihak Sentosa pusat memberi kebebasan untuk tambahan selain makanan utama. “Jadi kalau kita mau sajikan side dessert seperti kopi atau kue, atau lumpia yang khas Semarang, diperbolehkan”.
Makanan Sehat
Terpisah, pemilik brand Sentosa, Aliong menilai positif sambutan konsumen di Semarang. Ia menekankan bahwa resto Sentosa memang menyajikan makanan live. “Jadi itu yang mungkin di Semarang belum ada. Kita tidak ingin menyajikan makanan frozen, karena yang penting makanan itu harus sehat”.
Ia mengungkapkan, keberhasilan resto ini baru bisa diketahui dalam dua tiga bulan. “Kalau baru kan orang pengin tes dulu rasanya, ingin tahu harganya, kira-kira sesuai tidak dengan kondisi Kota Semarang dan daya belinya”, tuturnya.
Namun demikian, dengan melihat antusiasme pengunjung di saat grand opening, ia meyakini resto Sentosa ini ke depan akan cukup baik. “Kita itu komitmen menyajikan makanan yang berkualitas secara konsisten. Makanan yang kita berikan yang the best, live, sudah tidak ada rasa amisnya”.
Mengenai tempat, Aliong mengatakan, memang bentuk bangunan hanya minimalis biasa, namun yang paling penting adalah makanan harus berkualitas. ” Kita tidak boleh membohongi orang “.
Aliong bercerita pada dasarnya ia adalah seorang pemasok ikan. Dituturkannya, pada tahun 2014, sedang banyak kasus penggunaan pengawet, karena pasokan ikan dan sejenisnya dari Lampung ke Jakarta butuh waktu. Ikan dicelup formalin dulu agar awet.
Ia melihat kondisi itu tidak sehat. ” Memang pada saat makan gak apa apa, tetapi dalam jangka panjang gak sehat”. Itulah yang kemudian mendorong dia untuk membuat resto live seafood. Aliong pertama kali membuka resto Sentosa di Muara Karang.
Ia mematok harga murah seperti makan di pinggir jalan saja. “Murah, per orang paling habis 75 ribu rupiah waktu itu. Saya penginnya orang itu makan seafood yang sehat”, ucapnya.
Pada saat dia buka, orang lain juga buka tapi dengan harga yang mahal. ” Di kami lebih murah, contoh ikan Krapu kami jual 200 ribu rupiah per kg sudah matang. Jadi satu ekor paling 100 ribu rupiah. Restoran lain sekilo 600 ribu rupiah, sehingga satu ekor 300 ribu rupiah. Bedanya sekitar tiga kali”.
Mengenai masakan, Aliong menjelaskan masaknya gaya peranakan kombinasi. “Ada Malaysianya, ada lokalnya juga. Tapi kami minta sesuaikan juga dengan lidah Jawa, jadi ada manisnya juga”.
Setelah sukses dengan resto di Muara Karang, Aliong kemudian membuka lagi di Sunter, di Puli, lalu di Kelapa Gading, di Daan Mogot, di Alam Sutera, di PIK, di Senayan, di Bintaro, di Cikarang, di Cirebon, di Bali, di Palembang, di Surabaya, dan di Semarang.
Kehadiran GCSC
Sebelum grand opening, dua hari sebelumnya manajemen Sentosa Padma juga melakukan soft opening. Seratusan lebih anggota Green Candi Sport Club (GCSC) menikmati berbagai sajian masakan seafood.
Ketua GCSC Kusno Suharjo Santoso mengungkapkan rasa senangnya karena mendapatkan kehormatan diundang Chris Dharmawan dan Hendro Setiadji (dirut PT Graha Padma Internusa) untuk yang pertama kali hadir secara grup di resto Sentosa.
“Kami semua yang hadir sangat menikmati makanan Sentosa Live Seafood Padma, yang merupakan pertama di Jawa Tengah ini. Saya pribadi sudah pernah merasakan masakan di resto Sentosa lain. Rasanya seratus persen mirip. Kami tadi disajikan 13 macam menu, dan semua enak banget “.
Ia berharap warga Semarang bisa hadir dan menikmati berbagai macam sajian seafood di resto ini. ” Tadi ada menu khas yang enak menurut saya, kerang dengan saus creamy. Namun patut dicoba menu andalan udang goreng dan Krapu Stim Nyonya. Dan tentu saja kepitingnya”.
Kepada manajemen Sentosa ia berharap selalu ada inovasi dalam makanan. “Karena orang itu akan jenuh dengan makanan yang setiap saat sama. Dengan masakan masakan yang baru akan menarik, khususnya pengunjung orang Semarang, dan juga dari daerah lain”.
Sementara Kusnady Dharmawan, anggota GSC yang juga owner Tiffanyglass Semarang mengungkapkan rasa sukanya dengan kehadiran resto live seafood ini. “Well organized, dan meskipun bentuk bangunannya simple namun fungsional”, tuturnya.
Ia juga sudah pernah mencoba beberapa resto Sentosa di Jakarta, dan merasa senang di Semarang akhirnya ada resto yang menyajikan masakan live, bukan hanya yang frozen. “Masakan yang di Semarang ini tak beda dengan yang di Jakarta. Saya suka Krapu Tiram dan udang goreng menteganya.
Arbin, pengusaha yang juga anggota GSC, juga merasa senang setelah mencoba masakan resto Sentosa di Graha Padma. ” Saya tadi nyoba sepuluh menu dan rata rata enak semua. Saya itu penggemar masakan seafood, dan hampir semua resto Sentosa di Jakarta saya pernah mencobanya”, katanya.
Ia berharap standar masakan Sentosa selalu dipertahankan sehingga Sentosa di Semarang bisa sukses seperti yang sudah ada di Jakarta. Arbin juga menganggap tempat dan lokasi resto sudah cukup representatif, sehingga diharapkan bisa menjadi oase baru bagi warga Semarang. (BP)